Nationalgeographic.co.id—"Situs Cairo sangat istimewa, anda dapat berjalan di atas akar pohon kuno. Berdiri di atas pertambangan dan kita dapat merekonstruksikan kembali hutan yang hidup di dalam imajinasi," kata ahli Paleobotani, Christopher Berry, anggota tim di Universitas Cardiff.
Lebih dari 10 tahun yang lalu, para ahli dari Cardiff University, Inggris, Binghamton University di AS, dan Museum Negara Bagian New York mulai mempelajari situs di kaki Pegunungan Catskill di Lembah Hudson. Perjalanan panjang penelitian ini kemudian membawa bukti baru mengenai hutan tertua di dunia.
Melansir dari laman Bigthink.com, telah ditemukan fosil hutan tertua di dunia, berumur 385 juta tahun di Pegunungan Catskill, Cairo, New York, pada Desember 2019.
Fosil hutan yang ditemukan di sebuah tambang ternyata berusia dua hingga tiga juta tahun lebih tua dibandingkan hutan tertua pertama, yaitu di Gilboa, New York. Para peneliti menemukan sistem akar yang luas pada Zaman Devon, yaitu sekitar 416 hingga 359 juta tahun yang lalu.
Penemuan situs Cairo mendatangkan secercah harapan bagi para peneliti untuk mempelajari hutan di periode Paleozoikum. Situs Cairo menggambarkan sebuah bentuk raksasa sistem akar yang membatu. Akar-akar tersebut memiliki diameter 15 sentimeter dan membentuk pola radial selebar 11 meter.
“Zaman Devonian mewakili waktu di mana hutan pertama muncul di planet Bumi,” ujar Wiliam Stein, seorang profesor emeritus biologi di Binghamton University, yang terlibat dalam penelitian, dilansir Science Daily.
Setelah menganalisis sistem akar, para peneliti menyimpulkan terdapat tiga kelompok berbeda dari tanaman yang telah punah, yaitu Eospermatopteris, Archaeopteris, dan satu lagi spesimen yang belum jelas.
Eospermatopteris adalah representasi dari tumbuhan nenek moyang, berupa pohon palem dan ekor kuda yang ada pada fosil Devonian. Karena sistem akarnya yang terbatas dan belum sempurna, Eospermatopteris punya daya tahan hidup hanya satu sampai dua tahun sebelum mati dan digantikan oleh akar lain.
Kemudian, para peneliti menemukan sistem akar unik pada situs Cairo, yaitu Archaeopteris. Archaeopteris mirip dengan tanaman dari benih modern. Archaeopteris sangat modern dibandingan tanaman Devonian lain. Meskipun masih berbeda dari pohon modern, tetapi Archaeopteris menunjukkan unsur-unsur hutan masa depan.
Baca Juga: Film yang Membuat Setiap Orang Bisa Selamatkan Terumbu Karang Dunia
Fosil akar Archaeopteris diperkirakan berusia 20 juta tahun lebih awal dari perkiraaan sebelumnya. Penemuan terbaik ini membantu menjelaskan bagaimana evolusi pohon dan hutan selama zaman Devon.
Peneliti kemudian dibuat terkejut dengan temuan sistem akar tunggal yang diduga hanya ada di Zaman Karbon Akhir, yaitu pohon skala dari kelas Lycopsida. Pohon primitif ini mendominasi hutan batu bara dengan ketinggian mencapai 30 meter.
"Temuan Lycopsida menunjukkan bahwa tanaman ini sudah sejak lama ada di hutan, tetapi mungkin ada di lingkungan yang berbeda, lebih dahulu dari yang diyakini khalayak. Kami baru memiliki jejak fosil dan menunggu bukti fosil tambahan untuk mengonfirmasinya,” ucap Wiliam Stein, seorang profesor emeritus biologi di Binghamton University.
William Stein menambahkan, "sepertinya bagi saya, di seluruh dunia, banyak dari lingkungan semacam ini dilestarikan dalam fosil tanah. Saya ingin tahu apa yang terjadi secara historis, bukan hanya di Catskills, tetapi di mana-mana."
Perjalanan kapan dan bagaimana sistem akar dan vaskular mulai mengembang ke arah modern serta pertumbuhan tegak lurusnya masih menjadi misteri. Namun sistem akar Archaeopteris yang memanjang menjadi identik pepohonan penghuni hutan rawa pada periode Karbon.
Pohon-pohon tersebut menarik karbon dioksida dari atmosfer dan mengubahnya menjadi ion karbonat di air tanah. Ion-ion tersebut melakukan perjalanan yang mengalir ke lautan dan kemudian menempel pada sebuah batu kapur, mencegah kembali ke atmosfer.
Sesungguhnya, kandungan karbon dioksida di atmosfer mencapai lebih dari 95 persen. Setelah adanya tanaman vaskular dan hutan, level ini berubah menjadi modern. Pada Zaman Karbon, kadar oksigen tertinggi sepanjang masa mencapai 35 persen. Berkat tanaman vaskular, kadar oksigen bumi menjadi layak huni yaitu pada 21 persen.
Baca Juga: Temuan Pohon yang Membatu Ungkap Keberadaan Banyak Fosil Hewan Purba
Tanaman vaskular juga mengubah siklus geologis planet, mulai dari deposisi dan erosi, karakteristik fisik tanah, dan siklus air tawar.
"Efeknya adalah dalam hal perubahan ekosistem, apa yang terjadi di permukaan bumi dan lautan, konsentrasi CO2 di atmosfer dan iklim global. Begitu banyak perubahan dramatis terjadi pada waktu itu sebagai hasil dari hutan-hutan awal itu, pada dasarnya, dunia tidak pernah sama sejak itu."
Setelah terkubur jutaan tahun lamanya, sisa-sisa tanaman raksasa ini berada di bawah panas dan tekanan sehingga menciptakan batu bara yang mampu menciptakan Revolusi Industri. Faktanya, nama Carboniferous merupakan batu bara yang ditemukan di lapisan geologis.
Dengan terus membakar fosil purba ini, berarti melepaskan karbon dioksida yang terperangkap untuk kembali ke atmosfer. Hal tersebut dapat memanaskan planet melalui “efek rumah kaca”. Ironisnya, sisa-sisa tanaman justru membuat kerja keras hutan pertama di dunia jadi sia-sia.
Source | : | BBC,Big Think |
Penulis | : | Bella Jingga Ardilla |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR