Nationalgeographic.co.id - Masyarakat etnis Maya yang tersebar luas di Amerika Tengah memiliki sejarah panjang. Di era kejayaan peradaban mereka di masa lalu, mereka tinggal di kota dataran rendah Itzan (kini kota Guatemala), dan memiliki variasi populasi dari waktu ke waktu.
Menurut studi terbaru, variasi populasi masyarakat Maya berkembang dengan merespon perubahan iklim sekitar mereka. Laporan itu dipublikasikan di Quaternary Science Review, April lalu.
Laporan itu menunjukkan bahwa masa kekeringan dan basahnya menyebabkan penurunan populasi yang sangat penting. Hasil itu diungkapkan oleh para peneliti lewat pengamatan terhadap stanol, yakni molekul organik yang terdapat pada kotoran manusia dan hewan.
Sampel stanol ini diambil dari dasar danau sekitar Guatemala, dan berfungsi untuk memperkirakan perubahan ukuran populasi.
Selain itu, data yang diperoleh dapat membantu para peneliti menyelaraskan informasi tentang variabilitas iklim, bersama perubahan vegetasi yang diambil dari ahli biologi dan arkeologis sebelumnya.
Lewat teknik dan data yang dimiliki, para peneliti dapat memetakan dan menemukan adanya perubahan besar pada populasi orang Maya di kawasan itu. Rentang periodenya dimulai dari 3.300 tahun yang lalu.
Mereka juga berhasil mengidentifikasi pergeseran pola permukiman yang terjadi selama berabad-abad, terkait dengan perubahan penggunaan lahan, dan praktik pertanian.
"Penting bagi masyarakat secara luas mengetahui bahwa ada peradaban sebelum kita yang terpengaruh dan beradaptasi dengan perubahan iklim," kata Peter Douglas, penulis senior makalah tersebut dalam rilis, Rabu (30/06/2021)
"Dengan menghubungkan bukti perubahan iklim dan populasi, kita dapat mulai lihat korelasi jelas antara curah hujan dan kemampuan kota-kota kuno ini untuk mempertahankan populasinya.”
Para peneliti memperkirakan ukuran populasi Maya kuno dilakukan dengan cara klasik, yakni dengan inspeksi tanah dan menggalinya.
Baca Juga: Solusi Membersihkan Tinja Manusia yang Membanjiri Gunung Everest
Kemudian demi merekonstruksi dinamika populasinya, para arkeolog mengungkap, memetakan, dan menghitung struktur pemukiman kuno. Hasilnya, mereka bisa menetapkan sejak kapan kawasan-kawasan itu dihuni.
Mereka juga membandingkan tren populasi di tingkat situs dan regional, lalu mengamati indikator tanah, khususnya di Laguna Itzan, yang bererosi ke danau. Cara itu bertujuan untuk memahami perubahan ekologi yang terjadi beriringan dengan peristiwa penduduk di masa lalu.
Berdasarkan pengujian pada stanol sisa tinja, manusia sudah hidup di sekitar lereng Laguna Itzan secara berkelanjutan. Itzan sendiri merupakan salah satu situs arkeologi bagnsa Maya terbesar, dan merupakan kota kuno.
Meski dalam jumlah kecil, para peneliti menulis, mereka tetap melanjutkan kehidupannya di sana pasca masa yang disebut "keruntuhan" sekitar 800 hingga 1.000 masehi. Artinya juga, masyarakat Maya sudah tinggal di sana lebih jauh 650 tahun sebelum perkiraan hasil studi arkeologi sebelumnya, terang para peneliti.
Baca Juga: Fosil Tinja Berusia 6.800 Tahun Ungkap Jenis Tumbuhan yang Dimakan Moa
Stanol tinja juga menyingkap bahwa populasi Maya di kawasan Laguna Itza menurun akibat kekeringan dalam tiga periode yakni sekitar 90-280 masehi, sekitar 730-900 masehi, dan selama kekeringan yang dicermati dengan baik sekitar 1350-950 SM.
“Penelitian ini seharusnya membantu para arkeolog dengan menyediakan alat baru untuk melihat perubahan yang mungkin tidak terlihat dalam bukti arkeologis," kata Benjamin Keenan, penulis pertama laporan itu.
"Karena bukti tersebut mungkin tidak pernah ada atau mungkin telah hilang atau hancur.”
“Dataran rendah Maya tidak begitu baik untuk melestarikan bangunan dan catatan kehidupan manusia lainnya karena lingkungan hutan tropis," tambahnya.
Hasil lainnya, Keenan dan tim mengungkap bahwa masyarakat Maya mungkin telah beradaptasi dengan masalah lingkungan, seperti hilangnya nutrisi tanah dengan menggunakan teknik yang menggunakan kotoran manusia sebagai pupuk tanaman.
Lantaran, berdasarkan jumlah stanol tinja yang diteliti, jumlahnya relatif rendah ketika berada di endapan pinggiran danau. Jumlahnya yang relatif rendah ini seiring dengan temuan arkeologis bahwa jumlah populasi sedang tinggi-tingginya.
Mereka menyimpulkan bahwa tinja manusia yang dijadikan pupuk membuatnya tidak terbawa ke danau.
Baca Juga: Monumen Tertua dan Terbesar Peninggalan Suku Maya Terungkap
Source | : | Science Direct |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR