Balok-balok batu yang dipasang dengan rapi dipotong dari laterit, tanah lunak berpori-pori yang mengandung besi, yang mengeras saat terdedah udara. Ketika Fletcher dan Pottier pertama kali menemukan satu bagian bangunan tersebut beberapa tahun silam, mereka menduga bangunan itu adalah sisa-sisa gerbang pintu air yang kecil.
“Ternyata ukurannya raksasa,” katanya. Balok-balok itu merupakan sisa kanal banjir yang melewati sebuah waduk miring dan memanjang hingga sepanjang lapangan sepak bola. Sekitar akhir abad kesembilan saat Angkor menikmati kemakmuran, para insinyur menggali sebuah kanal panjang yang mengubah aliran Sungai Siem Reap River, membelokkannya ke selatan, ke Baray Timur yang baru dibangun. Baray Timur adalah waduk yang hampir sebesar Baray Barat yang dibangun belakangan. Waduk yang ditempatkan dalam sungai itu membelokkan air ke kanal. Namun, sebagian bangunan besar itu mungkin juga berfungsi sebagai kanal banjir saat terjadi luapan musiman, ketika ketinggian air melewati struktur bangunan rendah tersebut dan mengalir ke bekas aliran sungai.
Reruntuhan kanal banjir adalah petunjuk penting tentang perjuangan dahsyat yang berlangsung selama beberapa generasi insinyur Khmer dalam menghadapi tata air yang kian rumit dan sulit diatur. “Mereka mungkin menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk memperbaiki tata air ini,” kata Fletcher. Sejumlah balok waduk berserakan; beberapa bagian besar bangunan batunya hilang. “Penjelasan paling logis adalah waduk ini gagal,” kata Fletcher. Sungai mungkin menggerogoti waduk itu, memperlemahnya perlahan-lahan. Mungkin waduk itu disapu banjir teramat deras yang tak biasa, jenis yang terjadi seabad sekali atau bahkan 500 tahun sekali. Bangsa Khmer lalu membongkar sebagian besar sisa bangunan batu itu, menyelamatkan balok-balok itu untuk tujuan lain.
!break!
Petunjuk berbeda bahwa tata air tersebut gagal berasal dari sebuah kolam di Mebon Barat, candi pulau yang ada di tengah-tengah Baray Barat. Bulir tepung sari yang diawetkan dalam lumpur menunjukkan bahwa teratai dan tumbuhan air lainnya tumbuh subur di baray hingga awal abad ke-13. Lalu, muncul beberapa jenis tepung sari baru, dari spesies seperti pakis yang lebih menyukai daerah rawa atau tanah kering. Tepat pada puncak kejayaan Angkor, salah satu waduk jelas-jelas mengering untuk beberapa lama. “Masalah timbul jauh lebih awal dari yang kami duga,” kata Daniel Penny, pakar tepung sari dan salah satu direktur Greater Angkor Project.
Kerusakan apapun dalam tata air tentunya membuat Angkor rentan terhadap fenomena alam yang tak mungkin bisa diantisipasi insinyur masa itu. Sejak 1300-an, Eropa menghadapi cuaca tak menentu selama beberapa abad yang ditandai musim dingin kejam dan musim panas yang dingin menggigit. Hingga baru-baru ini, hanya ada informasi samar tentang kondisi pada bagian dunia lainnya di masa yang disebut Zaman Es Kecil itu. Kini tampaknya Asia Tenggara juga mengalami pergolakan iklim.
Di seputar Angkor, musim penghujan berlangsung kira-kira dari Mei sampai Oktober, dan mengirimkan hampir 90 persen hujan tahunan di wilayah itu. Monsun yang teratur itu penting untuk semua jenis kehidupan, termasuk manusia. Untuk mengungkap pola muson masa silam, Brendan Buckley dari Lamont-Doherty Earth Observatory di Palisades, New York, bertualang ke dalam hutan Asia Tenggara untuk mencari pohon yang memiliki lingkaran pertumbuhan tahunan. Ia dan timnya tahu itu tidak mudah: Sebagian besar spesies di wilayah itu tidak memiliki lingkaran pertumbuhan yang jelas, atau memiliki lingkaran, tetapi tidak tahun per tahun. Beberapa pencarian membuahkan hasil berupa beberapa spesies berumur panjang, termasuk kayu jati dan po mu, sejenis cemara langka. Beberapa pohon po mu yang didata berusia sembilan abad. Pohon-pohon itu mengenyam masa kejayaan dan kejatuhan Angkor.
Pohon-pohon po mu itu menceritakan kisah yang mencengangkan. Deretan lingkaran pertumbuhan yang rapat menunjukkan bahwa pohon-pohon itu menghadapi kemarau hebat yang berturut-turut, 1362-1392 dan 1415-1440. Pada masa-masa ini, angin muson lemah atau terlambat dan pada beberapa tahun mungkin gagal sama sekali. Pada tahun-tahun lain, mega muson mendera wilayah itu.
!break!
Bagi kerajaan yang goyah, cuaca ekstrem mungkin menjadi peristiwa yang menjatuhkannya. Beberapa dasawarsa sebelumnya, tata air Angkor sudah melemah, terbukti dari Baray Barat yang ditelantarkan. “Kami tidak tahu mengapa tata air beroperasi di bawah kapasitas—ini teka-teki,” kata Penny. “Tetapi, ini berarti Angkor benar-benar tak punya cadangan. Kota itu lebih rapuh terhadap ancaman kemarau daripada masa lain dalam sejarahnya.” Kemarau panjang dan parah diselingi hujan deras, “tentu menghancurkan sistem air,” kata Fletcher.
Namun, kata Penny, “tidak berarti tempat itu menjadi gurun.” Penduduk di bantaran banjir Tonle Sap di sebelah selatan candi-candi utama tentu terlindungi dari efek terburuk kemarau. Tonle Sap mendapat air dari Sungai Mekong yang berhulu di padang gletser Tibet sehingga tidak terlalu terpengaruh oleh efek perubahan muson. Namun para insinyur Khmer, meski terampil, tak mampu meringankan kondisi kekeringan di utara dengan memindahkan air Tonle Sap menaiki kemiringan tanah. Gravitasi adalah pompa mereka satu-satunya.
Jika penduduk Angkor utara kelaparan, sementara daerah lain menimbun beras, situasi ini tentu mudah menimbulkan kerusuhan. “Saat populasi di negara tropis melebihi kemampuan tanah untuk menopangnya, dimulailah masalah yang sesungguhnya,” kata antropolog Yale University, Michael Coe. “Ini niscaya berujung ke keruntuhan budaya.” Pasukan yang kurang gizi, disibukkan oleh konflik dalam negeri, tentu membuat kota itu mudah diserang. Memang, serangan Ayutthaya dan penggulingan raja Khmer terjadi sekitar akhir kemarau dahsyat yang kedua.
Jika kekacauan iklim ini digabungkan dengan masalah pergeseran agama dan politik yang sudah merundung kerajaan, kehancuran Angkor menjadi bisa dipastikan, kata Fletcher. “Dunia di sekitar Angkor sedang berubah. Masyarakat sedang bergerak maju. Justru mengherankan jika Angkor mampu bertahan.”
!break!
Kerajaan Khmer bukanlah peradaban pertama yang tumbang akibat bencana iklim. Berabad-abad sebelumnya, saat Angkor sedang bangkit, di seberang dunia, hilangnya keseimbangan lingkungan yang serupa menghantam berbagai negara-kota Maya di Meksiko dan Amerika Tengah. Banyak cendekiawan kini yakin bahwa bangsa Maya runtuh akibat populasi berlebih dan degradasi lingkungan yang menyusul tiga kemarau parah pada abad kesembilan. “Pada intinya, hal yang sama terjadi di Angkor,” kata Coe, yang pada 1950-an adalah orang pertama yang melihat kemiripan antara peradaban Khmer dan Maya.
Masyarakat modern mungkin perlu bersiap-siap untuk menghadapi tantangan iklim yang serupa. Menurut Buckley, pemicu kemarau dahsyat Angkor yang paling mungkin adalah hadirnya El Niño yang kuat dan terus-menerus yang berakibat pada meningkatnya temperatur air permukaan Samudra Pasifik tengah dan timur di daerah khatulistiwa. Para ilmuwan berdebat apakah perubahan iklim akibat manusia akan menimbulkan El Niño yang lebih menonjol, tetapi lingkaran pohon Vietnam menunjukkan bahwa perubahan alami di Pasifik pun dapat memicu bencana.
Kejatuhan Angkor adalah pelajaran penting tentang batas kecerdasan manusia. Bangsa Khmer telah mengubah dunia mereka—investasi monumental yang tentu sulit ditinggalkan oleh para penguasa kerajaan itu. “Sistem hidraulis Angkor adalah mesin yang luar biasa, mekanisme bagus untuk mengatur dunia,” kata Fletcher. Para insinyur Khmer berhasil mengoperasikan karya paling luar biasa selama enam abad—hingga akhirnya dikalahkan oleh kekuatan yang lebih besar.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR