Pada musim dingin 2005, Nelson Quispe yang baru datang dari Peru ke Amerika Utara bekerja sebagai penggembala domba di Gurun Merah (Red Desert). Wyoming. Pat O’Toole, majikan Quispe yang tak lain si pemilik peternakan domba pun memberi Quispe seekor kuda mustang. Kuda berusia enam tahun itu membantu si penggembala menjelajahi berkilo-kilometer timbunan salju tebal dan sesemakan sagebrush (Artemisia tridentata) menuju padang terbuka. Mustang itu berwarna putih dan bercak-bercak gelap di pantatnya tak bisa menyembunyikan kehadiran ras Appaloosa dalam garis leluhurnya. Namun, kuku kakinya yang sebesar piring menjadi pertanda adanya darah keturunan kuda beban. Kuda itu dinamai Dot (bercak) oleh para narapidana di penjara Honor Farm dekat Riverton, tempat hewan yang lahir liar itu dilatih saat berumur lima tahun. Hasilnya, mustang itu memiliki naluri kuda liar yang kuat sekaligus sifat penurut dan terlatih, dan kedua sifat inilah sifat kuda unggulan.
!break!
“Kalau angin semakin kencang dan kawanan domba terpencar-pencar, kamu kembali saja ke perkemahan. Apa pun yang kamu lakukan, jangan coba-coba mengikuti mereka,” kata O’Toole kepada si orang Peru. Dia menyampaikan peringatan ini dalam bahasa Inggris dan Spanyol, dan agar lebih yakin lagi, dengan bahasa isyarat, sebab berubah-ubahnya cuaca tanpa peringatan lebih dahulu di Wyoming mengharuskan digunakannya segala macam cara untuk menyampaikan penjelasan ini. Kemudian, seorang penggembala kawakan yang juga orang Peru memberi Quispe nasihat yang singkat dan sangat penting dalam bahasa Spanyol. Quispe pun menunggangi Dot, berangkat bersama kawanan domba itu menuju dunia yang terbuka luas.
Belum terlalu lama di situ, angin berhembus kencang, dingin, menyayat, dan suhu udara menukik hingga minus 37° derajat Celcius. Quispe yang penuh dengan semangat muda berusaha tetap bersama domba gembalaannya. Kemudian, domba-domba itu terpencar-pencar hingga ke luar padang. Malam pun turun dan angin bertiup semakin kencang. Penggembala muda itu tersesat, membeku, uap air yang menjadi es membuatnya menyatu dengan kudanya. Dia yakin, ajalnya bakal tiba.
Namun di saat itu juga, dia teringat bagian penting dari nasihat yang diberikan oleh si penggembala kawakan. Jadi, Quispe mencodongkan tubuhnya ke depan, melepas tali kekang Dot, lalu memeluk leher mustang itu. Dia memejamkan kedua matanya dan menyerahkan jiwanya kepada Bunda Maria.
Dot yang leluhurnya mengarungi padang ini sekitar satu setengah juta tahun yang lalu dan yang terlahir liar tepat di kawasan itu enam tahun sebelumnya, amat sangat mengenal daerah tersebut. Dot menundukkan kepalanya untuk mengendus-endus bau anjing prairi (sejenis binatang pengerat, genus Cynomus) dan lubang badger (Taxidea taxus) agar tidak terperosok dan jatuh. Dengan kecerdikan dan keberaniannya, meski tampilannya tak sedap dipandang, Dot membawa pemuda yang ketakutan itu kembali ke kemah.
Ketika cuaca di Wyoming demikian buruk dan mematikan serta penggembala tak dapat melihat lebih jauh dari hidungnya sendiri, yang membedakan antara hidup dan mati adalah seekor kuda pribumi yang bagus dan cerdas serta mengenal kondisi lapangan dengan baik. Syarat ini jugalah yang berlaku seabad silam. Namun, ketika tiupan angin mereda dan layanan telepon seluler pulih, dunia modern menerobos masuk dengan bising dan tergesa-gesa sehingga kuda liar seakan tidak cocok berada di kawasan Barat yang semakin menyusut. Jadi, sekelompok kecil kuda betina dan beberapa ekor anaknya yang dipimpin oleh seekor kuda jantan yang berlari di samping pagar kawat berduri dan deretan tiang listrik, dikejar oleh truk milik ladang minyak, adalah pengalaman pertamaku melihat mustang di dekat Rock Springs di akhir musim gugur 2007.
!break!
“Kuda liar berada di tengah-tengah budaya yang tidak menyukai mereka,” kata Jay Kirkpatrick, direktur sains dan biologi konservasidi ZooMontana, di Billings, sebuah pusat pengembangan metode keluarga berencana untuk margasatwa. Kirkpatrick, yang telah menghabiskan waktu lebih dari 30 tahun untuk meneliti hewan tersebut mengatakan, kuda liar sudah dibenci sejak orang kulit putih datang ke kawasan Barat—dianggap biang keladi atas segala sesuatu yang dapat dan memang menimbulkan masalah di padang rumput. Jadi, pada pertengahan 1800-an, ketika para peternak melepaskan hingga 40 juta sapi ternak di padang tempat kuda hidup berabad-abad tanpa merusak padang tempat merumput itu, paling banyak dua juta mustang dianggap bertanggung jawab atas kegersangan yang tiba-tiba melanda padang tersebut.
Di saat yang bersamaan, kuda liar yang tangguh di padang rumput yang menjadi sumber daya terbarukan dan berkembang biak dengan cepat sangat penting bagi para pendatang baru. Di samping sesekali diburu agar jumlahnya tetap terkendali, kawanan kuda liar itu juga secara berkala ditangkap dan dijinakkan untuk dipekerjakan di peternakan dan sebagai alat transportasi atau digunakan untuk pasukan berkuda dan meluaskan batas negara yang tengah bertumbuh. Letnan Ulysses S. Grant, yang menyerbu Meksiko bersama pasukan Jenderal Zachary Taylor pada Maret 1846, dengan menunggang mustang (dari kata mestengo, yang berarti “berkeliaran”) yang baru ditangkap, menulis begini: “Sejauh mata memandang ke arah kanan, kawanan mustang itu semakin banyak. Ke arah kiri, banyaknya juga sama. Sulit memperkirakan seberapa besar jumlahnya.”
Namun, kemudian hadir rel kereta api dan jalan raya, mobil dan traktor, tangki dan mesin pemanen serba guna, dan karena kita tidak dapat menghidupkan kembali kuda yang sudah mati dengan kunci inggris, maka mustang pun kehilangan nilainya sebagai alat transportasi dan alih-alih malah menjadi makanan anjing. Jutaan kilogram daging kuda liar diolah menjadi makanan anjing, kucing, dan ayam selama kurun 1930-an saja. “Manusia,” begitu kata Pat O’Toole, “adalah pemangsa alami kuda liar.”
Biasanya, para peternak tidak mau membuang-buang waktu untuk apapun yang justru menjadi pesaing mereka dalam mendapatkan sumber daya. Oleh karena itu, tidaklah aneh menemukan bangkai coyote menghiasi pagar kawat berduri, seakan-akan jika orang Barat memburu apa pun yang mengancam nyawa mereka dan, karena tidak dapat menembak angin, beralih menembak sesuatu yang lebih berwujud. Pada Februari 2006, toko Sportsman’s Warehouse di Reno, Nevada, mensponsori sebuah lomba. Yaitu, pemburu satwa pengganggu yang berhasil membawa bukti terbanyak—seperti rahang coyote, rubah, kucing liar (bobcat, Lynx rufus), dan puma—akan memenangi hadiah berupa sebuah perahu. Kira-kira pada saat yang sama, beberapa ekor kuda liar juga ditembak, meskipun mustang dilindungi secara nasional sejak 1971—menurut Undang-undang Kuda dan Keledai Liar yang Berkeliaran Bebas—yakni tidak boleh ditangkap, dicap, disalahgunakan, atau dibunuh. (Terutama berkat upaya seorang penduduk Nevada, Bronn Johnston, yang lebih dikenal sebagai Annie Si Kuda Liar, tindakan sewenang-wenang terhadap mustang telah menarik perhatian umum, yang menyebabkan diloloskannya undang-undang tersebut.)
Kita dapat melarang kekejaman, tetapi tidak dapat melarang budaya yang melahirkan kekejaman itu. Jumlah kuda liar yang dibunuh di sekitar daerah Rock Springs (tempat asal Dot) jauh lebih banyak daripada yang dibunuh di daerah lain di AS. Tidaklah mungkin mengetahui apakah kematian itu ulah yang disengaja dari para peternak yang sudah jemu akan perebutan pakan rumput antara ternak mereka dan kuda liar atau apakah ini ulah para pemuda iseng yang kebanyakan waktu luang. Pada musim semi 2005, dua lelaki asal Wyoming dan dua dari Utah menjerat seekor jantan liar dan mengebirinya dengan pisau. Mustang itu mati kehabisan darah dan bangkainya diseret ke sebuah parit di daerah terpencil dan dibiarkan membusuk. Keempat pria itu ditahan, dinyatakan bersalah karena tindak pidana ringan, dijatuhi hukuman percobaan enam bulan penjara, dan diharuskan membayar denda masing-masing seribu dolar lebih sedikit.
!break!
Memang sulit memahami mengapa ada orang yang tega membunuh mustang yang dilindungi undang-undang federal dengan cara seperti ini, jika kita tidak memperhatikan lingkungan kawasan Barat: kota kecil-kecil menghiasi jalan raya seperti butiran manik-manik, dan di antara kota-kota itu terdapat lahan umum yang seakan-akan tak bertepi, dan di situ masih bisa dibayangkan seseorang dapat melakukan apa saja, antara lain karena lahan luas yang tak berpenghuni itu tidak ada pemiliknya dan sekaligus dapat dianggap sebagai milik semua orang.
Di 10 negara bagian kawasan Barat, tempat yang dihuni kawanan kuda liar, Biro Pengelolaan Lahan (Bureau of Land Management, BLM) adalah dinas federal dengan tugas yang tidak diminati siapapun, yakni menangani berbagai kepentingan yang saling bersaing dalam menggunakan lahan umum—ternak dan mineral, pepohonan dan manusia yang melestarikannya, pendaki gunung dan margasatwa, kuda liar dan daerah aliran sungai. BLM diharuskan mengelola lahan seluas satu juta km2 (lebih luas daripada lahan dinas federal lainnya) untuk kawasan Barat yang selalu berubah dan untuk “penggunaan multi fungsi.”
Menurut teori, lahan yang ada haruslah cukup untuk berbagai keperluan, tetapi pada kenyataannya, sejak para perintis mulai bermukim di sini, sumber daya telah direnggut dengan tidak sabar, semua penghalang disingkirkan untuk meraup dolar. tidak—dan sejak dulu pun tidak pernah. Ini bukanlah lahan yang dikelola untuk demi segala macam kepentingan secara setara, tetapi untuk hal-hal yang jadi prioritas di masa kini.
Berdasarkan sejarah, prioritasnya hewan ternak dan pada tahun 2006, sapi dan domba melahap hijauan 20 kali lipat di lahan BLM jika dibandingkan dengan yang dilahap kuda liar dan keledai liar. Namun dalam 30 tahun terakhir, corak budaya telah berubah. Para peternak di banyak daerah kawasan Barat kehilangan pengaruhnya dan suara paling lantang sekarang berasal dari perusahaan minyak. Dengan semakin besarnya tekanan untuk menjadikan AS lebih mandiri dalam bidang energi, BLM telah melepas 180.000 km2 lahan untuk minyak dan gas, sekitar 20.000 km2 di antaranya di daerah yang diperuntukkan bagi kuda liar. Ini adalah penggunaan lahan yang tak bisa diganggu gugat: Meskipun ditutupi, sumur minyak tidak akan pernah bisa disingkirkan.
“Energi berada di tempatnya ditemukan,” kata Tom Gorey, pejabat humas untuk program kuda liar BLM. Dia seakan-akan tidak berdaya dan mau tak mau harus menerima fakta itu.
Dinas yang dikelola Gorey menangani sekitar 30.000 ekor kuda liar yang menghuni 117.000 km2 daerah pengelolaan kawanan satwa (HMA, herd management area) yang terdiri atas beberapa petak lahan terpisah.
Menurut undang-undang 1971, BLM harus menjaga agar kawanan satwa itu jumlahnya cocok dengan tingkat pengelolaan yang sesuai (appropriate management level, AML). Sejumlah pembela kuda yakin bahwa AML terlalu rendah dan hal tersebut mengancam keberlangsungan hidup genetis; sebaliknya, para peternak mengatakan bahwa AML terlalu tinggi dan ini mengancam ketersediaan rumput yang amat dibutuhkan.
!break!
Jatah padang rumput (lahan BLM yang disewakan kepada peternak) Pat O’Toole bertumpang tindih dengan HMA di bagian tengah-selatan Wyoming dan barat laut Colorado, dan dia memiliki ketenangan dan kekuasaan terkendali yang biasanya dimiliki oleh orang yang sudah mengenal baik prioritasnya dari pengalaman pahit. “Ketika dulu kuda liar secara berkala diburu peternak,” katanya, “satwa itu tidak menyusutkan padang rumput. Kemudian kuda liar dilindungi dan kemampuan untuk mengendalikan jumlahnya dirampas dari tangan para peternak—kenyataannya sekarang jumlah kuda liar terlalu banyak.” Dia berpikir sejenak. “Wilayah ini pernah mengalami kekeringan selama sepuluh tahun.
Di samping itu, perkembangan minyak dan gas menimbulkan tekanan yang luar biasa besar pada lahan publik, kemudian ada anggapan bahwa kuda liar sudah melahap padang rumput dengan mubazir. Memang sulit bagi semua pihak—kuda liar, peternak, margasatwa, semuanya.” Namun, meskipun O’Toole berbicara tentang kekesalannya pada kerakusan kuda liar, dia membela hak keberadaan hewan itu sebagai sebuah lambang. “Kuda liar berhak tinggal di lahan padang rumput ini,” katanya, “tetapi, apabila mereka melahap semua rumput hingga hanya menyisakan lahan gersang, sulit untuk merasakan bahwa mereka telah dikelola dengan semestinya.”
Jay Kirkpatrick dari ZooMontana sependapat bahwa kuda liar “dapat melampaui daya tampung sejumlah tempat dan menimbulkan masalah bukan hanya bagi ternak dan margasatwa, tetapi bagi kuda liar itu sendiri. Namun,” ujarnya, “kunci untuk memahami mengapa kuda liar dijadikan kambing hitam pengelolaan lahan yang buruk dan keputusan politik yang lebih buruk adalah bahwa, tidak seperti hewan ternak serta margasatwa yang pantas diburu, kuda liar tidak memiliki nilai ekonomi.”
Jadi, perdebatan tentang kuda liar dan sumber daya yang digunakannya mengerucut menjadi pertanyaan berikut: apakah kita memiliki ruang—fisik maupun emosi—untuk mereka? Sementara para pelindung kuda dan peternak sering mempertikaikan keuntungan dan kerugian relatif mustang dengan alasan yang lebih bersifat emosional, para ilmuwan bertikai berdasarkan fakta yang hakiki: jika kuda liar dapat dikelompokkan sebagai satwa asli Amerika Utara, maka binatang itu berhak menggunakan lahan. Jika bukan hewan asli, kuda liar tidak punya hak.
“Kuda yang berkelana bebas adalah spesies liar yang eksotik, bukan spesies asli” ujar Joel Berger, seorang ahli biologi kehidupan liar yang tinggal di Teton Valley, Idaho. “Mereka bersaing langsung dengan kehidupan liar asli untuk mendapatkan habitat.” Berger menyarankan agar anggaran BLM untuk kuda liar lebih baik digunakan untuk meneliti dan melindungi spesies asli. Namun, Kirkpatrick dan mitra kerjanya yang sesekali bekerja sama dengannya, Patricia Fazio, seorang penulis masalah lingkungan, sudah lama mengatakan bahwa kuda liar adalah spesies asli dan harus dipandang sebagai satwa asli oleh badan-badan pemerintah negara bagian dan federal. “Kuda modern ber-evolusi di benua ini 1,6 juta tahun yang lalu, tetapi kemudian menghilang,” kata Kirkpatrick. “Dua unsur penting dalam mengelompokkan binatang sebagai satwa asli adalah dari mana dia berasal dan apakah dia ber-evolusi bersama-sama dengan habitatnya. Kuda liar dapat memenuhi kedua syarat itu di Amerika Utara.”
!break!
Meski para ilmuwan berbeda pendapat tentang di mana kuda masa kini Equus caballus muncul, disepakati bahwa sejumlah anggota awal genus Equus muncul di Amerika Utara sekitar 5 juta tahun yang lalu. Beberapa di antaranya berkelana menyeberangi jembatan darat Bering dan menyebar ke Asia (di benua ini, satwa itu akhirnya dijinakkan), Afrika, dan Eropa. Namun, kuda-kuda ini menghilang dari tanah kelahiran mereka di Amerika Utara sekitar 12.000 tahun yang lalu. Salah satu teori mengatakan bahwa manusia Pleistosen yang memasuki Amerika Utara pada sekitar masa tersebut, memburu kuda hingga punah. Ilmuwan lain berteori bahwa penyakit yang mematikan atau mungkin gabungan antara perubahan iklim, penyakit, dan perburuan menyapu habis kuda tersebut. Pada 1519, kuda dibawa ke daratan Amerika Utara ketika Hernán Cortés tiba di Meksiko. Sejumlah ilmuwan mengemukakan bahwa kuda milik para penakluk Spanyol (conquistadores) bertemu dan berkembang biak dengan sisa-sisa populasi kuda asli, tetapi tidak ada bukti yang mendukung teori ini.
Beberapa kawanan kuda adalah keturunan langsung kuda yang dibawa conquistadores, terutama kawanan kuda di Pegunungan Pryor di Montana dan bagian utara Wyoming dengan trah Spanyolnya yang sudah berusia ratusan tahun dibuktikan melalui uji darah pada 1992. Kuda-kuda ini cenderung lebih primitif dan memiliki tanda keliaran yang eksotis—kaki mereka belang-belang seperti zebra dan punggungnya bergaris-garis, sementara warnanya cokelat muda dan abu-abu.
Namun, hampir semua kuda liar di kawasan Barat mirip Dot, mustang yang menyelamatkan si penggembala Peru. Mereka adalah hasil persilangan yang mampu bertahan di padang selama berabad-abad (banyak di antaranya di masa Depresi Besar), DNA-nya menguat karena dilepaskannya kuda jantan Thoroughbred, Morgan, dan Arab dengan sengaja, dengan kelemahan masing-masing dari darah murninya terlesapkan dan naluri bertahan hidupnya semakin kuat pada setiap generasi yang berikutnya.
Pada pagi hari di awal November, aku berjongkok di atas sebongkah cadas di dekat Rock Springs, di barat laut dari tempat BLM menangkap Dot, untuk menyaksikan kawanan kuda ditangkap. “Jangan bergerak, jangan bicara,” begitu aku diperingatkan, “kawanan kuda itu bisa kaget dan menjauhi tempat penangkapan.” Kuda liar sangat peka terhadap bahaya di sekitarnya, terutama terhadap manusia. Kudekatkan daguku ke dada sambil melipat tangan. Angin Wyoming yang selalu berubah-ubah sarat dengan pertanda musim dingin, dan air selokan di daerah pengumpulan di bawah telah membeku setebal beberapa sentimeter.
Pilot helikopter yang disewa BLM terbang melintasi padang, menggiring beberapa kelompok kuda memasuki ngarai di bawah kami. Ngarai itu menyempit ke sebuah jaring serat goni yang tersamar. Di mulut ngarai dilepaskan kuda “pengkhianat” yang akan memimpin saudara-saudaranya yang liar itu memasuki lahan berpagar logam dan di situ sudah menunggu kuda liar hasil tangkapan hari sebelumnya. Di gerbang, pilot memiringkan baling-baling ke beberapa ekor kuda yang mogok, yang dalam keadaan kaget berlari maju memasuki awan debu. Gerbang dibanting menutup dan beberapa orang koboi muda yang setangkas kucing melompati pagar dan menerobos kawanan kuda. Helikopter terbang kembali untuk mencari kuda lagi. Di dalam lahan berpagar, para koboi memisahkan kuda jantan dari betina, anak kuda dari lainnya. Dalam satu jam, 40-50 ekor kuda sudah dipilah-pilah dengan cermat.
Kepanikan kuda mulai reda dan tampaknya binatang-binatang itu pasrah, meski cemas. Seorang dokter hewan berdiri di dekat lahan berpagar, mengamati setiap kuda. Beberapa ekor mengalami cedera ringan, tetapi tampaknya tidak seekor pun yang terluka parah walaupun terkadang kuda liar cedera atau mati ketika ditangkap.
!break!
Setiap tahun, 40 hingga 60 aktivitas penangkapan memindahkan antara 5.000 sampai 10.000 ekor kuda liar keluar dari padang kawasan Barat. Selama sembilan hari di Rock Springs, lebih dari 600 ekor kuda berhasil ditangkap, lalu diangkut dengan truk ke Cañon City, Colorado, ke sebuah penjara, dan di situ mereka dicap, dikebiri, dirawat, dan dipilah-pilah menurut jenis kelamin dan usia. Beberapa di antaranya akan dilatih oleh narapidana untuk kelak dilelang pada musimnya; yang lain menunggu diadopsi atau dikirim ke suaka margasatwa jangka panjang.
“Aku bukan bunny hugger (aktivis yang gila-gilaan membela hak satwa),” ujar Jay Kirkpatrick, “tapi, aku tak akan pernah mau ikut kegiatan penangkapan satwa lagi seumur hidupku. Cara ini benar-benar tidak manusiawi.” Dia berhenti sejenak: “Ada tiga alasan mengapa penangkapan ini bukan jalan keluar yang memuaskan untuk mengatasi masalah jumlah. Pertama, secara genetis tidaklah bertanggung jawab untuk terus-menerus menangkapi kuda yang masih muda, yang tak akan pernah punya kesempatan kawin; kedua, setiap kali kita mencabut kuda dari habitatnya, efesiensi reproduksi dari kuda yang tidak tertangkap menjadi tinggi. Dan ketiga, perubahan perilaku pada kuda yang tertangkap sangat menonjol.”
Jay D’Ewart, spesialis kuda liar dari BLM di Rock Springs, Wyoming, mengatakan bahwa dia juga tidak suka menyaksikan kawanan mustang ditangkapi, tetapi kantornya bertugas bukan saja memperhatikan kesejahteraan kuda, tetapi juga padang. “Kami tidak dapat membiarkan kuda liar berkeliaran di luar sana, beranak pinak tak terkendali hingga kelaparan dan menghancurkan padang rumput yang menjadi sumber pangan kuda liar, kehidupan liar, dan ternak. Kami bertugas memastikan adanya keseimbangan. Jadi, kami menangkapi kuda liar dengan helikopter, sesenyap dan secepat yang kami bisa.”
Karena terbatasnya daya tampung lahan dan karena terjepit di antara tuntutan para peternak, penambang, dan pemburu di satu pihak dan kegeraman kelompok pelindung kuda liar di pihak lain, BLM memutuskan untuk menampung 30.000 ekor kuda di tempat penampungan permanen (kira-kira sama dengan jumlah yang ada di alam liar) dengan biaya rata-rata lebih dari dua dolar sehari per ekor. Keputusan ini menyerap banyak dana dan menyediakan, setidaknya, solusi sementara atas kecenderungan satwa tersebut untuk berkembang biak dengan cepat. Setiap tahun, ribuan kuda ditangkapi lagi, dan setiap tahun ribuan lagi dimasukkan ke tempat penahanan jangka panjang.
Tahun lalu, dinas tersebut mengatakan bahwa mereka mungkin harus membunuh kawanan kuda liar untuk menekan biaya (yang mendorong Madeleine Pickens, istri T. Boone Pickens, menawarkan diri mengadopsi banyak mustang, boleh dikatakan semuanya, yang ditangkap BLM). “Semua sudah menduga hal ini akan terjadi,” kata Chris Heyde dari Animal Welfare Institute di Washington DC. “Setiap tahun mereka menangkapi semakin banyak kuda dari padang untuk menyenangkan hati para peternak. Sementara itu, program pengelolaannya sungguh memprihatinkan.”
“Semakin banyak yang kita ketahui tentang kehidupan sosial dan emosional kuda, semakin kita menyadari bahwa satwa-satwa itu dipandu oleh kearifan kolektif yang kuat,” kata Ginger Kathrens sambil mengarahkan kameranya ke sekelompok mustang di punggung bukit, tidak jauh di bawah kami. “Mereka hidup dalam kelompok keluarga yang amat tertata dengan jantan jadi pemimpin lewat perkelahian. Jika secara acak kita mencabut kuda dari kelompok itu, akibatnya bisa sangat parah bagi anggota keluarga yang tersisa.”
!break!
Kathrens adalah pembuat film dokumenter yang telah mengamati kuda liar selama lebih dari satu dasawarsa di Pegunungan Pryor. Dia sudah membuat dua film tentang ke-170 kuda ini dan sedang menggarap film ketiga.
Pada suatu hari yang dingin di musim semi, kami duduk membelakangi angin dan mengamati. Seekor kuda jantan berkulit pucat bernama Cloud mengawasi para betinanya saat kawanan itu merumput di padang yang berada di puncak punggung bukit berbatu. Claud juga mengawasi kami sekaligus. Menurut Kathrens, kuda jantan akan berkelahi—ada kalanya sampai mati—untuk mendapatkan hak memiliki kuda betina. Hak itu selanjutnya harus dipertahankannya dari incaran kuda jantan lajang sampai usia tua membuatnya tidak mungkin lagi bertahan. Di saat Kathrens menjelaskan hubungan Cloud dengan para betinanya, lalu dengan ayahnya, induknya, saudara lelaki kandungnya, dan saudara lelaki tirinya, Kathrens merangkai cerita dongeng tentang intrik pertikaian antarkeluarga, tentang persekutuan yang tidak mungkin terjalin, serta perkelahian mendadak dan mengerikan. Bahkan mungkin ada yang dapat disebut peristiwa cinta—sepasang kuda jantan-betina soliter dan sekarang sudah berumur yang melanggar aturan masyarakat kuda liar agar dapat terus berduaan. Ketika si jantan yang memenangi harem membiarkan si betina luput dari pantauan pada malam saat dia melahirkan, si betina melarikan diri dan menyelinap kembali untuk menemui jantan pilihannya.
“Dalam beberapa kejadian,” kata Kathrens, “aku pernah melihat kuda jantan kehilangan para betinanya ketika berlangsung penangkapan BLM. Bagi si jantan yang telah bertarung mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkan para betina itu, hidupnya telah berakhir. Dia akan sebatang kara dan menurutku tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa ada sejumlah kuda jantan yang begitu merana hingga menderita semacam depresi.”
Kirkpatrick menyatakan bahwa pembatasan kelahiran menawarkan alternatif yang lebih manusiawi daripada menangkapi satwa itu, tetapi BLM tidak sependapat. Menurut Kirkpatrick, dinas itu terlalu pelit mengeluarkan dana untuk mempelajari pengendalian kesuburan tetapi terlalu menghambur-hamburkan uang untuk penangkapan dengan menggunakan helikopter. Ketika dia menyarankan kepada pejabat BLM agar dinas itu menyuntik kuda betina dengan vaksin kontrasepsi margasatwa, porcine zona pellucida (PZP), dia masih ingat jawaban yang diterimanya, “Bukan begitu cara kami menangani hal tersebut. Kami menanganinya dengan melibatkan kuda dan tali.” Menurut Tom Gorey, juru bicara BLM, vaksin kontrasepsi PZP (porcine zona pellucida) sudah diberikan dalam penelitian percobaan kepada sekitar 1.800 kuda betina sejak 2004. “Pengaruhnya pada pertumbuhan populasi sedang dipantau,” begitu katanya.
Kathrens meragukan segala jenis campur tangan manusia dalam menangani jumlah kuda liar.
Di saat kami sedang bercakap-cakap, seekor betina kurus berkulit hitam arang berbaring di dekat anaknya. Kathrens menjelaskan, kuda betina itu sudah divaksinasi PZP hampir tujuh tahun yang lalu. Ketika kekuatan vaksin itu menyurut enam tahun kemudian, kuda itu bunting di luar musimnya. Anak kuda itu lahir pada bulan September, terlalu dekat ke awal musim dingin sehingga keduanya menghadapi musim semi yang dingin dan bersalju dalam kondisi yang tidak bersahabat. Kathrens mengatakan, kelahiran di luar musim adalah efek samping yang menyedihkan dari pemberian PZP kepada betina-betina Pryor. Namun, pengamatan tersebut dengan gigih ditolak Kirkpatrick yang mengatakan, selalu ada kelahiran di luar musim, dengan atau tanpa PZP. Kathrens mengarahkan kameranya ke si kuda betina, yang sekarang kepalanya terkulai lemah ke tanah. Si anak menyenggol induknya. “Oh, lihat itu,” seru Kathrens. “Jika cuaca dingin ini terus berlangsung, entah apakah induk dan anak ini akan mampu bertahan hingga datang musim panas.”
!break!
Ketika Kathrens kutanya, apa yang menurutnya merupakan alternatif terbaik, penangkapan atau PZP? Dia menjawab tegas: “Alam. Seleksi alam oleh puma, keterpaparan, kelaparan. Mungkin terdengar kejam jika kita mengatakan, biarkan alam yang bekerja. tetapi cara ini berhasil. Kesehatan kawanan kuda liar ini secara keseluruhan jauh lebih baik manakala alam yang menentukan hewan mana yang mampu bertahan dan mana yang tidak, daripada manusia yang memutuskan hal itu.”
Kathrens punya seekor kuda liar asal kawanan daerah Pryor dan tengah mempersiapkan diri untuk memiliki seekor lagi. Sekitar 5.000 ekor kuda liar dimiliki oleh perseorangan setiap tahun melalui proses adopsi BLM. (Pat O’Toole mengadopsi delapan ekor, termasuk Dot.) Dari jumlah itu, setidaknya 500 ekor akhirnya terdampar di pusat penyelamatan kuda atau di balai lelang. Di kedua tempat itu, ada risiko kuda liar dijual kepada “pembeli-pembunuh,” yang menjual satwa itu ke rumah jagal. Meskipun perjanjian adopsi tidak menyarankan para pemilik untuk menjual mustang mereka ke rumah jagal, BLM tidak berwenang secara hukum untuk mencegahnya. Para pemilik yang tidak berpengalaman yang merasa kewalahan oleh naluri kuat kuda liar itu untuk bertahan hidup, atau oleh dana besar yang harus dikeluarkan untuk memiliki sekelumit romantisme Kawasan Barat Lama kadang-kadang mengirimkan mustang mereka ke balai lelang, dengan tidak sabar ingin melepaskan diri dari kerepotan itu.
Hanya sedikit orang yang mengadopsi kuda untuk kemudian menjualnya ke rumah jagal semata-mata demi meraup keuntungan. Tapi, memang ada. Pada tahun 2005, seorang penduduk Oklahoma yang mengatakan ingin membeli kuda liar untuk program pemuda gereja, mengadopsi setengah lusin dengan harga $50 per ekor, lalu menjualnya ke rumah jagal di Illinois untuk mendapatkan sedikit keuntungan.
Dua tahun kemudian, Pengadilan Banding A.S. Wilayah Ketujuh mengukuhkan keputusan pengadilan Illinois untuk melarang penjagalan kuda untuk dikonsumsi manusia, dan rumah jagal terakhir di AS pun ditutup. Konsekuensi yang tidak diperkirakan sebelumnya dari undang-undang baru adalah bahwa semakin banyak kuda, lebih banyak daripada sebelumnya, yang dikirim untuk dijagal di Kanada dan Meksiko dan sama sekali tidak bisa diketahui seberapa banyak yang diekspor dalam kereta yang penuh sesak itu sebenarnya adalah kuda liar. “Aku tidak melihat adanya cap,” kata seorang pegawai Departemen Pertanian AS yang tidak mau disebutkan namanya. “Aku hanya menghitung kudanya. Sudah sulit mengetahui jenis kelamin kuda itu, apalagi mengetahui asal-usul keturunannya.”
Menurut cerita Pat O’Toole, Nelson Quispe bekerja menggembalakan dombanya lagi pada musim dingin 2006. Tentu saja penggembala muda itu bersikeras menunggang Dot. Setidaknya, bagi satu orang, keganasan angin musim dingin Wyoming telah mengubah kuda liar dari yang semula lambang kemuliaan dan kemampuan untuk bertahan hidup menjadi makhluk berjantung yang berdetak, yang menyiratkan lambang tersebut. Namun, O’Toole tidak punya waktu untuk memikirkan romantika kisah itu. “Entah apakah kami masih dapat terus memelihara domba,” katanya. “Kami pernah menjalani masa-masa sulit, tetapi yang ini sama sulitnya seperti yang pernah kualami.” Cukup lama terdiam, kami berdua merenungkan masalah yang dihadapinya—lahan yang menyusut karena adanya pengembangan gas dan minyak, persaingan dengan kuda liar untuk mendapatkan padang, kekeringan, dan harga pakan yang semakin mahal. Kemudian, kami membicarakan hal apa saja yang hilang jika O’Toole menutup usahanya: domba, pemeliharaan padang terbuka oleh peternak, penggunaan kuda liar.
Kemungkinan kuda akan selalu ada selama manusia masih duduk di atas sadel. Yang belum dapat dipastikan adalah apakah akan selalu ada alam liar yang cukup luas bagi mustang untuk berlari dengan aman, berfungsi, dan sehat secara genetis. Ketika berkendara pulang dari aktivitas penangkapan kuda liar di Rock Springs melalui Pinedale ke Jackson, kulihat berhektar-hektar dataran tinggi yang dialihfungsikan untuk pengembangan minyak dan gas, mesin pengebor minyak yang menjulang tinggi dari semak Salvia yang beku, daerah pinggiran kota yang dipenuhi kemah dan lapangan mobil trailer untuk para pekerja. Kendaraan pekerja ladang minyak sibuk berseliweran di jaringan jalan, tampak meluncur dengan mulus melintasi fatamorgana yang tepinya seperti perak. Bangkai hewan yang terlindas di jalan, kebanyakan pronghorn (Antilocapra americana) dan kijang Odocoileus hemionus, tergeletak memucat, nyaris dalam jumlah yang luar biasa banyaknya.
Hingga kira-kira 20 tahun yang lalu, masih dapat dijumpai kawanan kuda liar di luar sana, berkeliaran santai di pinggiran kota di musim semi dan ditangkapi secara berkala oleh peternak lokal. Tak satu orang pun yang kuajak bicara dapat mengingat kapan persisnya kuda liar itu menghilang.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR