Kemungkinan lain, bisa saja pihak istana menelantarkan Angkor begitu saja. Penguasa penerus memiliki kebiasaan mendirikan kompleks candi baru dan menelantarkan yang lama, dan tradisi memulai yang baru tersebut mungkin merugikan Angkor ketika perdagangan maritim mulai berkembang antara Asia Tenggara dan China. Mungkin oportunisme ekonomi belaka yang, sebelum abad ke-16, menyebabkan pusat kekuasaan Khmer bergeser ke tempat yang lebih dekat dengan Sungai Mekong di dekat ibu kota modern Kamboja, Phnom Penh karena lokasi baru itu memudahkan akses ke Laut China Selatan.
Pergolakan ekonomi dan agama mungkin mempercepat kejatuhan Angkor, tetapi para penguasanya juga mendapat serangan tak terduga dari musuh yang lain. Angkor menjadi kekuatan abad pertengahan berkat sistem kanal dan waduk canggih yang memungkinkan kota itu menampung air yang langka pada bulan-bulan kemarau dan menyebarkan air berlebih pada musim hujan. Kekuatan di luar kendali Angkor telah mengacau-balaukan mesin yang dirancang dengan rapi ini.
Salah satu situs tersuci Angkor terletak tinggi di Perbukitan Kulen di daerah hulu dua sungai, Puok dan Siem Reap. Di bawah rimbunnya pepohonan beringin tua, terendam di kali tenang yang berair jernih, terdapat berbaris-baris jendolan bundar, masing-masing selebar 15 sentimeter, dipahat di dasar sungai yang berbatu pasir gelap. Ini adalah lingga lapuk, patung batu silinder yang mewakili esensi dewa Syiwa dalam agama Hindu. Lingga-lingga ini seperti jalan menuju pahatan lain di dasar sungai: petak berdinding tebal, selebar satu meter, dengan pintu masuk yang sempit. Ini yoni, lambang sumber kehidupan dalam agama Hindu.
!break!
Para pendeta tinggi Angkor datang ke sini untuk bersyukur kepada dewa-dewi karena telah mengaruniakan sumber kehidupan kerajaan. Ke hulu sedikit, ada jembatan batu pasir alami yang menjadi nama situs suci ini, Kbal Spean—bahasa Khmer untuk “ujung jembatan.” Air mengalir melalui celah, menciprati permukaan batu di sebelahnya, tempat Wisnu duduk bersila dan bersemadi untuk menghentikan samudra yang murka; dari pusarnya mencuat Brahma yang membawa bunga teratai. Di Perbukitan Kulen ini, dewa-dewi purba menikmati minuman abadi dari air yang mengalir.
Dengan memanfaatkan limpahan air musiman yang menyembur dari Perbukitan Kulen, Angkor dan para penguasanya makmur. Sejak masa Jayawarman II yang meletakkan fondasi kerajaan itu pada awal 800-an, pertumbuhan kekaisaran itu bergantung pada panen padi berlebih. Di seluruh Asia selatan, mungkin hanya kota kuno Anuradhapura dan Polonnaruwa di Sri Lanka serta waduk mereka yang terkenal yang dapat menandingi kemampuan Angkor menjamin pasokan air yang tak terputus.
Keterandalan itu memerlukan kegiatan keinsinyuran yang hebat, termasuk waduk bernama Baray Barat yang panjangnya 8 kilometer dan lebarnya 2,2 kilometer. Untuk membangun waduk ketiga yang tercanggih di Angkor 1.000 tahun lalu itu, mungkin diperlukan hingga 200.000 buruh Khmer untuk menumpuk 12 juta meter kubik tanah di tanggul selebar 90 meter dan setinggi gedung tiga lantai. Hingga kini, waduk persegi yang juga disebut baray ini, diisi dengan air yang dialirkan dari Sungai Siem Reap.
Cendekiawan pertama yang menyadari kehebatan skala dari tata air di Angkor adalah Bernard-Philippe Groslier, arkeolog Ecole Française d’Extrême-Orient (EFEO, Sekolah Studi Asia, Prancis). Dalam risalah 1979 yang monumental, ia membayangkan Angkor sebagai “kota hidraulis.” Ia berargumen bahwa baray-baray besar itu memiliki dua fungsi: melambangkan laut purba dalam kosmogoni Hindu dan mengairi sawah. Sayang, Groslier tak bisa menelusuri konsep tersebut secara lebih jauh. Perang saudara Kamboja, kekuasaan brutal Khmer Merah, dan penggulingan rezim itu oleh tentara Vietnam pada 1979 mengubah Angkor menjadi zona terlarang selama dua dasawarsa. Setelah pasukan Vietnam mundur, para penjarah memangsa Angkor, mencuri patung dan bahkan mencongkel relief-tipis dengan pahat.
!break!
Ketika Christophe Pottier yang arsitek sekaligus arkeolog membuka kembali stasiun riset EFEO di Angkor pada 1992, prioritas pertamanya adalah membantu Kamboja memugar candi yang rusak dan dijarah itu. Pottier tertarik pada alam liar di luar tembok-tembok candi. Ia menghabiskan waktu berbulan-bulan malang-melintang di bagian selatan Angkor Raya, berjalan kaki dan bermotor, memetakan kuil dan gundukan rumah yang semula tersembunyi di dekat kolam buatan yang disebut tangki air. (Sisa anarki dan kekerasan mencegah Pottier menyurvei bagian utara.) Lalu pada 2000, Fletcher dan koleganya Damian Evans memperoleh citra radar Angkor dari NASA. Citra itu mengungkapkan banyak hal: tim University of Sydney yang bekerja sama dengan EFEO dan APSARA (dinas pemerintahan Kamboja yang mengelola Angkor) menemukan banyak lagi sisa-sisa permukiman, kanal, dan tangki air, terutama di daerah-daerah Angkor yang tak terjangkau. Penerbangan ultraringan Donald Cooney telah membantu Fletcher dan Pottier, yang kini salah satu direktur Greater Angkor Project, memeriksa fitur-fitur ini dengan detail lebih halus. Yang penting, mereka menemukan pintu masuk dan keluar baray untuk mengakhiri perdebatan yang dipicu oleh karya Groslier tentang apakah waduk kolosal itu digunakan semata untuk ritual agama atau untuk irigasi. Jawabannya jelas, keduanya.
Para peneliti terkagum-kagum pada ambisi para insinyur Angkor. “Kami menyadari bahwa seluruh lanskap Angkor Raya itu adalah buatan,” kata Fletcher. Selama beberapa abad, berkelompok-kelompok buruh membangun ratusan kilometer kanal dan tanggul yang mengandalkan sedikit perbedaan kemiringan tanah yang alami untuk membelokkan air dari Sungai Puok, Roluos, dan Siem Reap ke baray. Pada bulan-bulan musim kemarau, kanal-kanal yang meluap membelokkan kelebihan air. Setelah hujan mereda pada Oktober atau November, kanal pengairan membagi simpanan air. Baray juga mungkin membantu memulihkan kelembapan tanah dengan membiarkan air merembes ke tanah. Di sawah sekeliling, penguapan permukaan tentu menarik air tanah untuk memasok tumbuhan. “Sistem ini sangat cerdas,” kata Fletcher.
Tata air yang cerdas itu mungkin menjadi pembeda antara peradaban yang besar dan yang biasa-biasa saja. Sebagian besar padi kerajaan ditanam di sawah berpematang yang, tanpa sistem ini, harus bergantung pada hujan monsun atau pasang-surut air musiman di bantaran banjir Tonle Sap. Pengairan tentu meningkatkan panen. Sistem itu mungkin membuat pangan tersedia di musim paceklik, kata Fletcher. Selain itu, kemampuan dalam membelokkan dan menampung air tersebut ikut memberi perlindungan dari banjir. Menurut dia, saat kerajaan-kerajaan lain di Asia Tenggara berjuang mengatasi kekurangan atau kelebihan air, tata air di Angkor menjadi “aset strategis yang sangat berharga.”
Maka, Fletcher terheran-heran saat timnya menggali salah satu buah tangan Angkor yang luar biasa—sebuah bangunan luas di dalam tata air itu—dan menemukan bahwa bangunan itu telah dihancurkan, sepertinya oleh para insinyur Angkor sendiri.
***
!break!
Saat itu hampir tengah hari bulan Juni, sekitar 16 kilometer sebelah utara Angkor Wat, dan di dasar parit becek sepanjang empat meter pun, mereka tidak terbebas dari terik matahari. Fletcher melepaskan topi bisbol biru tua dan mengusap kening. Peneliti yang kalem itu seakan-akan hendak memberi penjelasan terperinci tentang balok batu merah keabu-abuan yang ditemukan timnya, beserta Chhay Rachna dari APSARA. Tetapi, ia ternyata menghela napas dan berkata, “Ini fantastis!”
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR