Sebagai bahan baku industri, kebutuhan batugamping di Indonesia meningkat tajam tahun ke tahun. Sepuluh tahun silam, pabrik-pabrik semen yang ada di Indonesia membutuhkan sedikitnya 66 juta ton batugamping. Laju kebutuhannya mencapai 17-19 persen per tahun. Lima tahun belakangan, pemakaian batugamping naik tajam: 122 persen atau 163 juta ton. Pengguna terbesar adalah industri semen.
Dalam skala kecil, penduduk seperti Karyadi menggali bukit guna mendapat bongkahan batugamping buat pondasi, bata atau pengeras jalan. Sebagian lagi dapat mengambil kalsit yang terjebak dalam rongga batugamping.
Batugamping juga menjadi bahan dasar pembuatan karbid, peleburan dan pemurnian baja, pengendapan bijih logam non-ferrous, campuran keramik, pembuatan bata silica, soda abu, penjernih air dan kaca, gula, hingga pemutih pada industri kertas, pulp, dan karet. Dengan sederet kegunaannya, “Inilah pukau karst buat ditambang,” kata Hanang Samodra, ahli geologi dari Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumberdaya Mineral. Namun, benarkah karst hanyalah sebuah aset tambang? Di tanah air, tampaknya demikian. “Stigma ini sungguh memprihatinkan,” kata Dr Eko Haryono pengajar Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada.
Dari segi keilmuan kawasan karst justru adalah “tambang” lain yang tak pernah surut buat digali. Tak akan habis obyek buat diteliti. Fenomena bentang lahan permukaan karst yang unik, bawah permukaannya yang berupa sistem perguaan dan sungai bawah tanah merupakan obyek yang sangat menarik untuk diteliti.
!break!
Kawasan karst Indonesia, yang cenderung beriklim tropika basah, menjadi ladang flora berendemisitas tinggi. Kondisi karst yang cukup ekstrem, sepertinya tingginya kalsium dan magnesium tanah, melahirkan jenis tumbuhan unik. Di kawasan karst Maros-Pangkep, misalnya, setidaknya ditemukan 30 jenis ara atau beringin yang sanggup menyiasati kondisi yang kurang menguntungkan bagi sebagian besar jenis tanaman.
Fauna unik pun banyak dijumpai di bentang karst Indonesia. Mulai yang hidup di habitat karst luar seperti misalnya kupu-kupu endemik seperti di Maros hingga penghuni gua yang beranak pinak di dalam kegelapan abadi. Hingga kini, sejumlah spesies anyar penghuni gua kerap dijumpai. “Masih banyak lainnya yang belum terdata,” jelas Nurdjito dari Puslit-Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Kawasan karst—termasuk gua dan ceruk—dikenal pula sebagai tempat tinggal manusia purba. “Gua karst menjadi saksi bisu pola hidup, pemukiman, budaya manusia purba,” kata R Cecep Eka Permana, arkeolog yang meneliti sebaran cap tangan di gua-gua di kawasan Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan.
Tinggalan arkeologis yang masih tersisa di sejumlah ceruk di kawasan karst Indonesia sangat beragam. Mulai dari alat-alat batu, lukisan gua, sisa makanan hingga tengkorak manusia purba. “Namun banyak gua prasejarah rusak akibat penambangan. Padahal belum diteliti,” kata Cecep. Adanya Undang-Undang Cagar Budaya tak otomatis mengamankan gua-gua di kawasan karst dari intaian bencana.
!break!
Suatu kali ketika sedang mengagumi peninggalan arkeologis berupa lukisan-lukisan cap tangan peninggalan manusia purba di Gua Lambatorang, di kawasan Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan, saya dikejutkan oleh suara gemuruh yang memecah kesunyian gua. Bahkan saking kuatnya suara tersebut, dinding gua ikut berderak, tergetar. Partikel-partikel dari dinding dan langit-langit gua rontok seperti ketombe yang gugur dari rambut.
Di luar gua, kurang dari 20 meter jaraknya, berdiri sebuah pabrik marmer. Pemilik suara bising adalah mesin gergaji pemotong marmer beserta alat pembangkit listrik. Kompresor dan dua mesin bor Jack Hammer tergeletak di sudut lokasi tambang. Sebuah alat berat mondar-mandir meratakan tanah. Seperti halnya penambangan marmer di daerah lain, warga dilarang mendekat, apalagi masuk lokasi.
Menurut ketua Balai Pelestarian dan Peninggalan Purbakala Makasar, Andi Muhammad Said, “Jelas lokasi tambang menyalahi aturan.” Sebabnya, di lokasi sekitar situ terdapat cagar budaya. Artinya, melanggar Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang cagar budaya.
Lokasi Gua Lambatorang memang masih berada dalam kawasan Taman Prasejarah Leang-Leang. Di kawasan ini terserak puluhan gua yang menyimpan tinggalan arkeologis. Secara umum, kondisi lukisan-lukisan gua yang tersebar di ceruk kawasan karst Maros-Pangkep—tercatat ada 90 gua prasejarah—dalam lima tahun terakhir sangatlah memerihatinkan. Diperkirakan masih ada sekitar 268 gua yang mengandung tinggalan arkeologis namun belum terkaji.
!break!
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR