Tubuh mereka ramping. Predator berkaki dua ini umumnya mengejar kadal, mamalia muda, dan bayi dinosaurus sebagai makanan mereka.
“Mungkin persaingan dengan dinosaurus-diosaurus lain meningkat selama Zaman Kapur,” kata Prof Michael Benton, salah satu supervisor Zichuan, di Sekolah Ilmu University of Bristol, sebagaimana dilansir SciTechDaily.
“Zaman Kapur adalah periode ketika ekosistem berkembang pesat dan perubahan terbesarnya adalah pengambilalihan bertahap oleh tanaman-tanaman berbunga. Tanaman-tanaman berbunga mengubah sifat lanskap sepenuhnya, namun sebagian besar dinosaurus tidak memakan tanaman-tanaman baru ini. Tetapi mereka (tanaman-tanaman berbunga) menyebabkan ledakan jenis serangga baru, termasuk semut dan rayap.”
Restrukturisasi ekosistem ini disebut Revolusi Terestrial Kapur. Revolusi ekosistem ini menandai waktu ketika hutan-hutan bergaya modern muncul, dengan beragam tanaman dan hewan, termasuk serangga-seranga yang khusus menyerbuki bunga-bunga baru dan memakan daun, kelopak, dan nektarnya.
Baca Juga: Upaya Sains Merekayasa Genetik Ayam Supaya Kembali Berwujud Dinosaurus
Masalah utama dalam studi ini dengan banyaknya spesimen alvarezsaurus, terutama yang berukuran ayam, adalah memastikan mereka semua dewasa. “Beberapa kerangka jelas berasal dari remaja,” kata Dr. Qi Zhao, rekan penulis dan ahli histologi tulang, “dan kami dapat mengetahui ini dari bagian-bagian di tulangnya. Ini menunjukkan usia dinosaurus ketika mereka mati, tergantung pada jumlah cincin pertumbuhan di tulang. Kami dapat mengidentifikasi bahwa beberapa spesimen berasal dari bayi dan remaja, jadi kami mengabaikannya dari perhitungan.”
Semut mungkin tampak sebagai makanan yang luar biasa bagi dinosaurus. “Ini disarankan bertahun-tahun yang lalu ketika lengan Mononykus dilaporkan dari Mongolia,” kata Profesor James Clark di Washington, DC, salah satu penulis makalah studi ini, dan juga salah satu penemu pertama alvarezsaurus kecil dari Mongolia tersebut.
Source | : | SciTechDaily |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR