Pendapat ini diamini oleh para pendeta: Pekerjaan membersihkan kamar hotel, yang dinding lobinya dihiasi aneka lukisan Tarahumara yang cantik-cantik, sama sekali bukan kemajuan. “Jangan munafik dengan mengatakan bahwa proyek ini dimaksudkan untuk membantu suku Tarahumara,” kata de Velasco dengan ketus. “Proyek itu dimaksudkan untuk menarik wisatawan dan mempertebal dompet pribadi. Sebuah ‘kampung Tarahumara’ adalah sesuatu yang absurd—kebohongan tulen. Sebuah gondola di atas ngarai merupakan sesuatu yang tidak pada tempatnya. Bayangkan saja, ini daerah yang tidak memiliki air; satu hotel baru akan menggunakan lebih banyak air dalam sehari dibandingkan dengan yang digunakan oleh satu keluarga Tarahumara dalam setahun. Biaya yang disiapkan pemerintah untuk membangun sejumlah hotel sebenarnya cukup untuk menyediakan sarana air bersih bagi semua orang Tarahumara, yang jelas jauh lebih berguna bagi mereka daripada membangun sebuah kampung palsu tempat mereka menjajakan cendera mata.”
Setelah malam tiba di Guagüeyvo, yakni malam sebelum Jumat Agung, orang-orang mulai berkumpul di luar gereja, yang jaraknya kurang dari satu kilometer dari rumah orang tua Lorena, melintasi ladang jagung yang tidak ditanami dan sungai berbatu-batu. Suara genderang belum berhenti; akan terus terdengar sepanjang malam, hanya sesekali berhenti sejenak, dan begitu terus selama 51 jam berikutnya. Ritual Semana Santa dijelaskan kepadaku oleh para ahli antropologi, oleh orang Tarahumara dari komunitas yang lain, oleh para kerabat di dapur Fidencia, tetapi penjelasan mereka berlain-lainan. Penabuhan genderang, misalnya: Acara ini dimulai tiga pekan sebelum Semana Santa, di seluruh penjuru Sierra Madre, dan seorang wanita bersuara lembut yang sedang mengaduk semur untuk hidangan makan siang di sebuah sekolah di Rarámuri mengatakan bahwa suara genderang itu membuat Tuhan tidak mengantuk, karena setan datang menjelang saat ini setiap tahun.
Ketika hal ini kutanyakan pada Fidencia, dia menjawabnya kira-kira begini: “Menarik, bukan?” dengan gaya seakan-akan sependapat tapi tidak yakin, sambil mengangkat bahu. Kami menabuh genderang karena memang sudah tiba waktunya untuk menabuh, katanya, yang terdengar persis seperti nenekku yang berusaha menjelaskan ritual yang sudah begitu lama dipraktikkan sehingga orang sudah lupa alasan di balik ritual itu. Para tokoh Pharisee yang melukis tubuhnya; serdadu berseragam yang menyandang pedang kayu; keranjang anyaman yang disandang di bahu yang berisi Jesus dan Bunda Maria; boneka Judas dari jerami—dengan bentuk yang mengejutkan, yang begitu kentara, yang menampilkan seakan-akan tokoh itu kebanyakan minum Viagra—ini semua adalah unsur-unsur Semana Santa yang tampak di mana-mana di seluruh penjuru Sierra Madre, cerita penyaliban yang menyiratkan upacara musim tanam, katarsis tentang kebaikan selalu mengalahkan kejahatan, dan rujukan ke hujan, matahari, bulan di masa pra-Masehi.
Di Guagüeyvo aku berusaha menanyakan dengan hati-hati perihal kemaluan boneka Judas yang dibuat begitu kentara, setelah menunggu sampai ada waktu yang tepat ketika tidak ada pria lain, dan semua wanita sudah berada di kamar yang ditingkahi suara tawa riang. Tetapi, tidak ada yang tahu pasti akan jawabannya, dan seorang biarawati tamu berkata bahwa sepanjang pengetahuannya, tujuannya adalah agar Judas terlihat konyol. “Ingat, dia itu ‘kan pengkhianat,” katanya. “Dan boneka Judas itu akan dimusnahkan.”
!break!
Sekarang bulan purnama, dan aku serta Lorena berjalan menyeberangi ladang gandum. Aku mengenakan rok dan bandana di rambutku, dengan niat ingin tampil santun, sementara Lorena, yang mengenakan celana korduroy yang sudah dikenakannya sepanjang hari, menatapku dengan pandangan kurang berkenan. “Penampilanmu gaya sekali,” katanya, lalu menarik nafas panjang. “OK.”
Dia masuk kembali ke dalam rumah dan ketika keluar lagi sudah mengenakan rok dan selendang—tetapi selendang itu dililitkan dan dipakai seperti bando dengan gaya anak muda, tidak ditalikan di bawah dagu seperti wanita berumur. Sambil berjalan bermandikan cahaya bulan menuju halaman gereja, di mana para sepupunya menabuh genderang dari kulit domba dan melakukan tarian ular-ularan, Lorena menendang kerikil keluar dari jalan dengan sepatu olahraganya. “Tapi, aku tidak memakai huarache,” katanya. “Terlalu banyak kerikil di bawah kakiku.”
Tidaklah mudah mencerna semua ini dengan arif, wanita berdarah campuran yang tengah bertarung mencari jati dirinya, dan seterusnya. Tetapi, ayah Lorena sudah berada di halaman gereja, meniup suling bambu khas Tarahumara dengan mata terpejam, sementara beberapa orang pria dengan wajah dihiasi cat menari-nari di sekitarnya dengan gerakan langkah menyamping. Ayah Lorena seorang pria bertubuh langsing, berkulit gelap, yang menjabat tanganku tanpa berkomentar apa pun saat aku tiba, menatapku tajam sejenak, lalu tiba-tiba bertanya, “Kamu sedang ada di mana ketika Menara Kembar di New York itu runtuh?” Setelah mendengar jawabanku (ada di rumah, di Kalifornia), dia mengangguk, menanyakan apakah Osama bin Laden sudah berhasil ditemukan, lalu kembali meniup sulingnya. Dia dan saudara kembarnya membantu menyelenggarakan upacara Semana Santa. Keduanya penghuni setia Guagüeyvo. Tidak demikian dengan Lorena, tidak lagi, karena untuk dirinya dan ketiga putranya yang masih kecil dia menginginkan hal-hal yang tidak tersedia di ngarai yang terpencil itu dan di sekolah dasar di situ yang kondisinya tidak memadai. Setelah mulai bekerja sebagai perawat, Lorena pernah pulang ke desanya selama lima tahun, ditempatkan di sebuah fasilitas medis kecil yang dibangun pemerintah di samping sekolah Guagüeyvo. Pemerintah menawarinya untuk terus bekerja di situ. Lorena memilih untuk tidak menerima tawaran itu. Dia sudah tidak lagi memiliki rok Rarámuri yang pas baginya.
“Aku memang wanita pribumi,” kata Lorena pada larut malam itu, ketika kami duduk-duduk dan mengobrol; kami berusaha membahas konsep jati diri, apa artinya menjadi anggota suatu masyarakat tertentu, dan betapa mudahnya hal itu membuat kita bingung: Di manakah kita menarik garis pemisah antara upaya untuk melestarikan masyarakat pribumi dan upaya yang memerangkap orang dalam konsep romantis tentang bagaimana seharusnya masyarakat tersebut? Lorena tidak tertarik pada rencana pengembangan Ngarai Tembaga; bukan pekerjaan membereskan kamar hotel yang diperlukan kaumnya, katanya, dan dia merasa risi saat melihat para penjaja cendera mata Rarámuri tampak serius dan penuh warna-warni ketika wisatawan memotret mereka. Tetapi, alasannya lebih bersifat praktis: Para penjaja itu tidak mendapatkan imbalan yang layak. Seharusnya mereka menuntut imbalan lebih banyak daripada yang saat ini mereka dapatkan. Dan anak-anak mereka seharusnya bersekolah. Dan mereka seharusnya tidak membesarkan anak-anak dalam masyarakat yang suka mabuk-mabukan.
!berak!
Sebuah lilin menyala di kamar belakang tempat aku dan Lorena tidur bersama dua dari ketiga putranya. Sudah lewat tengah malam. Kami masih bisa mendengar suara genderang. “Aku merasa begitu damai ketika datang ke sini,” bisik Lorena.
Kemudian dia berkata, tiba-tiba, “Aku akan mengadakan pesta ulang tahun saat anakku berusia enam tahun. Akan kukatakan kepada kedua orang adik perempuanku bahwa aku ingin mereka hadir. Aku ingin mereka meninggalkan tempat ini. Mungkin hanya untuk beberapa hari saja. Aku ingin mereka melihat bagaimana rasanya tinggal di kota.” Yang dimaksudkannya adalah kedua adik perempuannya yang tidak menikah, keduanya sekolah ala kadarnya, tinggal di rumah keluarga. Adik yang lebih tua sudah punya tiga orang anak, tetapi ayah anak-anak itu punya keluarga lagi di Guagüeyvo. “Mereka juga bisa menjadi perawat dwibahasa, bekerja di klinik,” bisik Lorena. “Di sini mereka tidak punya masa depan.”
Judas dibakar pada hari Sabtu pagi. Beberapa tong bir jagung diseret ke ruang terbuka, acara minum-minum dimulai sejak subuh, dan pozole panas, yaitu semur jagung yang dibuat dengan domba yang disembelih dan kelinci hasil tangkapan para tokoh Pharisee yang ikut berpawai pada hari sebelumnya, disajikan dari beberapa tong raksasa di luar rumah yang berjarak satu ngarai di atas rumah Lorena. (“Aku bisa saja mengajakmu berjalan menyusuri jalan setapak siang hari ini ke rumah-rumah yang tak dapat kaulihat dari sini,” kata salah seorang sepupu Lorena dengan sopan, sambil menyodorkan sepiring pozole dan sekendi bir jagung, “hanya saja aku berencana untuk mabuk berat.”) Kemudian, semua orang berjalan dengan langkah berat menuju halaman gereja. Boneka orang-orangan diseret ke tempat terbuka, dipasangi topi bisbol hitam di kepalanya, dan enam orang pria mabuk menjatuhkan diri menimpanya, berteriak-teriak, menendang-nendang, menarik-narik anggota badannya. Akhirnya, seseorang membakar Judas, dan ketika sudah tidak ada lagi yang tersisa selain abu dan serpihan jerami hangus, para pria mabuk itu berdiri lagi dengan sempoyongan, dengan nafas terengah-engah.
Ada yang berteriak, “¿Ahora qué hacemos?”
Tiba-tiba Lorena tertawa terbahak-bahak. Dia menatapku. Diremasnya bahu anaknya yang berusia lima tahun sambil mengulangi teriakan itu, dengan suara nyaring.
“¿Ahora qué hacemos?—Apa yang akan kita lakukan selanjutnya?”
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR