Mereka menggunakan bahasa Spanyol, yang dipelajari Fidencia di sekolah dasar Rarámuri, yang jaraknya tujuh jam berjalan kaki dari gua tempatnya dilahirkan, pada masa sebelum dia menikah dengan ayah Lorena, Catarino Olivas Mancinas. Suaminya ini keturunan penambang, bukan keturunan Tarahumara yang sudah beberapa generasi tinggal di Sierra Madre. Rumahnya yang terus-menerus diperluas termasuk salah satu rumah paling bagus di Guagüeyvo: ada beberapa kamar tidur tambahan yang dilengkapi kasur untuk anak-anak yang sudah dewasa dan para cucu yang juga tinggal di situ, selain lantai beton, dan teras yang dihiasi sofa bekas jok mobil. Juga terdapat panel listrik tenaga surya berukuran kecil, yang mampu menyalakan dua lampu kuning yang berdengung setelah malam tiba. Jalan menuju Guagüeyvo akhirnya dibangun juga tiga tahun yang lalu, dan permukaannya yang dari tanah cukup lebar sehingga dapat dipasangi tiang listrik, meskipun tiang-tiang tersebut masih belum berfungsi. Fidencia mendengar kabar bahwa listrik akan segera mengalir. Apabila memang sudah ada listrik, Lorena akan memberinya lemari es.
Lemari es ini akan menghadirkan sesuatu yang luar biasa. Aku tahu persis akan seperti apa wujudnya kelak: hitam dan mengilap. Lemari es itu milik Lorena, dan saat ini masih ada di dapurnya di San Rafael, dan di kota itu terdapat beberapa jalan bata, dan hampir semua rumah memiliki aliran listrik dan jamban siram. Sudah setahun lamanya Lorena dan Fidencia tidak bertemu, dan meskipun pertemuan kembali di antara keduanya terasa canggung—Fidencia maju menghampiri putrinya sambil mengangguk dan menerima pelukan ringan—sang ibu sekarang berdiri di samping putrinya sambil keduanya memukul-mukul kepingan tortila sampai tipis dan melontarkannya ke tungku. Jagung untuk membuat tortila itu berasal dari panen musim lalu. Fidencia mengumpulkan biji jagung kering berwarna biru tadi pagi, merendamnya dalam air dari tangki penyimpan di luar, menggiling jagung itu melewati alat penggiling yang digerakkan tangan di teras, lalu menghaluskan hasil gilingan menjadi lempengan pada lempeng batu semacam cobek, lempeng batu yang dibawanya dari gua keluarga, sama seperti yang digunakan neneknya, dan yang juga pernah digunakan para leluhurnya. Kemudian, Fidencia keluar lagi, membawa masuk kayu bakar sebanyak yang bisa dibawa dalam pelukan tangannya, lalu menyalakan api di tungku besi.
!break!
Tortila itu tebal dan rasanya lezat. Pagi itu Fidencia menarik seekor ayam dari kandang, menyembelihnya, membuang bulunya, memotong-motongnya dengan pisau, kemudian mencemplungkannya ke dalam panci, sehingga tercium aroma sup caldo, daging, dan sayuran yang mendidih perlahan. Dia mengenakan rok merah jambu bermotif bunga, atasan berwarna biru cerah, dan bandana yang ditalikan di bawah dagunya. Lengannya tampak sama kekarnya dengan lengan seorang atlet angkat berat. (“Kau tahu caraku menghilangkan perasaan lelah di tempat kerja?” Lorena bertanya padaku pada kesempatan lain. “Aku selalu berkata dalam hati, ibuku lebih lelah dariku.”)
Aku pernah mendengar komentar salah seorang penganut Jesuit yang mengatakan bahwa memperluas jaringan jalan yang dapat dilalui truk menyebabkan orang Tarahumara kehilangan stamina untuk berjalan dan berlari jarak jauh, dan sekarang, dengan mulut dipenuhi tortila dalam cahaya keemasan dari api tungku, kubayangkan aliran listrik di Guagüeyvo yang mendatangkan berbagai benda logam berkabel yang biasa digunakan kaum chabochi—alat penggiling yang dihidupkan cukup dengan menekan tombol, jam digital, alat pengering rambut, lemari es berwarna hitam itu, TV yang menayangkan telenovela di antara rentetan iklan maskara dan sabun cuci. Kutanyakan pada Fidencia bagaimana reaksinya jika ada orang membawa semua barang ini ke rumahnya. Dia berhenti memandang putrinya dengan agak lama dan berganti menatapku, dengan pandangan tajam namun tetap ramah, seakan-akan sedang berusaha memahami apakah mungkin aku sama bodohnya seperti penampilanku.
“Pasti akan sangat menyenangkan,” jawabnya.
Ketika aku menatap Lorena sekilas, dia berusaha, dengan menjunjung tinggi martabat Tarahumara, untuk tidak tertawa.
Pilihan atas Sierra Madre sebagai tempat yang strategis untuk menghindari bangsa Spanyol berabad-abad yang lalu ternyata merupakan berkah sekaligus beban bagi orang Tarahumara dewasa ini. Leluhur mereka bukan pengecut ataupun pencinta damai; sejarah mencatat adanya pemberontakan beringas yang dilakukan suku Tarahumara dalam kelompok yang tidak terlalu terkucil dan pusat-pusat pertambangan, di mana kaum penjajah menggunakan mereka sebagai buruh kasar seraya memaksa mereka menerima kehidupan desa bergaya Eropa. Tetapi, sebagai masyarakat, orang Tarahumara berhasil bertahan terutama karena, seperti yang dikatakan oleh seorang pendeta Sierra kepadaku, kemampuan mereka untuk menolak pengaruh asing—si pendeta menepukkan tangan kanannya ke tangan kirinya, lalu perlahan-lahan meluncurkan tangan kiri itu dari bawah, seperti ikan yang berhasil menggelincir melalui celah pada bebatuan.
Namun, geografi yang membuat tanah Tarahumara begitu sulit dijangkau para penakluk menyebabkannya menjadi incaran para penjarah yang terus berdatangan. Puncak bukit dan lembah ngarai mengandung perak dan berbagai mineral lain, yang menarik para penambang sejak abad ke-17. Hutan rimbanya menarik para pembalak, yang menebang pepohonan, dan akhirnya—di bawah kepemimpinan pertama seorang insinyur Amerika tahun 1800an—berhasil membangun jalan kereta api untuk mengangkut bahan baku yang ditemukan di daerah itu. Kerja pembangunan itu berlangsung selama hampir 80 tahun; jalur yang sudah rampung itu, yang berliku-liku melintasi Sierra Madre, dengan sejumlah jembatan tinggi dan terowongan, merupakan karya teknik yang mengagumkan. Dewasa ini, gelondongan kayu diangkut dengan truk (masih tetap dalam jumlah yang serampangan, demikian kata para pengecam pembalakan, meskipun mereka terus mengeluhkan kerusakan hutan), dan kereta api utama yang sekarang menggunakan jalur Sierra dinamakan Chihuahua Pacífico, atau yang lebih dikenal sebagai Chepe. Lafalnya cepe, dan tugas utamanya adalah memikat wisatawan.
!break!
Suku Tarahumara dan penduduk setempat biasanya naik kereta Chepe di kelas dua, menuju kota atau ke tempat kerja musiman, yaitu memetik buah, tidak jauh di balik pegunungan. Tetapi, penghasilan Chepe yang sebenarnya berasal dari orang luar, yaitu orang Meksiko dan orang asing, yang menjulurkan kepalanya keluar dari pintu kereta yang setengah terbuka, dan turun di tempat-tempat khusus untuk menikmati pemandangan indah, di mana ngarai yang terbentang seluruhnya sangat menakjubkan, sungguh suatu pemandangan yang membuat pening—nama Tembaga bukan berasal dari mineral, melainkan dari kemilau warna-warni tebing luas yang bermandikan cahaya matahari—sehingga sumber daya berikutnya yang dapat dieksploitasi begitu gamblang: kemegahan yang pasti memikat wisatawan. Kita berdiri di tempat itu, mengedip-ngedipkan mata, menikmatinya, merenung: Pemandangan ini demikian elok. Terlalu banyak orang berlimpah harta yang ingin ikut mencicipinya, termasuk seluruh Meksiko yang haus pembangunan. Ini bukan pertarungan yang adil.
Para cendekiawan Tarahumara berkata bahwa budaya mereka mengagumkan dari segi kegigihan—bahwa selama berabad-abad mereka berhasil mengatasi satu demi satu gempuran pengaruh chabochi, dan itulah sebabnya mengapa bahasa mereka tetap tangguh, keyakinan keagamaan mereka tetap kuat, dan begitu banyak wanita mereka yang masih tetap mengenakan selendang penutup kepala dan rok panjang. Suatu kali aku pernah menyaksikan balap lari wanita di luar sebuah permukiman Rarámuri yang tampak kumuh di Chihuahu; ke situlah ribuan orang Tarahumara bermigrasi untuk tinggal di gubuk-gubuk sempit yang mencakup seluruh blok. Orang Tarahumara lebih sering berlari dalam lomba tradisional Rarámuri, orang-orang berkerumun untuk mempertaruhkan ternak atau harta milik lainnya untuk menebak hasil lomba. Pria balapan lari di lintasan yang jaraknya mencengangkan, mengenakan alas kaki huarache atau berkaki telanjang, sambil terus menendang bola kayu sebesar bola bisbol. Jika wanita yang balapan, mereka melemparkan dan menangkap lingkaran dengan kayu panjang sambil berlari, dan begitulah anak-anak perempuan dan remaja putri berlari di jalanan Chihuahua, huarache berderap menapaki batu bata jalan, rok mereka berkibar-kibar menampari betis. Di belakang para penonton yang bersorak riuh-rendah, yang sepertinya bibi dan nenek mereka, barang yang dipertaruhkan ditumpuk setinggi pinggul: setumpuk baju Rarámuri, berkilauan seperti kemeja para joki pembalap kuda.
Tetapi, tumpukan itu terletak di trotoar beton. Di belakangnya, bangunan tempat tinggal sama padatnya dengan bangunan yang pernah kulihat digunakan orang Tarahumara penghuni ngarai untuk mengandangkan domba. Terdapat guru dan tukang kayu di apartemen kecil-kecil di permukiman Rarámuri, dan para penghuni lanjut usia yang dengan penuh hormat diminta menjadi pemimpin masyarakat, serta mahasiswa yang mengambil jurusan antropologi atau teknik industri. Namun, ada juga pengedar narkoba, semuanya tahu, para pemuda remaja yang bersandar santai di dinding mengenakan topi bisbol terbalik, penghirup lem dan pengemis, remaja putri yang sudah punya anak saat masih berusia 13 tahun, serta para pengidap diabetes, orang tambun akibat menyantap “makanan sampah,” dan pengidap alta presión. Namun, bukan hanya mereka yang menjadi korban budaya kehidupan kota; di Guagüeyvo aku berkenalan dengan dokter chabochi yang masih muda yang dinding kliniknya ditempeli bagan kasus-kasus malagizi pada anak-anak balita—60 kasus seperti ini pada musim semi yang lalu, katanya, adalah konsekuensi akibat kemiskinan, panen buruk, dan para orang-tua yang mati rasa akibat terlalu banyak minum bir jagung atau minuman keras yang didatangkan dengan truk, sehingga mereka tidak menyadari bahwa anak-anak mereka tidak cukup makan.
“Kehidupan suku Tarahumara lebih banyak berubah dalam 20 tahun terakhir ini daripada dalam 300 tahun sebelumnya,” demikian kata seorang pendeta Creel bernama Pedro Juan de Velasco Rivero. Dia adalah salah seorang dari sekelompok penganut Jesuit yang berpangkalan di Sierra yang bertugas sebagai pendeta keliling dan perantara kaum Tarahumara dengan chabochi—beberapa di antaranya fasih berbahasa Rarámuri—dan yang sekarang merupakan para pengecam paling pedas di antara orang-orang Meksiko tentang pengaruh budaya chabochi terhadap suku Tarahumara. Di luar dinas pariwisata pemerintah, amatlah sulit menemukan orang di Chihuahua yang dengan sepenuh hati percaya pada cetak biru pengembangan Ngarai Tembaga, yang menampilkan gondola besar dari kaca-dan-baja yang menyusuri bibir ngarai serta perkiraan yang sangat optimistik tentang pasar pengunjung yang mungkin berdatangan: 7,2 juta orang dari A.S., demikian yang digembar-gemborkan dalam tajuk sebuah brosur, dan 5,5 juta lagi pengunjung dari Meksiko. Tetapi, kudengar ada beberapa chabochi dan bahkan segelintir orang Tarahumara yang mengatakan bahwa wilayah itu sesungguhnya dapat memanfaatkan kemajuan pesat ekonomi ini—beberapa fasilitas pariwisata dan sebuah bandara komersial setempat. Kemiskinan bukanlah sesuatu yang mulia, demikian salah seorang pemilik hotel di Creel berkata dengan geram, meskipun terdapat di ngarai yang serba indah dan dihiasi rok yang serba elok.
!break!
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR