"Pada akhirnya, kami dapat menanam tanaman yang memberikan apa yang mereka inginkan," kata Rosenberg. Dia mengatakan mereka tumbuh lebih banyak dengan lebih sedikit tanah dan air. "Dibutuhkan 90-95 persen lebih sedikit dari pertanian tradisional," kata Head Grower AeroFarms, Steven Jeanty.
Menurutnya itu karena air menggunakan sistem loop tertutup. Tidak ada bahan kimia yang mengalir ke pasokan air. Tidak ada pestisida, tidak ada herbisida, dan fungisida. Semua sayuran hijau siap disantap.
Baca Juga: Meramal 342 Musim Nusantara, Zona-zona Kesuksesan Pertanian Indonesia
"Kami tumbuh di atas bahan daur ulang yang terbuat dari botol plastik... Kami dapat tumbuh hingga ketinggian yang tak terbatas, dan itu memberi kami lebih banyak ruang tumbuh daripada ladang pertanian tradisional manapun." kata Stacy Kimmel, wakil presiden penelitian dan pengembangan AeroFarms.
Secara angka, tumbuh secara vertikal dengan aeroponik telah terbukti 390 kali lebih produktif per kaki persegi daripada pertanian lapangan tradisional.
"Kami juga memasukkan CO2 tambahan. Tanaman berbasis karbon, jadi ada unsur penyerapan karbon di sini," ucap Rosenberg.
Baca Juga: Kontradiksi Pangan Organik: Benarkah Ditakdirkan untuk Orang Kaya
AeroFarms telah menjadi pemimpin dalam indsutri itu sejak mengubah pabrik baja berusia 75 tahun seluas 70.000 kaki persegi menjadi pertanian vertikal dalam ruangan terbesar di dunia pada 2015.
Mereka menanam berbagai buah, sayuran pada ruangan yang sepenuhnya terkontrol menggunakan sistem pertumbuhan aeroponik yang dipantenkan untuk sikslus panen yang lebih cepat, hasil yang dapat diprediksi, keamanan pangan yang unggul, dan dampak lingkungan yang lebih sedikit.
"Kami telah menanam lebih dari 50 varietas stroberi selama bertahun-tahun, mencapai tingkat Brix untuk rasa manis yang dua kali lipat rata-rata industri, dan kami tahu bahwa kami dapat memperluas keahlian itu ke buah beri lainnya," kata Rosenberg di laman Jersey Best.
Baca Juga: Lumbung Pangan Dunia
Source | : | jersey best,CBS New York |
Penulis | : | Fikri Muhammad |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR