Di sisi lain, walau penanggalannya secara akurat dimulai dari 260 juta tahun terakhir, Rampino dan tim memperkirakan hasilnya bisa meluas lebih jauh ke masa yang lebih lampau.
Misal, permukaan laut kembali terjadi 600 juta tahun lalu, lebih jauh dari yang dalam rentang waktu mereka. Rampino menduga kejadian itu menggambarkan adanya pola yang sama di waktu yang lebih lampau, seperti pola denyut yang berulang.
Klaster pola terakhir terjadi pada 7 juta hingga 10 juta tahun yang lalu. Para peneliti memperkirakan klaster itu akan terjadi lagi dalam 10 juta hingga 15 juta tahun mendatang.
Kendati demikian tidak jelas apa yang menyebabkan denyutan itu terjadi menyerupai pola, dalam aktivitas geologis. Bisa jadi didorong secara internal oleh lempeng tektonik, dan pergerakan di dalam mantel.
Atau bisa jadi, ada hubungannya dengan pergerakam Bumi di tata surya dan galaksi, Rampino berpendapat. Contoh, denyut nadi 27,5 juta tahun mendekati osilasi vertikal 32 juta tahun di sekitar bidang tengah galaksi kita, Bima Sakti.
Baca Juga: Ahli Geologi NTU Menemukan Catatan Potensi Gempa Besar di Sumatra
Para peneliti hanya berteori, bahwa tata surya kadang-kadang bergerak melalui bidang yang mengandung materi gelap (dark matter) dalam jumlah yang lebih besar di galaksi. Saat planet bergerak melaluinya, tata surya menangkapnya, sehingga dapat memusnahkan dan melepaskan panas. Akibatnya, dapat menghasilkan denyut pemanasan dan aktivitas geologis di Bumi.
Teori mengenai materi gelap ini sebenarnya masih diperdebatkan oleh kalangan ilmuwan akan ada atau tidaknya.
Para peneliti berharap agar bisa mendapatkan data yang lebih lengkap terkait penanggalan geologis tertentu, dan menganalisis periode waktu yang lebih lama untuk melihatnya jauh ke masa lalu.
Bahkan, suatu hari nanti mereka berharap bisa mendapatkan angka yang bisa memahami pergerakan astronomi Bumi dalam tata surya, dan Bima Sakti. Sehingga bisa memperkuat mengenai korelasi siklus astronomi dengan geologi.
Baca Juga: Studi Terbaru: Longsoran Anak Krakatau pada 2018 Mampu Mengubur London
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR