Dari udara, candi berumur ratusan tahun itu terlihat dan hilang silih berganti bagai halusinasi. Mulanya, candi itu tampak seperti sekadar noda cokelat-kemerahan di tajuk hutan Kamboja utara. Di bawah kami terbentang kota Angkor yang hilang, yang kini tinggal reruntuhan dan umumnya didiami oleh petani sawah. Kumpulan rumah Khmer yang berupa rumah panggung untuk mengatasi banjir selama musim hujan bertebaran di atas lanskap, mulai dari Danau Tone Sap, “danau besar” Asia Tenggara yang letaknya sekitar 30 kilometer di sebelah selatan, hingga Perbukitan Kulen yang mencuat dari bantaran banjir, juga sekitar 30 kilometer di sebelah utara. Lalu, tatkala Donald Cooney memandu pesawat ultraringan melintasi pucuk pepohonan, candi megah itu pun muncul.
!break!
Banteay Samre, candi Dewa Wisnu abad ke-12 yang dipugar pada 1940-an adalah cermin puncak kejayaan Kerajaan Khmer abad pertengahan. Candi itu terkungkung di dalam dua lapis tembok segi empat yang konsentris. Mungkin dulu tembok ini dikelilingi parit yang melambangkan samudra yang melingkari Gunung Meru, kediaman dewa-dewi Hindu dalam mitos. Banteay Samre hanyalah satu di antara lebih dari 1.000 kuil yang didirikan bangsa Khmer di kota Angkor pada masa pembangunan pesat yang skala dan ambisinya menandingi piramida Mesir. Setelah kami lewat, kujulurkan leher untuk melihat sekali lagi. Candi itu telah menghilang ke dalam hutan.
Angkor adalah tempat di mana salah satu peradaban terbesar dalam sejarah hilang tanpa sepenuhnya diketahui apa sebabnya. Kerajaan Khmer berkuasa dari abad ke-9 hingga abad ke-15 dan pada puncak kejayaannya mendominasi wilayah nan luas di Asia Tenggara, dari Myanmar di barat hingga Vietnam di timur. Hingga 750.000 orang tinggal di Angkor, ibu kota Kerajaan Khmer yang membentang di wilayah sebesar Kabupaten Tangerang, membuatnya menjadi kota terluas di dunia praindustri. Pada akhir abad ke-16 saat misionaris Portugis menemukan menara-menara berbentuk teratai di Angkor Wat—candi terumit di kota itu dan monumen agama terbesar di dunia—ibu kota yang dulu gilang-gemilang itu sudah sekarat.
Para cendekiawan telah mengajukan daftar panjang berisi dugaan penyebab kehancuran itu, termasuk penyerbu yang serakah, perpindahan agama, dan pergeseran ke perdagangan maritim yang meruntuhkan kota pedalaman itu. Hanya saja, sebagian besar isi daftar tersebut adalah tebakan belaka: kira-kira ada 1.300 tulisan di kusen pintu candi dan prasasti yang berdiri sendiri, tetapi warga Angkor tak meninggalkan sepatah kata pun yang menjelaskan tentang keruntuhan kerajaan mereka.
!break!
Penggalian baru-baru ini, bukan di candi tetapi penggalian infrastruktur yang mendukung kota luas itu, mengerucut pada jawaban baru. Sepertinya, Angkor hancur justru akibat kecerdasan yang sebelumnya telah berjasa mengubah sekelompok kerajaan kecil menjadi sebuah kekaisaran. Peradaban ini belajar cara menjinakkan banjir musiman Asia Tenggara, lalu memudar saat kendali mereka atas air yang merupakan sumber daya terpenting itu melemah.
Sebuah laporan pengamatan langsung yang menarik menghidupkan kembali kota itu pada puncak kejayaannya. Zhou Daguan, seorang diplomat China, melewatkan hampir setahun di ibu kota itu pada akhir abad ke-13. Ia hidup sederhana sebagai tamu di sebuah keluarga kelas menengah, yang makan nasi dengan sendok sabut kelapa dan minum arak yang terbuat dari madu, daun, atau nasi. Ia menggambarkan suatu praktik mengerikan, yang ditinggalkan masyarakat tak lama sebelum kunjungannya, yang melibatkan mengumpulkan empedu manusia dari donor hidup sebagai minuman penambah keberanian. Perayaan agama menampilkan kembang api dan adu celeng. Pemandangan terhebat terjadi saat sang raja keluar ke tengah-tengah rakyatnya. Iring-iringan kerajaan meliputi gajah dan kuda berhiaskan emas, dan ratusan dayang-dayang berhiaskan bunga.
Ritme harian Angkor juga digambarkan dalam pahatan yang berhasil melewati berabad-abad kerusakan dan, lebih belakangan, perang. Relief-tipis di permukaan candi menggambarkan adegan sehari-hari—dua lelaki menekuri permainan papan, misalnya, dan perempuan melahirkan di paviliun yang teduh—dan memperingati dunia arwah yang dihuni makhluk-makhluk seperti apsara, yaitu bidadari penari memikat yang menjadi utusan antara manusia dan dewa-dewi.
Relief-tipis juga menyingkap adanya masalah di kahyangan. Berselang-seling dengan pemandangan kedamaian di Bumi dan pencerahan surgawi adalah adegan perang. Di salah satu relief-tipis, tergambar pendekar bertombak dari kerajaan tetangga, Champa, berjejalan dari haluan hingga buritan kapal yang menyeberangi Tonle Sap. Adegan ini diabadikan dalam batu, tentu saja karena bangsa Khmer menang perang.
!break!
Meski menang dalam pertempuran itu, Angkor dikoyak-koyak persaingan yang membuatnya semakin rapuh terhadap serangan dari Champa di timur dan kerajaan tangguh Ayutthaya di barat. Raja Khmer memiliki beberapa istri dan hal ini membuat suksesi menjadi kabur sekaligus senantiasa menimbulkan intrik saat para pangeran berebut kekuasaan. “Selama berabad-abad, keadaannya seperti War of the Roses. Negara Khmer sering tidak stabil,” kata Roland Fletcher, arkeolog di University of Sydney dan salah satu direktur sebuah upaya penelitian bernama Greater Angkor Project.
Beberapa cendekiawan yakin bahwa Angkor mati di jalan kehidupan yang ditekuninya: dengan pedang. Prasasti sejarah Ayutthaya menyatakan bahwa serdadu kerajaan itu “merebut” Angkor pada 1431. Tentu kota Khmer yang makmur itu merupakan hasil perang yang melimpah: Prasasti sesumbar bahwa menara candinya berlapis emas, hal yang dikonfirmasi oleh laporan Zhou yang deskriptif. Untuk mencocokkan berbagai kisah tentang kemakmuran Angkor dengan reruntuhan tak terurus yang ditemukan pelancong Barat, para sejarawan Prancis seabad lalu lewat catatan sejarah yang menggoda itu menyimpulkan bahwa Ayutthaya menjarah Angkor.
Fletcher yang mengaku terobsesi ingin “memahami apa yang menyebabkan permukiman itu tumbuh lalu mati,” meragukan hal tersebut. Menurut dia, beberapa cendekiawan awal memandang Angkor melalui lensa pengepungan dan penaklukan ala sejarah Eropa. “Sang penguasa Ayutthaya memang berkata dia merebut Angkor, dan mungkin membawa pulang pataka kerajaan ke Ayutthaya,” kata Fletcher. Namun setelah Angkor diduduki, penguasa Ayutthaya menobatkan putranya di singgasana. “Kecil kemungkinan dia menghancurkan tempat itu sebelum memberikannya kepada putranya.”
Intrik di istana mungkin tidak mengganggu sebagian besar rakyat Angkor, tetapi agama adalah hal penting dalam kehidupan sehari-hari. Angkor adalah kota yang disebut para antropolog sebagai kota ritual-kerajaan. Raja-rajanya mengklaim diri sebagai penguasa dunia dalam riwayat Hindu dan mendirikan candi yang memuja diri mereka sendiri. Namun, saat Agama Buddha Theravada perlahan-lahan melampaui agama Hindu pada abad ke-13 dan ke-14, ajarannya tentang kesetaraan sosial mungkin mengancam kaum elite Angkor. “Ajaran itu sangat subversif, seperti agama Kristen subversif bagi Kekaisaran Romawi,” kata Fletcher. “Tentu sangat sulit dihentikan.”
!break!
Pergeseran agama seperti itu tentu mengikis wewenang kerajaan. Kota ritual-kerajaan beroperasi dengan ekonomi tanpa uang, mengandalkan upeti dan pajak. Mata uang de facto kerajaan itu adalah beras, makanan pokok bagi buruh wajib yang membangun candi dan ribuan orang yang mengelolanya. Sebuah prasasti di suatu kompleks, Ta Prohm, mencatat bahwa 12.640 orang merawat candi itu saja. Prasasti itu juga merekam bahwa lebih dari 66.000 petani menghasilkan hampir sekitar 2500 ton metrik padi per tahun untuk memberi makan seabrek pendeta, penari, dan pekerja candi ini. Tambahkan saja tiga saja candi besar ke persamaan ini—Preah Khan serta kompleks Angkor Wat dan Bayon yang lebih besar—maka diperhitungkan buruh tani perlu menghasilkan hingga 300.000 ton. Itu hampir setengah dari perkiraan jumlah penduduk Angkor Raya. Agama baru yang egaliter seperti Buddha Theravada mungkin menimbulkan pemberontakan.
Kemungkinan lain, bisa saja pihak istana menelantarkan Angkor begitu saja. Penguasa penerus memiliki kebiasaan mendirikan kompleks candi baru dan menelantarkan yang lama, dan tradisi memulai yang baru tersebut mungkin merugikan Angkor ketika perdagangan maritim mulai berkembang antara Asia Tenggara dan China. Mungkin oportunisme ekonomi belaka yang, sebelum abad ke-16, menyebabkan pusat kekuasaan Khmer bergeser ke tempat yang lebih dekat dengan Sungai Mekong di dekat ibu kota modern Kamboja, Phnom Penh karena lokasi baru itu memudahkan akses ke Laut China Selatan.
Pergolakan ekonomi dan agama mungkin mempercepat kejatuhan Angkor, tetapi para penguasanya juga mendapat serangan tak terduga dari musuh yang lain. Angkor menjadi kekuatan abad pertengahan berkat sistem kanal dan waduk canggih yang memungkinkan kota itu menampung air yang langka pada bulan-bulan kemarau dan menyebarkan air berlebih pada musim hujan. Kekuatan di luar kendali Angkor telah mengacau-balaukan mesin yang dirancang dengan rapi ini.
Salah satu situs tersuci Angkor terletak tinggi di Perbukitan Kulen di daerah hulu dua sungai, Puok dan Siem Reap. Di bawah rimbunnya pepohonan beringin tua, terendam di kali tenang yang berair jernih, terdapat berbaris-baris jendolan bundar, masing-masing selebar 15 sentimeter, dipahat di dasar sungai yang berbatu pasir gelap. Ini adalah lingga lapuk, patung batu silinder yang mewakili esensi dewa Syiwa dalam agama Hindu. Lingga-lingga ini seperti jalan menuju pahatan lain di dasar sungai: petak berdinding tebal, selebar satu meter, dengan pintu masuk yang sempit. Ini yoni, lambang sumber kehidupan dalam agama Hindu.
!break!
Para pendeta tinggi Angkor datang ke sini untuk bersyukur kepada dewa-dewi karena telah mengaruniakan sumber kehidupan kerajaan. Ke hulu sedikit, ada jembatan batu pasir alami yang menjadi nama situs suci ini, Kbal Spean—bahasa Khmer untuk “ujung jembatan.” Air mengalir melalui celah, menciprati permukaan batu di sebelahnya, tempat Wisnu duduk bersila dan bersemadi untuk menghentikan samudra yang murka; dari pusarnya mencuat Brahma yang membawa bunga teratai. Di Perbukitan Kulen ini, dewa-dewi purba menikmati minuman abadi dari air yang mengalir.
Dengan memanfaatkan limpahan air musiman yang menyembur dari Perbukitan Kulen, Angkor dan para penguasanya makmur. Sejak masa Jayawarman II yang meletakkan fondasi kerajaan itu pada awal 800-an, pertumbuhan kekaisaran itu bergantung pada panen padi berlebih. Di seluruh Asia selatan, mungkin hanya kota kuno Anuradhapura dan Polonnaruwa di Sri Lanka serta waduk mereka yang terkenal yang dapat menandingi kemampuan Angkor menjamin pasokan air yang tak terputus.
Keterandalan itu memerlukan kegiatan keinsinyuran yang hebat, termasuk waduk bernama Baray Barat yang panjangnya 8 kilometer dan lebarnya 2,2 kilometer. Untuk membangun waduk ketiga yang tercanggih di Angkor 1.000 tahun lalu itu, mungkin diperlukan hingga 200.000 buruh Khmer untuk menumpuk 12 juta meter kubik tanah di tanggul selebar 90 meter dan setinggi gedung tiga lantai. Hingga kini, waduk persegi yang juga disebut baray ini, diisi dengan air yang dialirkan dari Sungai Siem Reap.
Cendekiawan pertama yang menyadari kehebatan skala dari tata air di Angkor adalah Bernard-Philippe Groslier, arkeolog Ecole Française d’Extrême-Orient (EFEO, Sekolah Studi Asia, Prancis). Dalam risalah 1979 yang monumental, ia membayangkan Angkor sebagai “kota hidraulis.” Ia berargumen bahwa baray-baray besar itu memiliki dua fungsi: melambangkan laut purba dalam kosmogoni Hindu dan mengairi sawah. Sayang, Groslier tak bisa menelusuri konsep tersebut secara lebih jauh. Perang saudara Kamboja, kekuasaan brutal Khmer Merah, dan penggulingan rezim itu oleh tentara Vietnam pada 1979 mengubah Angkor menjadi zona terlarang selama dua dasawarsa. Setelah pasukan Vietnam mundur, para penjarah memangsa Angkor, mencuri patung dan bahkan mencongkel relief-tipis dengan pahat.
!break!
Ketika Christophe Pottier yang arsitek sekaligus arkeolog membuka kembali stasiun riset EFEO di Angkor pada 1992, prioritas pertamanya adalah membantu Kamboja memugar candi yang rusak dan dijarah itu. Pottier tertarik pada alam liar di luar tembok-tembok candi. Ia menghabiskan waktu berbulan-bulan malang-melintang di bagian selatan Angkor Raya, berjalan kaki dan bermotor, memetakan kuil dan gundukan rumah yang semula tersembunyi di dekat kolam buatan yang disebut tangki air. (Sisa anarki dan kekerasan mencegah Pottier menyurvei bagian utara.) Lalu pada 2000, Fletcher dan koleganya Damian Evans memperoleh citra radar Angkor dari NASA. Citra itu mengungkapkan banyak hal: tim University of Sydney yang bekerja sama dengan EFEO dan APSARA (dinas pemerintahan Kamboja yang mengelola Angkor) menemukan banyak lagi sisa-sisa permukiman, kanal, dan tangki air, terutama di daerah-daerah Angkor yang tak terjangkau. Penerbangan ultraringan Donald Cooney telah membantu Fletcher dan Pottier, yang kini salah satu direktur Greater Angkor Project, memeriksa fitur-fitur ini dengan detail lebih halus. Yang penting, mereka menemukan pintu masuk dan keluar baray untuk mengakhiri perdebatan yang dipicu oleh karya Groslier tentang apakah waduk kolosal itu digunakan semata untuk ritual agama atau untuk irigasi. Jawabannya jelas, keduanya.
Para peneliti terkagum-kagum pada ambisi para insinyur Angkor. “Kami menyadari bahwa seluruh lanskap Angkor Raya itu adalah buatan,” kata Fletcher. Selama beberapa abad, berkelompok-kelompok buruh membangun ratusan kilometer kanal dan tanggul yang mengandalkan sedikit perbedaan kemiringan tanah yang alami untuk membelokkan air dari Sungai Puok, Roluos, dan Siem Reap ke baray. Pada bulan-bulan musim kemarau, kanal-kanal yang meluap membelokkan kelebihan air. Setelah hujan mereda pada Oktober atau November, kanal pengairan membagi simpanan air. Baray juga mungkin membantu memulihkan kelembapan tanah dengan membiarkan air merembes ke tanah. Di sawah sekeliling, penguapan permukaan tentu menarik air tanah untuk memasok tumbuhan. “Sistem ini sangat cerdas,” kata Fletcher.
Tata air yang cerdas itu mungkin menjadi pembeda antara peradaban yang besar dan yang biasa-biasa saja. Sebagian besar padi kerajaan ditanam di sawah berpematang yang, tanpa sistem ini, harus bergantung pada hujan monsun atau pasang-surut air musiman di bantaran banjir Tonle Sap. Pengairan tentu meningkatkan panen. Sistem itu mungkin membuat pangan tersedia di musim paceklik, kata Fletcher. Selain itu, kemampuan dalam membelokkan dan menampung air tersebut ikut memberi perlindungan dari banjir. Menurut dia, saat kerajaan-kerajaan lain di Asia Tenggara berjuang mengatasi kekurangan atau kelebihan air, tata air di Angkor menjadi “aset strategis yang sangat berharga.”
Maka, Fletcher terheran-heran saat timnya menggali salah satu buah tangan Angkor yang luar biasa—sebuah bangunan luas di dalam tata air itu—dan menemukan bahwa bangunan itu telah dihancurkan, sepertinya oleh para insinyur Angkor sendiri.
***
!break!
Saat itu hampir tengah hari bulan Juni, sekitar 16 kilometer sebelah utara Angkor Wat, dan di dasar parit becek sepanjang empat meter pun, mereka tidak terbebas dari terik matahari. Fletcher melepaskan topi bisbol biru tua dan mengusap kening. Peneliti yang kalem itu seakan-akan hendak memberi penjelasan terperinci tentang balok batu merah keabu-abuan yang ditemukan timnya, beserta Chhay Rachna dari APSARA. Tetapi, ia ternyata menghela napas dan berkata, “Ini fantastis!”
Balok-balok batu yang dipasang dengan rapi dipotong dari laterit, tanah lunak berpori-pori yang mengandung besi, yang mengeras saat terdedah udara. Ketika Fletcher dan Pottier pertama kali menemukan satu bagian bangunan tersebut beberapa tahun silam, mereka menduga bangunan itu adalah sisa-sisa gerbang pintu air yang kecil.
“Ternyata ukurannya raksasa,” katanya. Balok-balok itu merupakan sisa kanal banjir yang melewati sebuah waduk miring dan memanjang hingga sepanjang lapangan sepak bola. Sekitar akhir abad kesembilan saat Angkor menikmati kemakmuran, para insinyur menggali sebuah kanal panjang yang mengubah aliran Sungai Siem Reap River, membelokkannya ke selatan, ke Baray Timur yang baru dibangun. Baray Timur adalah waduk yang hampir sebesar Baray Barat yang dibangun belakangan. Waduk yang ditempatkan dalam sungai itu membelokkan air ke kanal. Namun, sebagian bangunan besar itu mungkin juga berfungsi sebagai kanal banjir saat terjadi luapan musiman, ketika ketinggian air melewati struktur bangunan rendah tersebut dan mengalir ke bekas aliran sungai.
Reruntuhan kanal banjir adalah petunjuk penting tentang perjuangan dahsyat yang berlangsung selama beberapa generasi insinyur Khmer dalam menghadapi tata air yang kian rumit dan sulit diatur. “Mereka mungkin menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk memperbaiki tata air ini,” kata Fletcher. Sejumlah balok waduk berserakan; beberapa bagian besar bangunan batunya hilang. “Penjelasan paling logis adalah waduk ini gagal,” kata Fletcher. Sungai mungkin menggerogoti waduk itu, memperlemahnya perlahan-lahan. Mungkin waduk itu disapu banjir teramat deras yang tak biasa, jenis yang terjadi seabad sekali atau bahkan 500 tahun sekali. Bangsa Khmer lalu membongkar sebagian besar sisa bangunan batu itu, menyelamatkan balok-balok itu untuk tujuan lain.
!break!
Petunjuk berbeda bahwa tata air tersebut gagal berasal dari sebuah kolam di Mebon Barat, candi pulau yang ada di tengah-tengah Baray Barat. Bulir tepung sari yang diawetkan dalam lumpur menunjukkan bahwa teratai dan tumbuhan air lainnya tumbuh subur di baray hingga awal abad ke-13. Lalu, muncul beberapa jenis tepung sari baru, dari spesies seperti pakis yang lebih menyukai daerah rawa atau tanah kering. Tepat pada puncak kejayaan Angkor, salah satu waduk jelas-jelas mengering untuk beberapa lama. “Masalah timbul jauh lebih awal dari yang kami duga,” kata Daniel Penny, pakar tepung sari dan salah satu direktur Greater Angkor Project.
Kerusakan apapun dalam tata air tentunya membuat Angkor rentan terhadap fenomena alam yang tak mungkin bisa diantisipasi insinyur masa itu. Sejak 1300-an, Eropa menghadapi cuaca tak menentu selama beberapa abad yang ditandai musim dingin kejam dan musim panas yang dingin menggigit. Hingga baru-baru ini, hanya ada informasi samar tentang kondisi pada bagian dunia lainnya di masa yang disebut Zaman Es Kecil itu. Kini tampaknya Asia Tenggara juga mengalami pergolakan iklim.
Di seputar Angkor, musim penghujan berlangsung kira-kira dari Mei sampai Oktober, dan mengirimkan hampir 90 persen hujan tahunan di wilayah itu. Monsun yang teratur itu penting untuk semua jenis kehidupan, termasuk manusia. Untuk mengungkap pola muson masa silam, Brendan Buckley dari Lamont-Doherty Earth Observatory di Palisades, New York, bertualang ke dalam hutan Asia Tenggara untuk mencari pohon yang memiliki lingkaran pertumbuhan tahunan. Ia dan timnya tahu itu tidak mudah: Sebagian besar spesies di wilayah itu tidak memiliki lingkaran pertumbuhan yang jelas, atau memiliki lingkaran, tetapi tidak tahun per tahun. Beberapa pencarian membuahkan hasil berupa beberapa spesies berumur panjang, termasuk kayu jati dan po mu, sejenis cemara langka. Beberapa pohon po mu yang didata berusia sembilan abad. Pohon-pohon itu mengenyam masa kejayaan dan kejatuhan Angkor.
Pohon-pohon po mu itu menceritakan kisah yang mencengangkan. Deretan lingkaran pertumbuhan yang rapat menunjukkan bahwa pohon-pohon itu menghadapi kemarau hebat yang berturut-turut, 1362-1392 dan 1415-1440. Pada masa-masa ini, angin muson lemah atau terlambat dan pada beberapa tahun mungkin gagal sama sekali. Pada tahun-tahun lain, mega muson mendera wilayah itu.
!break!
Bagi kerajaan yang goyah, cuaca ekstrem mungkin menjadi peristiwa yang menjatuhkannya. Beberapa dasawarsa sebelumnya, tata air Angkor sudah melemah, terbukti dari Baray Barat yang ditelantarkan. “Kami tidak tahu mengapa tata air beroperasi di bawah kapasitas—ini teka-teki,” kata Penny. “Tetapi, ini berarti Angkor benar-benar tak punya cadangan. Kota itu lebih rapuh terhadap ancaman kemarau daripada masa lain dalam sejarahnya.” Kemarau panjang dan parah diselingi hujan deras, “tentu menghancurkan sistem air,” kata Fletcher.
Namun, kata Penny, “tidak berarti tempat itu menjadi gurun.” Penduduk di bantaran banjir Tonle Sap di sebelah selatan candi-candi utama tentu terlindungi dari efek terburuk kemarau. Tonle Sap mendapat air dari Sungai Mekong yang berhulu di padang gletser Tibet sehingga tidak terlalu terpengaruh oleh efek perubahan muson. Namun para insinyur Khmer, meski terampil, tak mampu meringankan kondisi kekeringan di utara dengan memindahkan air Tonle Sap menaiki kemiringan tanah. Gravitasi adalah pompa mereka satu-satunya.
Jika penduduk Angkor utara kelaparan, sementara daerah lain menimbun beras, situasi ini tentu mudah menimbulkan kerusuhan. “Saat populasi di negara tropis melebihi kemampuan tanah untuk menopangnya, dimulailah masalah yang sesungguhnya,” kata antropolog Yale University, Michael Coe. “Ini niscaya berujung ke keruntuhan budaya.” Pasukan yang kurang gizi, disibukkan oleh konflik dalam negeri, tentu membuat kota itu mudah diserang. Memang, serangan Ayutthaya dan penggulingan raja Khmer terjadi sekitar akhir kemarau dahsyat yang kedua.
Jika kekacauan iklim ini digabungkan dengan masalah pergeseran agama dan politik yang sudah merundung kerajaan, kehancuran Angkor menjadi bisa dipastikan, kata Fletcher. “Dunia di sekitar Angkor sedang berubah. Masyarakat sedang bergerak maju. Justru mengherankan jika Angkor mampu bertahan.”
!break!
Kerajaan Khmer bukanlah peradaban pertama yang tumbang akibat bencana iklim. Berabad-abad sebelumnya, saat Angkor sedang bangkit, di seberang dunia, hilangnya keseimbangan lingkungan yang serupa menghantam berbagai negara-kota Maya di Meksiko dan Amerika Tengah. Banyak cendekiawan kini yakin bahwa bangsa Maya runtuh akibat populasi berlebih dan degradasi lingkungan yang menyusul tiga kemarau parah pada abad kesembilan. “Pada intinya, hal yang sama terjadi di Angkor,” kata Coe, yang pada 1950-an adalah orang pertama yang melihat kemiripan antara peradaban Khmer dan Maya.
Masyarakat modern mungkin perlu bersiap-siap untuk menghadapi tantangan iklim yang serupa. Menurut Buckley, pemicu kemarau dahsyat Angkor yang paling mungkin adalah hadirnya El Niño yang kuat dan terus-menerus yang berakibat pada meningkatnya temperatur air permukaan Samudra Pasifik tengah dan timur di daerah khatulistiwa. Para ilmuwan berdebat apakah perubahan iklim akibat manusia akan menimbulkan El Niño yang lebih menonjol, tetapi lingkaran pohon Vietnam menunjukkan bahwa perubahan alami di Pasifik pun dapat memicu bencana.
Kejatuhan Angkor adalah pelajaran penting tentang batas kecerdasan manusia. Bangsa Khmer telah mengubah dunia mereka—investasi monumental yang tentu sulit ditinggalkan oleh para penguasa kerajaan itu. “Sistem hidraulis Angkor adalah mesin yang luar biasa, mekanisme bagus untuk mengatur dunia,” kata Fletcher. Para insinyur Khmer berhasil mengoperasikan karya paling luar biasa selama enam abad—hingga akhirnya dikalahkan oleh kekuatan yang lebih besar.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR