Setiap bintang di angkasa malam adalah seorang Indian Tarahumara yang jiwanya—pria memiliki tiga dan wanita memiliki empat, karena wanita adalah penghasil kehidupan baru—semuanya, pada akhirnya, sirna. Hal-hal inilah yang diceritakan oleh para ahli antropologi dan para pendeta tentang kepercayaan suku Tarahumara, yang menyebut diri mereka Rarámuri, yang tinggal di dalam dan di atas ngarai-ngarai Sierra Madre Occidental di Meksiko, di sebelah utara, dan ke situlah lima abad yang silam mereka menyelamatkan diri dari serbuan bangsa Spanyol. Orang-orang Spanyol itu bukan saja memiliki senjata api dan kuda, tetapi juga janggut yang tidak nyaman dipandang mata; dari kehadiran bangsa Spanyol inilah muncul kata chabochi dalam bahasa Rarámuri, yang sampai sekarang berarti orang luar, yaitu orang yang bukan orang Tarahumara. Chabochi sesungguhnya bukan ejekan, melainkan hanya cara untuk membedakan diri dari dunia luar. Terjemahan harfiahnya, yang ibaratnya mengacu pada hubungan saat ini antara masyarakat Tarahumara dan masyarakat Meksiko abad ke-21, adalah “orang yang wajahnya disembunyikan di balik sarang laba-laba.”
!break!
Orang Tarahumara bersifat pendiam dan kurang suka bergaul, dan tinggal saling berjauhan. Mereka tinggal di rumah kecil-kecil yang terbuat dari kayu atau batu bata adobe, atau di gua, atau di hunian yang sebagian bangunannya berupa batu yang menjorok keluar sehingga berfungsi sebagai atap. Mereka meracik minuman beralkohol dari jagung, yang ditanam di ladang kecil yang dibajak dengan tangan, dan pada acara pesta atau perayaan mereka berkumpul bersama dan minum secara bergiliran dari kendi yang terbuat dari semacam labu, sampai mereka mabuk yang ditandai dengan berteriak-teriak, atau mengantuk, atau uring-uringan, lalu bergelimpangan di tanah sampai siuman kembali. Mereka pelari jarak jauh yang tangguh karena selama beberapa generasi memiliki jaringan transportasi berupa jalan setapak yang sempit melintasi ngarai; Rarámuri berarti “pelari-kaki” atau “orang yang pintar berjalan,” dan konon mereka menjengkelkan atlet-atlet ultramaraton Amerika karena mengalahkan mereka sambil hanya mengenakan sepatu sandal huarache dan sesekali berhenti untuk merokok.
Mereka menganggap pekerjaan sebagai sesuatu yang harus dilakukan untuk dapat bertahan hidup, namun pekerjaan dipandang sebagai sekadar cara untuk mencapai tujuan, dan tidak sepenting kewajiban spiritual dan hal-hal lain yang menyangkut jiwa. Perekonomian tradisional mereka dijalankan dengan cara barter, bukan dengan uang tunai; mereka memiliki kata untuk konsep berbagi, yang sulit diterjemahkan secara langsung ke dalam bahasa Spanyol ataupun Inggris: “kórima,” yang diucapkan oleh wanita Tarahumara yang membuka telapak tangannya untuk mendapatkan sesuatu yang oleh chabochi disebut derma. Tetapi, tidak akan ada ucapan “terima kasih” untuk pemberian uang receh yang diterima, karena kórima menyiratkan kewajiban untuk mendistribusikan kekayaan agar bermanfaat bagi semua orang.
Mereka juga sering menyantap Maruchan, mi instan Jepang yang dikemas dalam wadah berbentuk silinder dari plastic-foam. Demikian pula dengan keripik kentang dalam kemasan aluminium foil, Coca-Cola kemasan literan, dan bir Tecate dalam kaleng yang tutup cincinnya mudah dibuka—kita dapat menghabiskan waktu enam jam terbanting-banting di dalam mobil pickup berpenggerak empat roda menuju permukiman yang saling berjauhan yang lokasinya paling dalam di ngarai Tarahumara, berbelok-belok melalui jalan tanah rapuh menyusuri tebing curam, sampai truk itu mengitari ujung jalan, matahari mulai terbenam dan asap terbang melingkar-lingkar dari cerobong asap di kejauhan, dan suara genderang upacara mendayu-dayu dari suatu tempat nun di bawah sana, dan di jalan setapak itu tampak dua botol soda yang sudah kosong dan bungkus mi Maruchan yang dibuang sembarangan. Pemandangan ini membuyarkan khayalan romantis para chabochi. Menurut perhitungan terbaru oleh pemerintah, 106.000 orang Tarahumara tinggal di Meksiko, sehingga mereka merupakan kelompok kaum pribumi terbesar di Amerika Utara; sebagian besar masih tinggal di daerah yang agak terpencil yang oleh pemerintah Meksiko dipromosikan sebagai Ngarai Tembaga (Copper Canyon), namun baik nama tempat maupun citra para penghuninya yang dilukiskan oleh organisasi wisatawan (“Mereka menjalani kehidupan bersahaja yang tidak tersentuh oleh teknologi modern” tercantum dalam artikel online) ternyata hanyalah penggalan informasi, pernyataan sepotong-sepotong, yang tidak mencerminkan keadaan sesungguhnya.
Ngarai Tembaga itu sendiri, misalnya, atau Barranca del Cobre, sebenarnya adalah salah satu dari belasan ngarai raksasa di bagian Sierra Madre. Beberapa di antaranya lebih dalam daripada Grand Canyon. Dan perniagaan kaum chabochi, baik yang legal maupun ilegal, terus merasuki semua ngarai ini. Industri narkoba semakin meningkatkan penggunaan ngarai untuk pembudidayaan ganja dan bunga opium, menghalau keluarga-keluarga Tarahumara dari ladang jagung, ladang kacang, dan ladang labu mereka. Upaya pemerintah untuk menyediakan jalan dan sarana pendidikan bagi suku Tarahumara juga dinodai dengan bermunculannya minuman keras murah, para penjahat bersenjata, dan berbagai chatarra, istilah bahasa Meksiko untuk “makanan sampah,” yang cocok untuk memenuhi rak-rak toko yang tidak memiliki lemari pendingin karena tidak ada pasokan listrik. Kaum pria Tarahumara yang masih tradisional biasanya mengenakan bando lebar di kepala dan penutup selangkangan yang membiarkan kaki mereka telanjang, sekalipun cuaca sangat dingin, namun sekarang semakin banyak yang mengenakan celana blue jeans dan topi koboi, serta sepatu bot berujung runcing dari kulit yang dicat sewarna dengan ikat pinggang. Kebanyakan wanita Tarahumara masih suka mengenakan selendang penutup kepala warna-warni dan rok panjang bermotif bunga atau rok wiron berwarna gelap atau pastel bergelombang yang mirip kerang, seperti jumbai tirai jendela. Namun, sekarang mereka juga suka mengenakan celana blue jeans.
!break!
Bandara komersial pertama di wilayah itu rencananya akan dibangun di Creel, bekas pusat industri kayu yang perekonomiannya dewasa ini bergantung pada jalur kereta api berpemandangan indah yang melintasi kota. Para perencana dari pihak pemerintah meramalkan bahwa selanjutnya akan terjadi ledakan pembangunan hotel untuk menampung wisatawan baru yang datang berbondong-bondong. Para pejabat di Chihuahua, negara bagian di Meksiko yang mencakup sebagian besar wilayah Tarahumara, membujuk para investor swasta untuk membangun kompleks pariwisata di bibir ngarai—loncat bungee, kereta gantung, lebih banyak hotel, dan “kampung Indian” sebagai tempat pameran permanen untuk menampilkan “ritual, upacara, dan busana”—yang akan dibangun jauh ke sebelah barat rute rel kereta api, menyusuri tempat yang sekarang menjadi tempat wisatawan menikmati pemandangan yang dipenuhi para penjaja, orang Tarahumara. Para penjaja ini hampir semuanya wanita dan anak-anak, menawarkan keranjang dan anyaman yang mereka ketahui disukai wisatawan. Anak-anak perempuan yang masih berusia di bawah usia sekolah, atau sudah cukup umur tetapi bekerja sebagai penjaja cendera mata, mengasongkan tangan yang dipenuhi gelang kepang sambil terus mengucapkan kata bahasa Spanyol pertama yang pernah mereka kenal: “¿Compra?—Mau beli?"
Rencana pengembangan Ngarai Tembaga sarat dengan ketidakpastian dan kontroversi—pembangunan bandara mengalami penundaan berkali-kali, dan perdebatan tentang lingkungan terus berlanjut, terutama karena seluruh wilayah Sierra secara berkala dilanda hembusan angin panas. (Janji-janji tentang kepekaan terhadap lingkungan tidak ditanggapi dengan baik pada musim semi 2008, padahal semua orang yang kukenal, termasuk pejabat pemerintah, tahu bahwa selama bertahun-tahun satu-satunya hotel yang sudah ada di situ membuang limbahnya langsung ke ngarai terdekat; pemiliknya, yang bersikeras mengatakan bahwa perbaikan tangki septik sedang dilakukan, ternyata mantan direktur pariwisata.) Tetapi, ada masalah yang lebih besar dan lebih dikenal secara universal sedang berlangsung di seluruh Sierra Tarahumara, sebutan lain wilayah itu. Dengan atau tanpa bandara, pengaruh kehidupan modern Meksiko sudah datang melanda, merasuki budaya kaum pribumi yang untuk waktu lama berhasil menjaga jarak dengan dunia luar. Namun, setiap dorongan untuk membayangkan bahwa hal ini membuat segalanya—masyarakat pribumi yang dulu kehidupannya harmonis, yang kemudian dikotori oleh para pendatang yang membawa pandangan keliru tentang makna masyarakat beradab—menjadi lebih praktis, segera ditepiskan oleh masyarakat yang benar-benar tinggal di ngarai.
Seorang perawat klinik di kota San Rafael di Sierra Madre, seorang wanita separuh-Tarahumara yang berusia 35 tahun dan bernama Lorena Olivas Reyes, mengatakan bahwa para pasiennya yang orang Tarahumara sudah terpengaruh oleh kaum chabochi—istilah ini di Sierra disebut chabochiado—sehingga dia tidak perlu menciptakan istilah baru dalam bahasa Rarámuri untuk “tekanan darah tinggi,” yang tidak ada dalam bahasa tersebut. Dia dapat menggunakan bahasa Spanyol ketika menjelaskan kepada pasiennya bahwa mereka, seperti kaum chabochi, sekarang terkena alta presión. Lorena bertulang pipi menonjol dan berambut hitam tebal yang panjangnya sepinggang, yang digulung menjadi konde rapi ketika bekerja di San Rafael. Setiap kali aku melihatnya di klinik, dia selalu mengenakan seragam perawatnya yang putih, tampak anggun dengan mimik wajah serius di kala berjalan dengan efisien di antara para wanita Tarahumara yang mengenakan rok panjang berwarna cerah.
Lorena pertama kali bermigrasi dari tempatnya dibesarkan, sebuah permukiman Tarahumara berdinding ngarai yang bernama Guagüeyvo, ketika usianya 13 tahun. Dia memanjat ngarai—di kala itu belum ada jalan, dan cara keluar dari tempat itu adalah mendaki lereng ngarai yang terjal—karena dia senang belajar, dan kelas berikutnya yang ada hanya tersedia di sekolah yang jarak tempuhnya berjam-jam, yang bahkan terasa berat bagi pelari-kaki yang masih kecil itu jika harus dilakukan setiap hari. Aku baru mengetahui hal ini ketika aku dan Lorena berhasil meyakinkan seorang tukang kayu di San Rafael untuk mengantarkan kami berkendara selama lima jam ke Guagüeyvo dengan menggunakan truk pickup-nya, bersama ketiga putra Lorena, sebuah sepeda tua, satu wadah lemak babi, sebongkah keju, sekantung cokelat yang dibungkus aluminium foil, dan dua perdu bunga mawar untuk kebun ibunya.
!break!
Waktu itu adalah hari Kamis pada Semana Santa, atau Pekan Suci, hari-hari menjelang Paskah yang menandai waktu paling keramat pada tahun kalender Tarahumara. Para pendeta Jesuit lah yang pertama kali memperkenalkan agama Kristen kepada suku Tarahumara Sierra pada tahun 1600an, tetapi mereka dihalau seabad kemudian, ketika ketegangan politik memaksa bangsa Spanyol mengusir semua anggota Masyarakat Jesus dari Spanyol Baru, dan pada saat para Jesuit kembali pada tahun 1900, praktik keagamaan Tarahumara telah menjadi perpaduan antara dua kepercayaan yang secara taat dipatuhi, acara kebaktian Katolik yang berkombinasi dengan kepercayaan kuno, yang sekarang dipraktikkan di hampir seluruh wilayah Sierra Madre.
Ada beberapa hal yang terjadi di ngarai pada pekan Semana Santa yang pasti mencengangkan kebanyakan orang luar penganut Kristiani yang menyaksikannya untuk pertama kalinya—boneka Judas yang mencerminkan seks dan kekerasan yang mungkin meresahkan para pendatang baru karena merasa hal itu tidak layak disaksikan anak-anak; dan Pharisee, orang Yahudi saleh dari zaman biblikal, berperan penting dalam pawai yang menampilkan orang berlari, menabuh genderang, menari-nari, minum-minum, dan bertarung. Acara ini merupakan tontonan yang sangat memikat, kaum prianya kadang melukis wajah dan dada dengan corak bintik-bintik putih yang menakutkan, dan setiap musim semi, berbagai acara yang berlangsung selama sepekan itu berhasil menarik ribuan pengunjung ke Sierra. Namun, para pengunjung ini tidak datang ke Guagüeyvo, karena kota ini bahkan tidak tercantum pada sejumlah peta. Masyarakatnya tinggal menyebar di tempat-tempat hunian di seputar sebuah cekungan yang rimbun di tebing yang curam, dan di dapur keluarga Lorena kami duduk mengelilingi sebuah meja panjang di senja hari, menyantap tortila panas yang oleh ibu Lorena, Fidencia, terus-menerus diangkat dari tungku dan dituangkan ke piring plastik.
“Bagaimana tadi tariannya?” tanya Lorena.
“Tokoh utama Pharisee-nya jatuh dan kakinya patah,” jawab Fidencia.
Mereka menggunakan bahasa Spanyol, yang dipelajari Fidencia di sekolah dasar Rarámuri, yang jaraknya tujuh jam berjalan kaki dari gua tempatnya dilahirkan, pada masa sebelum dia menikah dengan ayah Lorena, Catarino Olivas Mancinas. Suaminya ini keturunan penambang, bukan keturunan Tarahumara yang sudah beberapa generasi tinggal di Sierra Madre. Rumahnya yang terus-menerus diperluas termasuk salah satu rumah paling bagus di Guagüeyvo: ada beberapa kamar tidur tambahan yang dilengkapi kasur untuk anak-anak yang sudah dewasa dan para cucu yang juga tinggal di situ, selain lantai beton, dan teras yang dihiasi sofa bekas jok mobil. Juga terdapat panel listrik tenaga surya berukuran kecil, yang mampu menyalakan dua lampu kuning yang berdengung setelah malam tiba. Jalan menuju Guagüeyvo akhirnya dibangun juga tiga tahun yang lalu, dan permukaannya yang dari tanah cukup lebar sehingga dapat dipasangi tiang listrik, meskipun tiang-tiang tersebut masih belum berfungsi. Fidencia mendengar kabar bahwa listrik akan segera mengalir. Apabila memang sudah ada listrik, Lorena akan memberinya lemari es.
Lemari es ini akan menghadirkan sesuatu yang luar biasa. Aku tahu persis akan seperti apa wujudnya kelak: hitam dan mengilap. Lemari es itu milik Lorena, dan saat ini masih ada di dapurnya di San Rafael, dan di kota itu terdapat beberapa jalan bata, dan hampir semua rumah memiliki aliran listrik dan jamban siram. Sudah setahun lamanya Lorena dan Fidencia tidak bertemu, dan meskipun pertemuan kembali di antara keduanya terasa canggung—Fidencia maju menghampiri putrinya sambil mengangguk dan menerima pelukan ringan—sang ibu sekarang berdiri di samping putrinya sambil keduanya memukul-mukul kepingan tortila sampai tipis dan melontarkannya ke tungku. Jagung untuk membuat tortila itu berasal dari panen musim lalu. Fidencia mengumpulkan biji jagung kering berwarna biru tadi pagi, merendamnya dalam air dari tangki penyimpan di luar, menggiling jagung itu melewati alat penggiling yang digerakkan tangan di teras, lalu menghaluskan hasil gilingan menjadi lempengan pada lempeng batu semacam cobek, lempeng batu yang dibawanya dari gua keluarga, sama seperti yang digunakan neneknya, dan yang juga pernah digunakan para leluhurnya. Kemudian, Fidencia keluar lagi, membawa masuk kayu bakar sebanyak yang bisa dibawa dalam pelukan tangannya, lalu menyalakan api di tungku besi.
!break!
Tortila itu tebal dan rasanya lezat. Pagi itu Fidencia menarik seekor ayam dari kandang, menyembelihnya, membuang bulunya, memotong-motongnya dengan pisau, kemudian mencemplungkannya ke dalam panci, sehingga tercium aroma sup caldo, daging, dan sayuran yang mendidih perlahan. Dia mengenakan rok merah jambu bermotif bunga, atasan berwarna biru cerah, dan bandana yang ditalikan di bawah dagunya. Lengannya tampak sama kekarnya dengan lengan seorang atlet angkat berat. (“Kau tahu caraku menghilangkan perasaan lelah di tempat kerja?” Lorena bertanya padaku pada kesempatan lain. “Aku selalu berkata dalam hati, ibuku lebih lelah dariku.”)
Aku pernah mendengar komentar salah seorang penganut Jesuit yang mengatakan bahwa memperluas jaringan jalan yang dapat dilalui truk menyebabkan orang Tarahumara kehilangan stamina untuk berjalan dan berlari jarak jauh, dan sekarang, dengan mulut dipenuhi tortila dalam cahaya keemasan dari api tungku, kubayangkan aliran listrik di Guagüeyvo yang mendatangkan berbagai benda logam berkabel yang biasa digunakan kaum chabochi—alat penggiling yang dihidupkan cukup dengan menekan tombol, jam digital, alat pengering rambut, lemari es berwarna hitam itu, TV yang menayangkan telenovela di antara rentetan iklan maskara dan sabun cuci. Kutanyakan pada Fidencia bagaimana reaksinya jika ada orang membawa semua barang ini ke rumahnya. Dia berhenti memandang putrinya dengan agak lama dan berganti menatapku, dengan pandangan tajam namun tetap ramah, seakan-akan sedang berusaha memahami apakah mungkin aku sama bodohnya seperti penampilanku.
“Pasti akan sangat menyenangkan,” jawabnya.
Ketika aku menatap Lorena sekilas, dia berusaha, dengan menjunjung tinggi martabat Tarahumara, untuk tidak tertawa.
Pilihan atas Sierra Madre sebagai tempat yang strategis untuk menghindari bangsa Spanyol berabad-abad yang lalu ternyata merupakan berkah sekaligus beban bagi orang Tarahumara dewasa ini. Leluhur mereka bukan pengecut ataupun pencinta damai; sejarah mencatat adanya pemberontakan beringas yang dilakukan suku Tarahumara dalam kelompok yang tidak terlalu terkucil dan pusat-pusat pertambangan, di mana kaum penjajah menggunakan mereka sebagai buruh kasar seraya memaksa mereka menerima kehidupan desa bergaya Eropa. Tetapi, sebagai masyarakat, orang Tarahumara berhasil bertahan terutama karena, seperti yang dikatakan oleh seorang pendeta Sierra kepadaku, kemampuan mereka untuk menolak pengaruh asing—si pendeta menepukkan tangan kanannya ke tangan kirinya, lalu perlahan-lahan meluncurkan tangan kiri itu dari bawah, seperti ikan yang berhasil menggelincir melalui celah pada bebatuan.
Namun, geografi yang membuat tanah Tarahumara begitu sulit dijangkau para penakluk menyebabkannya menjadi incaran para penjarah yang terus berdatangan. Puncak bukit dan lembah ngarai mengandung perak dan berbagai mineral lain, yang menarik para penambang sejak abad ke-17. Hutan rimbanya menarik para pembalak, yang menebang pepohonan, dan akhirnya—di bawah kepemimpinan pertama seorang insinyur Amerika tahun 1800an—berhasil membangun jalan kereta api untuk mengangkut bahan baku yang ditemukan di daerah itu. Kerja pembangunan itu berlangsung selama hampir 80 tahun; jalur yang sudah rampung itu, yang berliku-liku melintasi Sierra Madre, dengan sejumlah jembatan tinggi dan terowongan, merupakan karya teknik yang mengagumkan. Dewasa ini, gelondongan kayu diangkut dengan truk (masih tetap dalam jumlah yang serampangan, demikian kata para pengecam pembalakan, meskipun mereka terus mengeluhkan kerusakan hutan), dan kereta api utama yang sekarang menggunakan jalur Sierra dinamakan Chihuahua Pacífico, atau yang lebih dikenal sebagai Chepe. Lafalnya cepe, dan tugas utamanya adalah memikat wisatawan.
!break!
Suku Tarahumara dan penduduk setempat biasanya naik kereta Chepe di kelas dua, menuju kota atau ke tempat kerja musiman, yaitu memetik buah, tidak jauh di balik pegunungan. Tetapi, penghasilan Chepe yang sebenarnya berasal dari orang luar, yaitu orang Meksiko dan orang asing, yang menjulurkan kepalanya keluar dari pintu kereta yang setengah terbuka, dan turun di tempat-tempat khusus untuk menikmati pemandangan indah, di mana ngarai yang terbentang seluruhnya sangat menakjubkan, sungguh suatu pemandangan yang membuat pening—nama Tembaga bukan berasal dari mineral, melainkan dari kemilau warna-warni tebing luas yang bermandikan cahaya matahari—sehingga sumber daya berikutnya yang dapat dieksploitasi begitu gamblang: kemegahan yang pasti memikat wisatawan. Kita berdiri di tempat itu, mengedip-ngedipkan mata, menikmatinya, merenung: Pemandangan ini demikian elok. Terlalu banyak orang berlimpah harta yang ingin ikut mencicipinya, termasuk seluruh Meksiko yang haus pembangunan. Ini bukan pertarungan yang adil.
Para cendekiawan Tarahumara berkata bahwa budaya mereka mengagumkan dari segi kegigihan—bahwa selama berabad-abad mereka berhasil mengatasi satu demi satu gempuran pengaruh chabochi, dan itulah sebabnya mengapa bahasa mereka tetap tangguh, keyakinan keagamaan mereka tetap kuat, dan begitu banyak wanita mereka yang masih tetap mengenakan selendang penutup kepala dan rok panjang. Suatu kali aku pernah menyaksikan balap lari wanita di luar sebuah permukiman Rarámuri yang tampak kumuh di Chihuahu; ke situlah ribuan orang Tarahumara bermigrasi untuk tinggal di gubuk-gubuk sempit yang mencakup seluruh blok. Orang Tarahumara lebih sering berlari dalam lomba tradisional Rarámuri, orang-orang berkerumun untuk mempertaruhkan ternak atau harta milik lainnya untuk menebak hasil lomba. Pria balapan lari di lintasan yang jaraknya mencengangkan, mengenakan alas kaki huarache atau berkaki telanjang, sambil terus menendang bola kayu sebesar bola bisbol. Jika wanita yang balapan, mereka melemparkan dan menangkap lingkaran dengan kayu panjang sambil berlari, dan begitulah anak-anak perempuan dan remaja putri berlari di jalanan Chihuahua, huarache berderap menapaki batu bata jalan, rok mereka berkibar-kibar menampari betis. Di belakang para penonton yang bersorak riuh-rendah, yang sepertinya bibi dan nenek mereka, barang yang dipertaruhkan ditumpuk setinggi pinggul: setumpuk baju Rarámuri, berkilauan seperti kemeja para joki pembalap kuda.
Tetapi, tumpukan itu terletak di trotoar beton. Di belakangnya, bangunan tempat tinggal sama padatnya dengan bangunan yang pernah kulihat digunakan orang Tarahumara penghuni ngarai untuk mengandangkan domba. Terdapat guru dan tukang kayu di apartemen kecil-kecil di permukiman Rarámuri, dan para penghuni lanjut usia yang dengan penuh hormat diminta menjadi pemimpin masyarakat, serta mahasiswa yang mengambil jurusan antropologi atau teknik industri. Namun, ada juga pengedar narkoba, semuanya tahu, para pemuda remaja yang bersandar santai di dinding mengenakan topi bisbol terbalik, penghirup lem dan pengemis, remaja putri yang sudah punya anak saat masih berusia 13 tahun, serta para pengidap diabetes, orang tambun akibat menyantap “makanan sampah,” dan pengidap alta presión. Namun, bukan hanya mereka yang menjadi korban budaya kehidupan kota; di Guagüeyvo aku berkenalan dengan dokter chabochi yang masih muda yang dinding kliniknya ditempeli bagan kasus-kasus malagizi pada anak-anak balita—60 kasus seperti ini pada musim semi yang lalu, katanya, adalah konsekuensi akibat kemiskinan, panen buruk, dan para orang-tua yang mati rasa akibat terlalu banyak minum bir jagung atau minuman keras yang didatangkan dengan truk, sehingga mereka tidak menyadari bahwa anak-anak mereka tidak cukup makan.
“Kehidupan suku Tarahumara lebih banyak berubah dalam 20 tahun terakhir ini daripada dalam 300 tahun sebelumnya,” demikian kata seorang pendeta Creel bernama Pedro Juan de Velasco Rivero. Dia adalah salah seorang dari sekelompok penganut Jesuit yang berpangkalan di Sierra yang bertugas sebagai pendeta keliling dan perantara kaum Tarahumara dengan chabochi—beberapa di antaranya fasih berbahasa Rarámuri—dan yang sekarang merupakan para pengecam paling pedas di antara orang-orang Meksiko tentang pengaruh budaya chabochi terhadap suku Tarahumara. Di luar dinas pariwisata pemerintah, amatlah sulit menemukan orang di Chihuahua yang dengan sepenuh hati percaya pada cetak biru pengembangan Ngarai Tembaga, yang menampilkan gondola besar dari kaca-dan-baja yang menyusuri bibir ngarai serta perkiraan yang sangat optimistik tentang pasar pengunjung yang mungkin berdatangan: 7,2 juta orang dari A.S., demikian yang digembar-gemborkan dalam tajuk sebuah brosur, dan 5,5 juta lagi pengunjung dari Meksiko. Tetapi, kudengar ada beberapa chabochi dan bahkan segelintir orang Tarahumara yang mengatakan bahwa wilayah itu sesungguhnya dapat memanfaatkan kemajuan pesat ekonomi ini—beberapa fasilitas pariwisata dan sebuah bandara komersial setempat. Kemiskinan bukanlah sesuatu yang mulia, demikian salah seorang pemilik hotel di Creel berkata dengan geram, meskipun terdapat di ngarai yang serba indah dan dihiasi rok yang serba elok.
!break!
Pendapat ini diamini oleh para pendeta: Pekerjaan membersihkan kamar hotel, yang dinding lobinya dihiasi aneka lukisan Tarahumara yang cantik-cantik, sama sekali bukan kemajuan. “Jangan munafik dengan mengatakan bahwa proyek ini dimaksudkan untuk membantu suku Tarahumara,” kata de Velasco dengan ketus. “Proyek itu dimaksudkan untuk menarik wisatawan dan mempertebal dompet pribadi. Sebuah ‘kampung Tarahumara’ adalah sesuatu yang absurd—kebohongan tulen. Sebuah gondola di atas ngarai merupakan sesuatu yang tidak pada tempatnya. Bayangkan saja, ini daerah yang tidak memiliki air; satu hotel baru akan menggunakan lebih banyak air dalam sehari dibandingkan dengan yang digunakan oleh satu keluarga Tarahumara dalam setahun. Biaya yang disiapkan pemerintah untuk membangun sejumlah hotel sebenarnya cukup untuk menyediakan sarana air bersih bagi semua orang Tarahumara, yang jelas jauh lebih berguna bagi mereka daripada membangun sebuah kampung palsu tempat mereka menjajakan cendera mata.”
Setelah malam tiba di Guagüeyvo, yakni malam sebelum Jumat Agung, orang-orang mulai berkumpul di luar gereja, yang jaraknya kurang dari satu kilometer dari rumah orang tua Lorena, melintasi ladang jagung yang tidak ditanami dan sungai berbatu-batu. Suara genderang belum berhenti; akan terus terdengar sepanjang malam, hanya sesekali berhenti sejenak, dan begitu terus selama 51 jam berikutnya. Ritual Semana Santa dijelaskan kepadaku oleh para ahli antropologi, oleh orang Tarahumara dari komunitas yang lain, oleh para kerabat di dapur Fidencia, tetapi penjelasan mereka berlain-lainan. Penabuhan genderang, misalnya: Acara ini dimulai tiga pekan sebelum Semana Santa, di seluruh penjuru Sierra Madre, dan seorang wanita bersuara lembut yang sedang mengaduk semur untuk hidangan makan siang di sebuah sekolah di Rarámuri mengatakan bahwa suara genderang itu membuat Tuhan tidak mengantuk, karena setan datang menjelang saat ini setiap tahun.
Ketika hal ini kutanyakan pada Fidencia, dia menjawabnya kira-kira begini: “Menarik, bukan?” dengan gaya seakan-akan sependapat tapi tidak yakin, sambil mengangkat bahu. Kami menabuh genderang karena memang sudah tiba waktunya untuk menabuh, katanya, yang terdengar persis seperti nenekku yang berusaha menjelaskan ritual yang sudah begitu lama dipraktikkan sehingga orang sudah lupa alasan di balik ritual itu. Para tokoh Pharisee yang melukis tubuhnya; serdadu berseragam yang menyandang pedang kayu; keranjang anyaman yang disandang di bahu yang berisi Jesus dan Bunda Maria; boneka Judas dari jerami—dengan bentuk yang mengejutkan, yang begitu kentara, yang menampilkan seakan-akan tokoh itu kebanyakan minum Viagra—ini semua adalah unsur-unsur Semana Santa yang tampak di mana-mana di seluruh penjuru Sierra Madre, cerita penyaliban yang menyiratkan upacara musim tanam, katarsis tentang kebaikan selalu mengalahkan kejahatan, dan rujukan ke hujan, matahari, bulan di masa pra-Masehi.
Di Guagüeyvo aku berusaha menanyakan dengan hati-hati perihal kemaluan boneka Judas yang dibuat begitu kentara, setelah menunggu sampai ada waktu yang tepat ketika tidak ada pria lain, dan semua wanita sudah berada di kamar yang ditingkahi suara tawa riang. Tetapi, tidak ada yang tahu pasti akan jawabannya, dan seorang biarawati tamu berkata bahwa sepanjang pengetahuannya, tujuannya adalah agar Judas terlihat konyol. “Ingat, dia itu ‘kan pengkhianat,” katanya. “Dan boneka Judas itu akan dimusnahkan.”
!break!
Sekarang bulan purnama, dan aku serta Lorena berjalan menyeberangi ladang gandum. Aku mengenakan rok dan bandana di rambutku, dengan niat ingin tampil santun, sementara Lorena, yang mengenakan celana korduroy yang sudah dikenakannya sepanjang hari, menatapku dengan pandangan kurang berkenan. “Penampilanmu gaya sekali,” katanya, lalu menarik nafas panjang. “OK.”
Dia masuk kembali ke dalam rumah dan ketika keluar lagi sudah mengenakan rok dan selendang—tetapi selendang itu dililitkan dan dipakai seperti bando dengan gaya anak muda, tidak ditalikan di bawah dagu seperti wanita berumur. Sambil berjalan bermandikan cahaya bulan menuju halaman gereja, di mana para sepupunya menabuh genderang dari kulit domba dan melakukan tarian ular-ularan, Lorena menendang kerikil keluar dari jalan dengan sepatu olahraganya. “Tapi, aku tidak memakai huarache,” katanya. “Terlalu banyak kerikil di bawah kakiku.”
Tidaklah mudah mencerna semua ini dengan arif, wanita berdarah campuran yang tengah bertarung mencari jati dirinya, dan seterusnya. Tetapi, ayah Lorena sudah berada di halaman gereja, meniup suling bambu khas Tarahumara dengan mata terpejam, sementara beberapa orang pria dengan wajah dihiasi cat menari-nari di sekitarnya dengan gerakan langkah menyamping. Ayah Lorena seorang pria bertubuh langsing, berkulit gelap, yang menjabat tanganku tanpa berkomentar apa pun saat aku tiba, menatapku tajam sejenak, lalu tiba-tiba bertanya, “Kamu sedang ada di mana ketika Menara Kembar di New York itu runtuh?” Setelah mendengar jawabanku (ada di rumah, di Kalifornia), dia mengangguk, menanyakan apakah Osama bin Laden sudah berhasil ditemukan, lalu kembali meniup sulingnya. Dia dan saudara kembarnya membantu menyelenggarakan upacara Semana Santa. Keduanya penghuni setia Guagüeyvo. Tidak demikian dengan Lorena, tidak lagi, karena untuk dirinya dan ketiga putranya yang masih kecil dia menginginkan hal-hal yang tidak tersedia di ngarai yang terpencil itu dan di sekolah dasar di situ yang kondisinya tidak memadai. Setelah mulai bekerja sebagai perawat, Lorena pernah pulang ke desanya selama lima tahun, ditempatkan di sebuah fasilitas medis kecil yang dibangun pemerintah di samping sekolah Guagüeyvo. Pemerintah menawarinya untuk terus bekerja di situ. Lorena memilih untuk tidak menerima tawaran itu. Dia sudah tidak lagi memiliki rok Rarámuri yang pas baginya.
“Aku memang wanita pribumi,” kata Lorena pada larut malam itu, ketika kami duduk-duduk dan mengobrol; kami berusaha membahas konsep jati diri, apa artinya menjadi anggota suatu masyarakat tertentu, dan betapa mudahnya hal itu membuat kita bingung: Di manakah kita menarik garis pemisah antara upaya untuk melestarikan masyarakat pribumi dan upaya yang memerangkap orang dalam konsep romantis tentang bagaimana seharusnya masyarakat tersebut? Lorena tidak tertarik pada rencana pengembangan Ngarai Tembaga; bukan pekerjaan membereskan kamar hotel yang diperlukan kaumnya, katanya, dan dia merasa risi saat melihat para penjaja cendera mata Rarámuri tampak serius dan penuh warna-warni ketika wisatawan memotret mereka. Tetapi, alasannya lebih bersifat praktis: Para penjaja itu tidak mendapatkan imbalan yang layak. Seharusnya mereka menuntut imbalan lebih banyak daripada yang saat ini mereka dapatkan. Dan anak-anak mereka seharusnya bersekolah. Dan mereka seharusnya tidak membesarkan anak-anak dalam masyarakat yang suka mabuk-mabukan.
!berak!
Sebuah lilin menyala di kamar belakang tempat aku dan Lorena tidur bersama dua dari ketiga putranya. Sudah lewat tengah malam. Kami masih bisa mendengar suara genderang. “Aku merasa begitu damai ketika datang ke sini,” bisik Lorena.
Kemudian dia berkata, tiba-tiba, “Aku akan mengadakan pesta ulang tahun saat anakku berusia enam tahun. Akan kukatakan kepada kedua orang adik perempuanku bahwa aku ingin mereka hadir. Aku ingin mereka meninggalkan tempat ini. Mungkin hanya untuk beberapa hari saja. Aku ingin mereka melihat bagaimana rasanya tinggal di kota.” Yang dimaksudkannya adalah kedua adik perempuannya yang tidak menikah, keduanya sekolah ala kadarnya, tinggal di rumah keluarga. Adik yang lebih tua sudah punya tiga orang anak, tetapi ayah anak-anak itu punya keluarga lagi di Guagüeyvo. “Mereka juga bisa menjadi perawat dwibahasa, bekerja di klinik,” bisik Lorena. “Di sini mereka tidak punya masa depan.”
Judas dibakar pada hari Sabtu pagi. Beberapa tong bir jagung diseret ke ruang terbuka, acara minum-minum dimulai sejak subuh, dan pozole panas, yaitu semur jagung yang dibuat dengan domba yang disembelih dan kelinci hasil tangkapan para tokoh Pharisee yang ikut berpawai pada hari sebelumnya, disajikan dari beberapa tong raksasa di luar rumah yang berjarak satu ngarai di atas rumah Lorena. (“Aku bisa saja mengajakmu berjalan menyusuri jalan setapak siang hari ini ke rumah-rumah yang tak dapat kaulihat dari sini,” kata salah seorang sepupu Lorena dengan sopan, sambil menyodorkan sepiring pozole dan sekendi bir jagung, “hanya saja aku berencana untuk mabuk berat.”) Kemudian, semua orang berjalan dengan langkah berat menuju halaman gereja. Boneka orang-orangan diseret ke tempat terbuka, dipasangi topi bisbol hitam di kepalanya, dan enam orang pria mabuk menjatuhkan diri menimpanya, berteriak-teriak, menendang-nendang, menarik-narik anggota badannya. Akhirnya, seseorang membakar Judas, dan ketika sudah tidak ada lagi yang tersisa selain abu dan serpihan jerami hangus, para pria mabuk itu berdiri lagi dengan sempoyongan, dengan nafas terengah-engah.
Ada yang berteriak, “¿Ahora qué hacemos?”
Tiba-tiba Lorena tertawa terbahak-bahak. Dia menatapku. Diremasnya bahu anaknya yang berusia lima tahun sambil mengulangi teriakan itu, dengan suara nyaring.
“¿Ahora qué hacemos?—Apa yang akan kita lakukan selanjutnya?”
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR