SETIAP SIANG MOHAMMED PERGI KE MERCU SUAR.
Bangunan itu bukan tempat berlindung yang mencolok. Mercu suar Italia yang dibangun hampir seabad silam itu sudah bertahun-tahun tak digunakan. Sebagian tangga spiralnya sudah runtuh. Ruangan-ruangannya yang kosong-melompong menebarkan bau busuk air laut dan air seni. Beberapa pemuda duduk bersila di reruntuhan bangunan itu sambil mengunyah qat—tanaman yang daunnya mengandung stimulan—dan selama berjam-jam asyik bermain ladu, sejenis permainan dadu. Beberapa orang berkerumun di satu sudut, mengisap ganja. Mereka terlihat seperti hantu di sebuah kota pembawa maut yang ditinggalkan orang. Namun, mercu suar itu tenang dan aman—kalaulah ada tempat di Mogadishu yang dapat dianggap aman.
!break!
Mohammed, 18 tahun, datang untuk menikmati pemandangan. Dari lantai paling atas dia melihat reruntuhan daerah permukimannya yang dulu merupakan distrik Hamarweyne yang terkenal. Dia dapat melihat sisa-sisa gedung bekas Kedutaan Amerika Serikat, hotel al Uruba yang elegan, distrik Shangaani yang dulu dijejali pedagang emas dan gerai minyak wangi—semuanya hancur-lebur kini. Seekor kambing tampak di tengah jalan utama, sementara deretan rumah yang usianya sudah berabad-abad di sepanjang jalan itu berangsur-angsur roboh, kadang mengubur hidup-hidup penghuni liar yang menempatinya. Mohammed juga dapat melihat tanah sempit berpasir berbentuk sabit tepat di bawah mercu suar, tempat dia dan segelintir teman-temannya kadang bermain sepak bola. Anak-anak telanjang itu memeluk potongan sampah styrofoam seraya terapung-apung diayun ombak. Kalau mau, setiap hari dia dapat mengamati paradoks antara keceriaan dan kehancuran ini. Hanya saja, dia lebih suka memandang lebih jauh lagi, ke hamparan permadani kedamaian, yaitu Samudra Hindia. “Kuhabiskan waktuku memandangi laut, sebab aku tahu, makananku berasal dari situ,” katanya.
Mohammed seorang nelayan. Setiap pukul 5 pagi dia mendorong perahu kecilnya ke laut sambil membawa jala. Apa pun hasil tangkapannya, Mohammed membawanya dengan gerobak dorong ke pasar. Di pagi hari, apabila angin tidak terlalu berbahaya, hasil tangkapannya bisa memberinya sekitar 20.000 bahkan 30.000 rupiah—dan ini berarti dia, orang tuanya, dan kedua adiknya dapat makan cukup pada hari itu. Ledakan mortir membuat ayahnya lumpuh beberapa tahun yang lalu, dan keluarganya menggantungkan hidup mereka pada penghasilan Mohammed sejak dia berusia 14 tahun. Dia tidak mampu membayar uang sekolah yang sekitar 100.000 sebulan. Lagi pula, semua teman sekolahnya sudah tidak ada lagi. Kebanyakan bergabung dengan milisi ekstremis Islam, al Shabaab, yang dalam perkembangan terakhir nan penuh kepiluan di Somalia terjebak dalam pertarungan kekuasaan yang sengit dengan Pemerintahan Federal Transisi (Transitional Federal Government, TFG), sebuah aliansi rapuh yang didukung Perserikatan Bangsa Bangsa. Untuk para pemuda seperti Mohammed, al Shabaab adalah kiat yang memikat untuk keluar dari ketidakberdayaan. Akan tetapi, banyak di antara teman sepermainannya sekarang sudah tewas.
Mohammed dibesarkan di negara yang telah hancur. Dia baru lahir ketika presiden terakhir Somalia, seorang diktator yang dikultuskan Mohamed Siad Barre, digulingkan dan negara itu terperosok ke dalam anarki berkelanjutan yang berlangsung puluhan tahun. mohammed adalah salah satu dari seluruh generasi yang sama sekali tidak tahu bagaimana wujud republik yang stabil. Namun, mereka akrab dengan hal-hal lain. “Senjata M16, mortir, granat, bazoka—aku tahu persis senjata mana yang dimaksud, begitu aku mendengar suaranya,” katanya.
Garis pantai utara Somalia menghadap ke Teluk Aden dan berlanjut ke Samudra Hindia. Garis pantai tersebut menjadi basis bajak laut yang memangsa kapal-kapal yang melintasi alur laut antara Eropa dan Asia. Ketika aku mengunjungi negara itu tahun lalu, bajak laut Somalia menyerang puluhan kapal di lepas pantainya. Meski begitu, kudapati keadaan di dalam negeri itu lebih bergolak, kalaulah boleh dikatakan demikian. Sejak itu, pertempuran sengit antara para pemberontak dan pasukan pemerintah semakin berkobar tatkala pasukan Etiopia—yang menyerbu Somalia di akhir 2006 untuk menumbangkan pemerintah Islam berusia pendek dan mendukung TFG—menarik diri pada Januari 2009. Kekacauan itu mengundang aliran baru para pejuang asing masuk ke Somalia yang sudah menjadi tempat berlindung para teroris, yang menganggap diri mereka terlibat dalam gerakan jihad global. Fund for Peace menempatkan Somalia pada urutan pertama dalam daftar negara yang gagal dalam dua tahun terakhir. (Lihat “Mengapa Semuanya Terpuruk,” halaman XX.) Posisi tersebut tidak sepadan dengan nestapa di Somalia. Kegagalan—dalam menciptakan keamanan, kecukupan pangan, layanan, atau harapan—sudah 18 tahun menghantam negeri yang menjadi rumah bangsa Somalia itu.
!break!
Dan mereka pun berbondong-bondong meninggalkan rumah tersebut. Mereka yang beruntung hijrah keluar dari daerah konflik—dalam perjalanan mencekam ke kamp pengungsian di Kenya, Yaman, atau ke Somaliland, republik sempalan yang dulu menjadi wilayah utara Somalia. Mereka yang kurang beruntung—lebih dari satu juta jiwa—terdampar di kamp-kamp yang diperuntukkan bagi orang yang terusir di negerinya sendiri. Namun, banyak yang memilih tetap tinggal di Mogadishu, kota yang jika dipandang sekilas, sama saja dengan kota-kota lain di Afrika, kota dengan hiruk-pikuk mobil bobrok yang lalu lalang, kereta yang ditarik keledai, dan kawanan kambing yang dibiarkan berkeliaran di jalan berlubang. Pasar dipenuhi buah mangga dan pisang berwarna cemerlang, serta barang loakan dari Barat. Kaum perempuan berjilbab lalu lalang, sementara anak laki-laki bermain sepak bola dan kaum pria dewasa pipinya menggembung karena tengah mengunyah qat.
Meskipun demikian, di antara rangka-rangka gedung bank, katedral, dan hotel mewah yang menghadap ke garis pantai nan berkilau yang dulu pernah dipenuhi kapal pesiar, kenyataan memilukan mulai mewujud. Dulu, Mogadishu tidaklah mirip dengan kota lain di Afrika. Dulu, Mogadishu adalah kota yang memukau. Bahkan dalam keadaan porak-poranda pun, kecantikannya masih tampak—lebih dari itu, kawasan Hamarweyne yang kosong masih meninggalkan bekas-bekas kemewahan, tempat aku dan juru foto Pascal Maitre berdiri di jalan raya yang sepi dan memicingkan mata menatap laut hingga terdengar suara adzan dari mesjid terdekat yang mengingatkan kami bahwa waktu sudah hampir pukul lima sore, dan setelah itu semua kegiatan di luar rumah pun berhenti. Orang yang berkeliaran di jalanan Mogadishu di senja hari ibarat mengundang malapetaka.
Sebelum pergi, kami menuju mercu suar dan bertemu Mohammed. Dia melihat kami, dua orang gaalo atau orang asing, dan sejumlah pengawal kami. Mula-mula kami mendengar suara langkahnya di saat dia mundur ke dalam gelap. Tidak lama kemudian, dia muncul dan mulai banyak bicara. “Kami tidak ingin meninggalkan negara kami,” katanya. “Aku tidak mau menjadi pengungsi. Kami siap mati di sini.”
NEGERI INI DITAKDIRKAN SARAT MASALAH. Luas Somalia hampir 650.000 kilometer persegi dan sebagian besar berupa tanah gersang. Penduduk Somalia sudah terlibat dalam persaingan yang terus-menerus dalam memperebutkan kekayaan alam negerinya yang langka—air dan padang rumput—sejak dahulu kala. Menurut etnografer Somalia terkemuka IM Lewis, penduduk Somalia “merupakan salah satu kelompok etnik tunggal terbesar di Afrika.” Secara turun-temurun, mereka adalah penggembala kambing, unta, serta sapi ternak yang menganut agama Islam dan menggunakan bahasa Somalia. Sebelum masa penjajahan di akhir abad ke-19, penduduk Somalia secara berkelanjutan menguasai sebagian besar wilayah Tanduk Afrika—termasuk wilayah yang di masa kini dikenal sebagai Djibouti, kawasan timur laut Kenya, dan wilayah timur Etiopia. Dalam jiwa bangsa Somalia, nasionalisme yang garang hadir bersama individualisme kaum pengembala. Mereka tidaklah terbiasa mengandalkan pemerintah dalam mencari solusi.
!break!
Apa yang mempersatukan Somalia—dan terkadang mencerai-beraikannya—adalah sistem kesukuan yang rumit. Lima keluarga suku utama, Darod, Dir, Isaaq (kadang dianggap subsuku Dir), Hawiye, dan Rahanweyn, sudah lama sekali mendominasi perluasan daerah kekuasaan tertentu. Di dalam suku-suku ini terdapat beragam subsuku dan sub-subsuku—beberapa di antaranya hidup berdampingan dengan rukun dan bahkan terjadi perkawinan antarsuku, sementara beberapa suku lainnya bertikai secara sporadis. “Selalu ada masyarakat nomaden yang rawan konflik di Somalia, dan sudah berlangsung sejak sebelum penjajahan,” kata Andre LeSage dari National Defense University di Washington DC. “Dulu terjadi penyerbuan binatang ternak oleh suatu suku, tetapi itu antara kelompok pemuda terorganisasi di bawah pengaruh tetua suku. Mereka biasa berkata, ‘Sekaranglah waktunya melakukan hal ini,’ dan sejumlah orang tewas dalam pertempuran sengit. Namun, perempuan dan anak-anak biasanya tidak diganggu, dan kampung tidak dihancurkan. Kita tidak usah terlalu mengagung-agungkan periode itu. Menyunat kemaluan perempuan lazim dilakukan, dan jelas sekali masyarakat tidak mengenyam perawatan kesehatan modern. Namun, hal itu sama sekali bukan anarki. Semua diatur ketat.”
Mekanisme antarsuku mulai runtuh saat bangsa-bangsa Eropa tiba. Bangsa Inggris di Somaliland menjajah dengan gaya yang lebih ramah dibandingkan bangsa Italia di selatan. Meskipun Mogadishu di bawah penjajahan bangsa Italia menjadi kota dengan kenyamanan yang kosmopolitan, bangsa Italia memolitisasi hierarki suku Somalia dengan memberikan imbalan kepada tetua yang setia, menghukum yang kurang setia, dan mengendalikan perdagangan. Mekanisme lokal untuk menyelesaikan pertikaian dirusak dengan parah.
Pada tahun 1960 kekuasaan kolonial berakhir dan nasionalisme yang sarat idealisme merasuki rakyat Somalia. Dengan visi menyatukan negara, Somaliland dan Somalia membentuk konfederasi. Namun, nasionalisme segera terhambat oleh perpecahan suku yang sudah semakin memburuk pada masa penjajahan. Permusuhan yang rumit menyebabkan tidak adanya kekuasaan. Lalu, muncullah diktator Jenderal Mohamed Siad Barre pada 1969. Barre (anggota suku Darod) memerintah dengan kekejaman yang licik dan banyak orang Somalia masa kini yang merindukan stabilitas pada masa pemerintahannya. Di depan publik dia menunjukkan seakan-akan dia melumpuhkan kekuasaan suku, menggalakkan sosialisme di atas paham kesukuan, dan melucuti kekuasaan hukum para tetua suku. Namun di balik layar, dia menerapkan politik devide et impera yang cuma semakin memperparah ketegangan antarsuku. Sementara itu, Barre mengambil hati Uni Soviet juga AS, dan mendapatkan senjata dalam jumlah besar. Perang brutal dengan Etiopia melemahkan posisinya. Pada 1991 kaum milisi suku Hawiye mengusir Barre keluar dari Mogadishu. Rakyat Somalia yang sudah muak dengan penjajah dan penguasa menantikan pemerintahan berikutnya.
Delapan belas tahun kemudian, mereka masih terus menunggu.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR