Daulaire cuma setengah bercanda. Menurutnya, dokter bukanlah solusi bagi penduduk termiskin di dunia. Jika tidak hijrah ke luar negeri, dokter pada umumnya menetap di perkotaan. Di Malawi, setengah dari jumlah keseluruhan dokter hanya bekerja di salah satu dari empat rumah sakit di kota-kota besar, walaupun 85 persen wilayah Malawi terdiri dari pedesaan. Dengan beberapa pengecualian, kebanyakan dokter di negara-negara miskin bekerja sebagai dokter dengan alasan yang dimiliki oleh hampir semua orang di dunia: untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Jika Malawi atau India berhasil merekrut seorang dokter untuk ditempatkan pada sebuah pos kesehatan di daerah udik, kemungkinan besar pasien-pasien yang datang mencarinya tidak akan menemuinya. Si dokter akan bekerja di ibu kota, melayani pasien yang mampu membayarnya.
!break!
Dokter-dokter yang melayani penduduk pedesaan sekalipun jarang menghabiskan waktu guna mengajari penduduk tentang gizi, pemberian air susu ibu, kebersihan, dan pengobatan di rumah seperti solusi rehidrasi oral. Mereka tidak membantu penduduk desa untuk memperoleh air bersih, menciptakan sistem sanitasi, ataupun memperbaiki praktik bertani mereka—cara-cara yang dapat ditempuh untuk menghapus akar penyebab penyakit. Mereka tidak bekerja untuk menghilangkan berbagai mitos yang membuat orang tetap sakit. Mereka tidak melawan diskriminasi terhadap perempuan dan orang-orang dari kasta rendah, padahal diskriminasi itu menjadi racun bagi kesehatan. Para dokter juga menghadirkan lobi institusional yang kuat yang mampu menghambat solusi nyata bagi tempat-tempat seperti Jawalke: melatih penduduk desa seperti Sarubai Salve dan Babai Sathe untuk melakukan semua hal tersebut.
”Dokter memeromosikan perawatan medis karena hal tersebut adalah sumber datangnya uang,” ujar Raj Arole. ”Kami memeromosikan kesehatan.” Perbedaan istilah tersebut sangat penting bagi Arole, 75 tahun, seorang dokter, yang bersama istrinya Mabelle (meninggal dunia tahun 1999) mendirikan program yang dikenal sebagai Jamkhed, yang memberikan pelatihan kepada Salve dan Sathe. Suami-istri Arole lulus dengan peringkat tertinggi di kelas dari salah satu sekolah kedokteran yang paling bergengsi di India, Christian Medical College di Vellore, Tamil Nadu. “Sekolah-sekolah kedokteran berupaya menerapkan pendidikan yang akan membuat siswanya menjadi dokter yang bagus di Prancis atau Jerman,” kata Arole. Namun, pasangan Arole memiliki tujuan yang berbeda: memeromosikan kesehatan di kalangan penduduk miskin yang terpapa. Mereka bekerja di sebuah rumah sakit misionaris, kemudian menjalani masa magang praktik dan melanjutkan studi di bidang kesehatan masyarakat di AS.
Pada tahun 1970, pasangan Arole kembali ke India dan mendirikan Comprehensive Rural Health Project (Proyek Kesehatan Komprehensif Pedesaan) di Jamkhed, sebuah kota kecil yang dapat dicapai dalam waktu sekitar delapan jam perjalanan ke arah timur dari Mumbai. Mereka memilih lokasi tersebut—tidak jauh dari tempat Raj Arole dibesarkan—karena tempat tersebut merupakan salah satu wilayah termiskin di negara tersebut, sering dilanda kekeringan hingga nyaris menderita bencana kelaparan. Daerah tersebut tidak memiliki industri lokal ataupun jalur kereta api. Penduduknya bertahan hidup dengan menanam sorgum di petak-petak kecil. Pengairan lahannya berupa aktivitas meminta hujan kepada para dewa.
Ketika tiba di Jamkhed, pasangan Arole memulai sebuah rumah sakit kecil di bangunan klinik hewan yang sudah terbengkalai. Sebuah rumah sakit sangat dibutuhkan untuk melayani penyakit-penyakit berat maupun keadaan darurat dan itu memberikan proyek mereka kredibilitas dan dukungan politik. Rumah sakit tersebut juga menarik bayaran dari pasien yang mempu membayar. (Hingga saat ini, pemasukan tersebut bersama dengan donasi menyumbang terhadap sebagian besar anggaran tahunan Jamkhed yang besarnya sekitar 5 milyar rupiah untuk biaya operasional di pedesaan). Namun pasangan Arole paham bahwa pengobatan yang berorientasi penyembuhan hanya akan berdampak minim bagi kaum papa. Mereka perlu menekankan pengobatan yang berorientasi pencegahan dan memperkenalkannya ke desa-desa. Maka, mereka pun memutuskan untuk melibatkan warga pedesaan. Menurut Arole, seorang tenaga kesehatan desa mampu menangani 80 persen masalah kesehatan di desanya karena sebagian besar terkait dengan gizi dan lingkungan. Kematian anak sesungguhnya akibat tiga hal: kelaparan kronis, diare, dan infeksi pernafasan. Untuk ketiga hal tersebut, sesungguhnya peran seorang dokter tidaklah dibutuhkan. ”Masalah pedesaan sangatlah sederhana,” kata Arole. ”Air minum yang aman, pendidikan, dan pemberantasan kemiskinan mampu memeromosikan kesehatan dengan lebih baik dibandingkan uji diagnostik dan obat-obatan.”
!break!
Ketika Salve dan Sathe mulai bekerja di Jawalke, mereka hidup dalam kondisi melarat. Sebagai anggota Dalit atau kasta paria, mereka tidak dianggap sebagai manusia, demikian hinanya sehingga orang-orang dari kasta yang lebih tinggi akan membuang makanan meski makanan itu hanya tersentuh ujung kain-sari mereka. Di pedesaan, mereka bepergian dengan bertelanjang kaki, berhubung perempuan dari kasta paria tidak diperbolehkan memakai sepatu. Sathe ingat ketika ia harus berdiri selama berjam-jam di pompa air bersih setempat—yang tidak boleh disentuhnya—menunggu seorang wanita dari kasta yang lebih tinggi untuk mengasihaninya dan mengisi ember kosongnya. Salve demikian papanya sehingga ia hanya mampu mencuci rambutnya dengan lumpur dan hanya memiliki sehelai sari. Ketika ia mencucinya, ia harus tetap berendam di dalam sungai hingga pakaiannya kering.
Ketika pasangan Arole memperluas program mereka ke sedikitnya seratus desa di luar Jamkhed, mereka mendorong warga desa untuk memilih perempuan-perempuan dari kasta yang lebih rendah. ”Seorang perempuan yang terdidik umumnya berasal dari kasta yang tinggi—kemungkinan ia tidak akan [mau] bekerja bagi warga miskin yang terpapa,” kata Arole. Pasangan Arole percaya bahwa empati, pengetahuan tentang gaya hidup kaum miskin, dan keikhlasan untuk bekerja lebih penting daripada keterampilan dan gengsi.
Banyak tenaga kesehatan desa yang sama sekali buta aksara ketika pertama kali dilatih. Ketika Sathe pertama kali bertugas keliling Jawalke, ia belum pernah merasakan bangku sekolah barang sekalipun. Adapun Salve sekolah hingga tamat kelas empat. Sathe menikah pada usia sepuluh tahun; Salve pada usia dua setengah tahun. Setiap pekerja yang saya temui telah menikah pada usia 13 tahun. Banyak yang telah ditelantarkan oleh suami mereka. Beberapa di antaranya mengisahkan pengalaman dianiaya; Surekha Sadafule, yang kini berusia 26 tahun, menceritakan bagaimana suaminya melemparkannya ke dalam sumur setelah ia melahirkan seorang anak perempuan. Orang tuanya tidak akan mengizinkannya pulang. ”Engkau harus menerima apapun yang diberikannya padamu,” kata mereka. ”Itulah budaya India.”
Tugas pertama dari para tenaga kesehatan adalah mengubah diri mereka, dimulai dengan pelatihan selama dua minggu di kampus Jamkhed. Putri pasangan Arole, Sobha, 47 tahun, seorang dokter yang kini menjabat sebagai associate director program, memberikan sejumlah pelatihan. ”Saya bertanya kepada mereka, ’Siapa namamu?’ Mereka akan menjawab dengan nama desa asalnya dan kasta mereka. Mereka tidak memiliki kesadaran akan identitas diri,” ujarnya.
!break!
Mereka tidak akan menatap matamu ataupun berbicara langsung. Mereka bahkan tidak percaya bahwa seorang perempuan memiliki inteligensia.” Ibu Sobha bertanya kepada para perempuan itu, ”Mana yang lebih cerdas—seorang perempuan atau seekor tikus?” Mereka akan menjawab, ”Tikus.”. Sobha melatih para perempuan tersebut belajar menyebutkan nama mereka di depan cermin. Ia bertanya pada mereka, ”Siapakah seseorang yang tidak akan pernah meninggalkanmu?” Kemudian mereka akan berjalan ke belakang tirai untuk menghadapi cermin. Pelatihan tersebut meningkatkan rasa percaya diri mereka. ”Setiap orang dapat mengajarkan pengetahuan teknis,” kata Sobha. ”Yang membuat hal ini sukses adalah waktu yang dihabiskan untuk membangun kepercayaan diri mereka.” Pelatihan tersebut adalah kampanye yang terus berjalan: setiap hari Selasa, banyak di antara para perempuan tersebut pulang selama dua hari untuk mendiskusikan berbagai masalah yang ada di desa mereka, meninjau ulang apa yang mereka pelajari dari pekan sebelumnya, dan mempelajari sebuah topik baru, misalnya penyakit jantung. Para perempuan tersebut tidur di atas lantai, berselimutkan satu selimut besar yang mereka jahit bersama dari selimut-selimut kecil.
Tenaga-tenaga kesehatan tersebut tidak langsung berubah menjadi pemangku otoritas kesehatan desa. Dibutuhkan waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun untuk membuat warga desa mulai mendengarkan merka, sebuah proses yang ditopang seiring dengan kisah-kisah sukses dalam pemberian bantuan medis, semisal membantu proses persalinan bayi dari perempuan berkasta tinggi atau menyembuhkan demam seorang anak. Para perempuan tersebut juga mendapatkan bantuan dari sebuah tim keliling—seorang perawat, paramedis, pekerja sosial, dan terkadang seorang dokter—yang pada awalnya mengunjungi setiap desa tiap pekan, kemudian berangsur-angsur mengurangi frekuensi kunjungannya. Tim keliling tersebut mencari kasus-kasus tersulit kemudian memperkuat otoritas pekerja kesehatan desa. Sadafule menceritakan kepada saya bahwa suatu hari ia dan tim keliling mengunjungi rumah seorang perempuan berkasta tinggi di desanya. Sesuai dengan aturan sistem kasta, perempuan tersebut membuatkan teh bagi para tamunya, tetapi tidak untuk Sadafule—si kasta paria. ”Si pekerja sosial memberikan teh tersebut padaku,” kata Sadafule. Ia membawa obat resep, tetapi perempuan berkasta tinggi tersebut tidak memercayainya dan melontarkan pertanyaan yang sama kepada si perawat. Perawat tersebut membenarkan resep tersebut dan meminta Sadafule untuk mengeluarkan kembali obat tersebut dari tasnya dan menyerahkannya kepada si perempuan.
Berkat kehadiran tenaga kesehatan terlatih dari Jamkhed, desa-desa yang mendapatkan pelayanan mereka berangsur-angsur mulai berubah. Setelah kurang lebih tiga tahun, desa-desa ini mulai terlihat berbeda dibandingkan tetangga-tetangganya. Dibandingkan penderitaan yang melanda wilayah pedesaan India era 1970-an dan 1980-an, telah terjadi beberapa kemajuan di desa-desa yang belum disentuh oleh Jamkhed: lebih banyak perempuan yang menunda pernikahan hingga usia 18 tahun, penggunaan kontrasepsi telah mengurangi jumlah anggota keluarga, dan semakin banyak perempuan yang bersekolah. Namun, banyak yang tidak berubah. Di desa Kharda, lima belas kilometer dari Jawalke, air limbah mengalir bebas ke kali. Tumpukan kotoran sapi dihinggapi kerumunan lalat. Anak-anak kecil seringkali menderita diare, muntah, dan demam. Beberapa anak muda berpendidikan menyatakan tidak lagi memercayai takhyul masa lalu, tetapi banyak diantaranya mengaku akan melarikan korban gigitan ular ke kuil, bukan ke rumah sakit.
!break!
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR