SETIAP SIANG MOHAMMED PERGI KE MERCU SUAR.
Bangunan itu bukan tempat berlindung yang mencolok. Mercu suar Italia yang dibangun hampir seabad silam itu sudah bertahun-tahun tak digunakan. Sebagian tangga spiralnya sudah runtuh. Ruangan-ruangannya yang kosong-melompong menebarkan bau busuk air laut dan air seni. Beberapa pemuda duduk bersila di reruntuhan bangunan itu sambil mengunyah qat—tanaman yang daunnya mengandung stimulan—dan selama berjam-jam asyik bermain ladu, sejenis permainan dadu. Beberapa orang berkerumun di satu sudut, mengisap ganja. Mereka terlihat seperti hantu di sebuah kota pembawa maut yang ditinggalkan orang. Namun, mercu suar itu tenang dan aman—kalaulah ada tempat di Mogadishu yang dapat dianggap aman.
!break!
Mohammed, 18 tahun, datang untuk menikmati pemandangan. Dari lantai paling atas dia melihat reruntuhan daerah permukimannya yang dulu merupakan distrik Hamarweyne yang terkenal. Dia dapat melihat sisa-sisa gedung bekas Kedutaan Amerika Serikat, hotel al Uruba yang elegan, distrik Shangaani yang dulu dijejali pedagang emas dan gerai minyak wangi—semuanya hancur-lebur kini. Seekor kambing tampak di tengah jalan utama, sementara deretan rumah yang usianya sudah berabad-abad di sepanjang jalan itu berangsur-angsur roboh, kadang mengubur hidup-hidup penghuni liar yang menempatinya. Mohammed juga dapat melihat tanah sempit berpasir berbentuk sabit tepat di bawah mercu suar, tempat dia dan segelintir teman-temannya kadang bermain sepak bola. Anak-anak telanjang itu memeluk potongan sampah styrofoam seraya terapung-apung diayun ombak. Kalau mau, setiap hari dia dapat mengamati paradoks antara keceriaan dan kehancuran ini. Hanya saja, dia lebih suka memandang lebih jauh lagi, ke hamparan permadani kedamaian, yaitu Samudra Hindia. “Kuhabiskan waktuku memandangi laut, sebab aku tahu, makananku berasal dari situ,” katanya.
Mohammed seorang nelayan. Setiap pukul 5 pagi dia mendorong perahu kecilnya ke laut sambil membawa jala. Apa pun hasil tangkapannya, Mohammed membawanya dengan gerobak dorong ke pasar. Di pagi hari, apabila angin tidak terlalu berbahaya, hasil tangkapannya bisa memberinya sekitar 20.000 bahkan 30.000 rupiah—dan ini berarti dia, orang tuanya, dan kedua adiknya dapat makan cukup pada hari itu. Ledakan mortir membuat ayahnya lumpuh beberapa tahun yang lalu, dan keluarganya menggantungkan hidup mereka pada penghasilan Mohammed sejak dia berusia 14 tahun. Dia tidak mampu membayar uang sekolah yang sekitar 100.000 sebulan. Lagi pula, semua teman sekolahnya sudah tidak ada lagi. Kebanyakan bergabung dengan milisi ekstremis Islam, al Shabaab, yang dalam perkembangan terakhir nan penuh kepiluan di Somalia terjebak dalam pertarungan kekuasaan yang sengit dengan Pemerintahan Federal Transisi (Transitional Federal Government, TFG), sebuah aliansi rapuh yang didukung Perserikatan Bangsa Bangsa. Untuk para pemuda seperti Mohammed, al Shabaab adalah kiat yang memikat untuk keluar dari ketidakberdayaan. Akan tetapi, banyak di antara teman sepermainannya sekarang sudah tewas.
Mohammed dibesarkan di negara yang telah hancur. Dia baru lahir ketika presiden terakhir Somalia, seorang diktator yang dikultuskan Mohamed Siad Barre, digulingkan dan negara itu terperosok ke dalam anarki berkelanjutan yang berlangsung puluhan tahun. mohammed adalah salah satu dari seluruh generasi yang sama sekali tidak tahu bagaimana wujud republik yang stabil. Namun, mereka akrab dengan hal-hal lain. “Senjata M16, mortir, granat, bazoka—aku tahu persis senjata mana yang dimaksud, begitu aku mendengar suaranya,” katanya.
Garis pantai utara Somalia menghadap ke Teluk Aden dan berlanjut ke Samudra Hindia. Garis pantai tersebut menjadi basis bajak laut yang memangsa kapal-kapal yang melintasi alur laut antara Eropa dan Asia. Ketika aku mengunjungi negara itu tahun lalu, bajak laut Somalia menyerang puluhan kapal di lepas pantainya. Meski begitu, kudapati keadaan di dalam negeri itu lebih bergolak, kalaulah boleh dikatakan demikian. Sejak itu, pertempuran sengit antara para pemberontak dan pasukan pemerintah semakin berkobar tatkala pasukan Etiopia—yang menyerbu Somalia di akhir 2006 untuk menumbangkan pemerintah Islam berusia pendek dan mendukung TFG—menarik diri pada Januari 2009. Kekacauan itu mengundang aliran baru para pejuang asing masuk ke Somalia yang sudah menjadi tempat berlindung para teroris, yang menganggap diri mereka terlibat dalam gerakan jihad global. Fund for Peace menempatkan Somalia pada urutan pertama dalam daftar negara yang gagal dalam dua tahun terakhir. (Lihat “Mengapa Semuanya Terpuruk,” halaman XX.) Posisi tersebut tidak sepadan dengan nestapa di Somalia. Kegagalan—dalam menciptakan keamanan, kecukupan pangan, layanan, atau harapan—sudah 18 tahun menghantam negeri yang menjadi rumah bangsa Somalia itu.
!break!
Dan mereka pun berbondong-bondong meninggalkan rumah tersebut. Mereka yang beruntung hijrah keluar dari daerah konflik—dalam perjalanan mencekam ke kamp pengungsian di Kenya, Yaman, atau ke Somaliland, republik sempalan yang dulu menjadi wilayah utara Somalia. Mereka yang kurang beruntung—lebih dari satu juta jiwa—terdampar di kamp-kamp yang diperuntukkan bagi orang yang terusir di negerinya sendiri. Namun, banyak yang memilih tetap tinggal di Mogadishu, kota yang jika dipandang sekilas, sama saja dengan kota-kota lain di Afrika, kota dengan hiruk-pikuk mobil bobrok yang lalu lalang, kereta yang ditarik keledai, dan kawanan kambing yang dibiarkan berkeliaran di jalan berlubang. Pasar dipenuhi buah mangga dan pisang berwarna cemerlang, serta barang loakan dari Barat. Kaum perempuan berjilbab lalu lalang, sementara anak laki-laki bermain sepak bola dan kaum pria dewasa pipinya menggembung karena tengah mengunyah qat.
Meskipun demikian, di antara rangka-rangka gedung bank, katedral, dan hotel mewah yang menghadap ke garis pantai nan berkilau yang dulu pernah dipenuhi kapal pesiar, kenyataan memilukan mulai mewujud. Dulu, Mogadishu tidaklah mirip dengan kota lain di Afrika. Dulu, Mogadishu adalah kota yang memukau. Bahkan dalam keadaan porak-poranda pun, kecantikannya masih tampak—lebih dari itu, kawasan Hamarweyne yang kosong masih meninggalkan bekas-bekas kemewahan, tempat aku dan juru foto Pascal Maitre berdiri di jalan raya yang sepi dan memicingkan mata menatap laut hingga terdengar suara adzan dari mesjid terdekat yang mengingatkan kami bahwa waktu sudah hampir pukul lima sore, dan setelah itu semua kegiatan di luar rumah pun berhenti. Orang yang berkeliaran di jalanan Mogadishu di senja hari ibarat mengundang malapetaka.
Sebelum pergi, kami menuju mercu suar dan bertemu Mohammed. Dia melihat kami, dua orang gaalo atau orang asing, dan sejumlah pengawal kami. Mula-mula kami mendengar suara langkahnya di saat dia mundur ke dalam gelap. Tidak lama kemudian, dia muncul dan mulai banyak bicara. “Kami tidak ingin meninggalkan negara kami,” katanya. “Aku tidak mau menjadi pengungsi. Kami siap mati di sini.”
NEGERI INI DITAKDIRKAN SARAT MASALAH. Luas Somalia hampir 650.000 kilometer persegi dan sebagian besar berupa tanah gersang. Penduduk Somalia sudah terlibat dalam persaingan yang terus-menerus dalam memperebutkan kekayaan alam negerinya yang langka—air dan padang rumput—sejak dahulu kala. Menurut etnografer Somalia terkemuka IM Lewis, penduduk Somalia “merupakan salah satu kelompok etnik tunggal terbesar di Afrika.” Secara turun-temurun, mereka adalah penggembala kambing, unta, serta sapi ternak yang menganut agama Islam dan menggunakan bahasa Somalia. Sebelum masa penjajahan di akhir abad ke-19, penduduk Somalia secara berkelanjutan menguasai sebagian besar wilayah Tanduk Afrika—termasuk wilayah yang di masa kini dikenal sebagai Djibouti, kawasan timur laut Kenya, dan wilayah timur Etiopia. Dalam jiwa bangsa Somalia, nasionalisme yang garang hadir bersama individualisme kaum pengembala. Mereka tidaklah terbiasa mengandalkan pemerintah dalam mencari solusi.
!break!
Apa yang mempersatukan Somalia—dan terkadang mencerai-beraikannya—adalah sistem kesukuan yang rumit. Lima keluarga suku utama, Darod, Dir, Isaaq (kadang dianggap subsuku Dir), Hawiye, dan Rahanweyn, sudah lama sekali mendominasi perluasan daerah kekuasaan tertentu. Di dalam suku-suku ini terdapat beragam subsuku dan sub-subsuku—beberapa di antaranya hidup berdampingan dengan rukun dan bahkan terjadi perkawinan antarsuku, sementara beberapa suku lainnya bertikai secara sporadis. “Selalu ada masyarakat nomaden yang rawan konflik di Somalia, dan sudah berlangsung sejak sebelum penjajahan,” kata Andre LeSage dari National Defense University di Washington DC. “Dulu terjadi penyerbuan binatang ternak oleh suatu suku, tetapi itu antara kelompok pemuda terorganisasi di bawah pengaruh tetua suku. Mereka biasa berkata, ‘Sekaranglah waktunya melakukan hal ini,’ dan sejumlah orang tewas dalam pertempuran sengit. Namun, perempuan dan anak-anak biasanya tidak diganggu, dan kampung tidak dihancurkan. Kita tidak usah terlalu mengagung-agungkan periode itu. Menyunat kemaluan perempuan lazim dilakukan, dan jelas sekali masyarakat tidak mengenyam perawatan kesehatan modern. Namun, hal itu sama sekali bukan anarki. Semua diatur ketat.”
Mekanisme antarsuku mulai runtuh saat bangsa-bangsa Eropa tiba. Bangsa Inggris di Somaliland menjajah dengan gaya yang lebih ramah dibandingkan bangsa Italia di selatan. Meskipun Mogadishu di bawah penjajahan bangsa Italia menjadi kota dengan kenyamanan yang kosmopolitan, bangsa Italia memolitisasi hierarki suku Somalia dengan memberikan imbalan kepada tetua yang setia, menghukum yang kurang setia, dan mengendalikan perdagangan. Mekanisme lokal untuk menyelesaikan pertikaian dirusak dengan parah.
Pada tahun 1960 kekuasaan kolonial berakhir dan nasionalisme yang sarat idealisme merasuki rakyat Somalia. Dengan visi menyatukan negara, Somaliland dan Somalia membentuk konfederasi. Namun, nasionalisme segera terhambat oleh perpecahan suku yang sudah semakin memburuk pada masa penjajahan. Permusuhan yang rumit menyebabkan tidak adanya kekuasaan. Lalu, muncullah diktator Jenderal Mohamed Siad Barre pada 1969. Barre (anggota suku Darod) memerintah dengan kekejaman yang licik dan banyak orang Somalia masa kini yang merindukan stabilitas pada masa pemerintahannya. Di depan publik dia menunjukkan seakan-akan dia melumpuhkan kekuasaan suku, menggalakkan sosialisme di atas paham kesukuan, dan melucuti kekuasaan hukum para tetua suku. Namun di balik layar, dia menerapkan politik devide et impera yang cuma semakin memperparah ketegangan antarsuku. Sementara itu, Barre mengambil hati Uni Soviet juga AS, dan mendapatkan senjata dalam jumlah besar. Perang brutal dengan Etiopia melemahkan posisinya. Pada 1991 kaum milisi suku Hawiye mengusir Barre keluar dari Mogadishu. Rakyat Somalia yang sudah muak dengan penjajah dan penguasa menantikan pemerintahan berikutnya.
Delapan belas tahun kemudian, mereka masih terus menunggu.
Mohammed masih bayi ketika perang saudara berkecamuk antara milisi yang bersaing mengambil alih distrik Hamarweyne pada 1991. “Empat bulan mereka berperang, di sini, di permukiman kami,” katanya mengingat cerita orang tuanya. “Kami tidak bisa mendapatkan makanan. Semua sangat ketakutan.” Suatu hari, sebuah mortir menghantam rumah tetangganya dan menewaskan penghuninya. Serpihan mortir terbang memasuki rumah keluarga Mohammed, menembus leher dan ruang tulang rusuk ayahnya yang menjadi polisi di bawah rezim Barre. Keluarganya bersama para tetangga menumpang kendaraan ke utara menuju Hargeysa di Somaliland dan mereka tinggal di sana selama tiga bulan. Mereka kembali ke Mogadishu dan mendapati Hamarweyne sudah musnah dan atap rumah mereka berlubang-lubang.
!break!
“Kami harus mulai lagi dari nol,” kata Mohammed mengingat masa itu. Luka akibat serpihan mortir membuat ayahnya mengalami disorientasi dan tidak bisa bekerja lagi. Mohammed berkeliaran di jalan, menyemir sepatu orang asing, tetapi ibunya bersikeras agar dia berhenti bekerja dan mulai bersekolah. Dengan mengandalkan uang kiriman bibinya yang tinggal di Arab Saudi, mereka hidup pas-pasan. Pada musim hujan, air tercurah melalui atap dan menggenangi rumah mereka.
Beberapa tahun yang lalu, sahabat Mohammed tewas dihantam mortir ketika sedang melintasi di jalan. Mohammed tidak dapat duduk di bangku kelasnya tanpa memikirkan sahabatnya itu. Dia berhenti sekolah dan menjadi nelayan sampai sekarang, kadang membawa hasil tangkapannya sehari-hari ke pasar Bakaara, meskipun permukiman di sana dalam kekuasaan milisi al Shabaab. Dia masih ingat, tiba di pasar suatu hari dan mendapati sepuluh orang bergelimpangan tak bergerak di jalan. Dia masih ingat berusaha tidur di malam hari, tetapi terus membayangkan wajah orang-orang yang sudah mati itu.
Ketika ditanya mengenai kenangan indah, Mohammed menatap laut. Senyumannya bukan senyuman ceria seorang pemuda. “Aku tidak punya kenangan indah apa pun,” katanya.
DUA MINGGU sebelum kedatanganku, ayah Mohammed bangun di pagi hari, seperti biasa, disertai sakit kepala akibat cedera yang dialaminya. Dengan sukarela dia bergabung dengan sebuah kelompok yang kebanyakan anggotanya perempuan untuk memunguti sampah di sepanjang Jalan Maka al Mukarama—jalan raya utama dari bandara Mogadishu—dengan imbalan makanan. Dia tiba terlambat satu jam, tepat ketika mendengar suara ledakan.
Teman-temannya sesama sukarelawan bergelimpangan di sepanjang jalan—tercabik-cabik oleh bom di trotoar, wajah mereka hancur tak bisa dikenali. Seorang anak berdiri dengan pandangan hampa menatap potongan tubuh itu. Empat puluh empat orang wanita dibawa ke rumah sakit. Separuh di antaranya sudah tewas.
!break!
Kekerasan itu mencekam penduduk kota, tetapi anehnya tidak dirasakan orang luar. Kerusakan itu nyata, tetapi tidak cukup nyata sampai akhirnya, dengan gejolak rasa ngeri, hal itu terasa amat nyata. Jadi, mungkin saja orang terbangun pada jam enam pagi karena mendengar ledakan yang menggelegar, sebagaimana yang kualami pada pagi keempatku di Mogadishu—berjalan menuruni tangga, lalu keluar ke teras yang teduh di hotel kami yang kokoh dan mendapati pemilik hotel berayun-ayun dengan nyaman di ayunan sambil menyeruput kopi Yaman-nya, yang biji kopinya disembunyikan di kamar tidurnya. Saat aku duduk, dia menanyakan apakah aku suka ikan ekor kuning yang dihidangkan tadi malam. Kami mengobrol tentang anak-anaknya yang pindah ke North Carolina dan Georgia. Tentang kekuasaan dan kelicikan Siad Barre (“Tidak ada yang seperti dia lagi!”). Tentang Barack Obama, pasta lezat yang pernah disantapnya di Bergamo Italia, usaha sampingannya di Dubai—dan ya, sekilas tentang ledakan yang terjadi di pagi hari itu, yang ternyata akibat mortir yang diluncurkan para pemberontak ke pasukan TFG (yang justru menewaskan beberapa orang awam yang tak bersalah), diikuti oleh saling tembak yang berlangsung lama di pusat kota. Kekerasan itu hanya diobrolkan sekilas saja, seperti kecelakaan biasa yang tidak nyata.
Padahal, kekerasan itu begitu nyata. Selanjutnya di pagi itu, kami ke Rumah Sakit Medina—seperti yang kami lakukan setiap hari sejak kami tiba—dalam ritual yang mengerikan. Dua hari sebelumnya, kami menjenguk para wanita yang dirawat karena terkena bom trotoar di Jalan Maka al Mukarama—ada yang mengalami luka bakar parah, beberapa orang kehilangan anggota badan, dan banyak yang sedang hamil. Ledakan-baru di dekat hotel kami memakan 18 korban baru sehingga rumah sakit kewalahan. Lantai dan dindingnya penuh noda darah. Pasien yang kehilangan anggota badannya tergolek di atas tandu di lorong dan di teras. Kerumunan anggota keluarga berdiri di dekat masing-masing korban—semuanya cemas, tentu saja, tetapi tidak ada yang meneteskan air mata.
Di kala peluru beterbangan dan tubuh manusia bergelimpangan, para pegawai pemerintah meyakinkan kami tanpa perasaan malu sedikit pun bahwa segala sesuatunya terkendali. “Benar, opini publik berubah. Orang membenci al Shabaab karena hal-hal yang sudah mereka lakukan,” kata Abdifitah Ibrahim Shaaweey, wakil gubernur bidang keamanan wilayah sekitar Mogadishu, seorang lelaki awet muda yang berkeliling kota diiringi konvoi besar dan yang pendahulunya, ayahnya, tewas dalam konflik dua tahun lalu. “Tentu saja ada banyak tempat yang pemerintahnya menghadapi oposisi,” kata komandan pasukan nasional Somalia Yusuf Dhumal diplomatis. Kemudian dia menambahkan, “Tetapi, banyak bagian di negeri ini yang mendukung pemerintah,” sambil menyebutkan beberapa wilayah negara itu—termasuk wilayah semi-otonom Puntland di bagian timur laut, tempat bajak laut merajalela. Meski begitu, pengawasan mulai longgar. Siang itu kami berkendara melalui salah satu distrik “terkendali” dan mendapati jalan utamanya baru saja dihalangi setelah seorang polisi tewas tertembak di situ.
KEKACAUAN yang berkelanjutan di Somalia dapat membingungkan orang luar. “Kami mengunjungi negara-negara yang porak-poranda akibat perang ini sambil berusaha tidak merasa pesimistik,” kata Ken Menkhaus, pakar tentang Tanduk Afrika di Davidson College di North Carolina. “Tetapi, di Somalia kita harus maklum bahwa orang-orang yang selalu bersikap sinis—yakni orang-orang yang berpendapat bahwa prakarsa damai pasti gagal—ternyata benar selama hampir 20 tahun.”
!break!
Sikap skeptis tentang masa depan Somalia pupus sejenak di awal 2009 ketika penarikan mundur pasukan Etiopia membangkitkan harapan bahwa pemberontakan akan pudar. Kesepakatan pembagian-kekuasaan menghasilkan TFG versi baru, yakni pemerintahan pelangi dipimpin oleh Islam moderat yang mendapatkan dukungan kuat internasional. Namun, pemerintahan baru ini berjuang keras untuk mempertahankan kendali karena baik al Shabaab maupun pemberontak Islam garis keras lainnya Hizbul Islam telah mengambil alih sebagian besar wilayah tengah dan selatan Somalia. Pada Juni 2009, pasukan yang setia kepada pemerintahan yang rapuh ini hanya menguasai tujuh dari 18 distrik Mogadishu. Pertempuran terbaru menewaskan lebih dari 200 orang dan menyebabkan puluhan ribu orang kehilangan tempat tinggal.
Mengapa kekerasan begitu sulit diredam? Sudut pandang yang dapat menjelaskan hal ini dapat ditemukan di kawasan utara, di Somaliland. Tidak ada tanda kasat mata yang membedakan penduduk Somaliland dari penduduk Somalia. Namun, dengan mata telanjang pun kita dapat melihat banyak perbedaan antara kedua wilayah itu. Ibu kota Somaliland, Hargeysa, adalah jalanan yang hancur, lalu lintas yang semrawut, sampah di mana-mana, dan kamp pengungsi, tetapi ada dua hal yang tidak kita dapati di Mogadishu. Yang pertama adalah maraknya pembangunan—hotel, restoran, pusat bisnis. Yang kedua adalah gerai penukaran mata uang tampak bertebaran di jalan, dan di situ tampak para wanita duduk di samping tumpukan shilling Somaliland setinggi satu meter tanpa ditemani oleh petugas keamanan sama sekali.
Yang hampir tak pernah terlihat di Hargeysa adalah kekerasan. Saat terakhir senjata digunakan di Somaliland adalah pada 1996, beberapa tahun sesudah konferensi perdamaian yang legendaris dilangsungkan di kota Borama. Barre digulingkan dan para gembong pasukan penentang yang terlibat dalam perang saudara di kawasan selatan mengancam kestabilan kawasan utara. Di Borama, sekelompok tetua berkumpul untuk mendamaikan konflik antarsuku dalam konferensi yang oleh salah seorang pesertanya dinamakan “rekor Guinness untuk konferensi—berbulan-bulan berunding dan akhirnya menyepakati piagam untuk mendirikan sebuah pemerintahan. Dan di saat kami sedang melangsungkan konferensi ini, di pedesaan, semua orang berdatangan dan meletakkan senjata mereka di bawah pohon.” Karena tunas demokrasi mengalihkan sebagian besar kekuasaan kepada para tetua dan sheikh, perdamaian pun bertahan lama. (Pengecualian yang mencengangkan terjadi pada Oktober 2008 tatkala serangkaian bom bunuh diri—yang jelas sekali dilakukan oleh al Shabaab—melanda Hargeysa, menyebabkan puluhan orang tewas.) Somaliland memetik manfaat dari keadaan suku yang lebih homogen di kawasan itu dan adanya pelabuhan di Berbera yang tidak menderita perompakan yang menghantui pantai Somalia.
Namun, kemakmuran sejati tidak dialami; perkembangan Somaliland sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan Dubai. Sebagian besar jalan raya di daerah bisnis yang menghubungkan negara tetangga Etiopia ke Hargeysa dan ke pelabuhan di Berbera jarang digunakan orang; jumlah kambing dan unta jauh lebih banyak daripada mobil. Di mana-mana di kota Burco di Somaliland terdapat kumpulan lapak beratap rendah di pasar-pasar yang bernuansa sangat Islami. Jalan raya yang menghubungkan Hargeysa dan Burco ke ibu kota administratif wilayah Sanaag, Ceerigaabo, sudah tidak tampak lagi wujudnya beberapa ratus kilometer menjelang kota itu—orang harus berjalan kaki delapan jam melalui gurun yang tidak ada jalannya, dan hanya bisa menanyakan arah ke penghuni pondok oasis yang ditemukan sesekali atau penggembala unta. Dan yang dulu merupakan kanopi pohon acacia yang rimbun dan mengesankan hingga jauh ke pegunungan di bagian utara wilayah Sanaag telah dibabat habis-habisan (seperti juga hutan di seluruh Somalia). Kayunya dibakar menjadi arang, dikemas dalam karung goni, kemudian diangkut dengan kapal barang ke negara-negara Teluk Persia. “Mereka hanyalah orang miskin yang mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya,” begitu diakui walikota Ceerigaabo. “Tetapi, hal itu adalah kesalahan besar. Kalau saja organisasi internasional bersedia membantu dengan memberikan sarana lain untuk menunjang kehidupan.”
!break!
Perasaan ini diungkapkan secara universal di seluruh Somaliland, yang tidak diakui sebagai negara berdaulat oleh pemerintahan mana pun. Di Somalia, yang dirasakan mungkin dunia menelantarkan negara tersebut, tetapi dari perspektif Somaliland, tetangga di sebelah selatan itu telah mencuri perhatian dunia. “Inilah pertanyaan yang kuajukan setiap kali aku ke Eropa dan AS,” kata Presiden Somaliland Daahir Rayaale Kaahin. “Mengapa Somaliland dengan segala keberhasilannya tidak menerima dukungan dari masyarakat internasional, sementara Somalia menerima semua bantuan, padahal tidak pernah menunjukkan keberhasilan? Tidak ada yang bisa memberiku jawaban.” Permohonan President Rayaale mulai mendapatkan simpati dari sejumlah negara luar, tetapi pada umumnya diharapkan agar Somaliland tetap bersatu dengan—dan dengan demikian membantu menyelamatkan—Somalia.
President Rayaale berpendapat bahwa ini adalah pendekatan yang menyesatkan. “Kesampingkan impian untuk mewujudkan Somalia Raya,” katanya. “Biarlah kami menjadi tetangga yang baik, negara yang berfungsi di dekat mereka. Biarkan mereka duduk seperti yang telah kami lakukan, di bawah pohon.” Namun jika kita meminta orang Somalia duduk di bawah pohon, akankah mereka meninggalkan senjata mereka di situ?
SEORANG TERORIS menjual minuman ringan dan es krim di gerai pasarnya di bagian selatan Mogadishu. Usianya 22, perawakannya tinggi dan kurus dengan mata yang indah dan senyum yang manis. Dia melambaikan tangan secara sembunyi-sembunyi di saat mobil kami lewat. Kami berkenalan keesokan harinya setelah dia menghabiskan malam bersama letnannya, sembahyang bersama dan merakit bahan peledak.
Pemuda itu adalah seorang emir bagi al Shabaab—yang berasal dari milisi remaja untuk Serikat Pengadilan Islam (Islamic Courts Union, ICU), persatuan pengadilan syariah yang bersatu untuk mengendalikan kawasan selatan Somalia pada musim panas dan gugur 2006. Radikalisasi ICU yang mengerikan dan hasrat yang terungkap untuk memiliki kekhalifahan Somalia telah memicu Etiopia (dengan dukungan AS) menginvasi Somalia, mengalahkan ICU, dan memberikan kekuasaan kepada TFG pada tahun itu. Pemerintahan ICU yang berlangsung singkat pada umumnya berlangsung damai, tetapi penerusnya—milisi al Shabaab—jauh lebih tertarik pada kekerasan dan konon memiliki kaitan dengan al Qaeda.
!break!
Emir yang masih muda ini pernah mengendalikan 120 mujahidin. “Sekarang ada sekitar 60 atau 70,” katanya ketika kami bercakap-cakap tahun lalu. “Yang lainnya sudah meninggalkan negeri ini. Atau berada di surga.” Dengan suara lirih, dan dengan sangat singkat, dia menjelaskan bahwa tujuan al Shabaab adalah “merebut kembali negeri ini dan mendirikan negara Islam. Sampai anak gadis terakhir kami tak lagi bernapas, kami akan terus berjuang. Kami tidak menginginkan demokrasi. Jika mereka membiarkan kami mengurusi martabat kami sendiri, kami sanggup memerintah Somalia.”
Dia menceritakan pelatihannya yang berat dan bagaimana seorang pemimpin al Shabaab terkemuka, Aden Hashi Ayro—yang kemudian tewas oleh serangan udara AS karena keterkaitannya dengan al Qaeda—mengajarinya langsung cara merakit ranjau darat. Ketika aku bertanya dari mana al Shabaab mendapatkan pasokan amunisi, dia menjawab bahwa sebagian besar dibeli dari seberang perbatasan, dari Kenya. Namun, dia menambahkan, “Kami menerima sejumlah dukungan di masa lalu dari Eritrea yang memberikan senjata berat serta amunisi, dan sekarang mereka siap mendukung kami lebih lanjut. Namun, tidak mungkin kami mendapatkan senjata lewat jalan darat.” Jalan keluarnya, kata si emir menjelaskan, mereka harus menguasai kota pantai selatan Kismaayo, daerah konflik berat antara pemerintah dan kaum ekstremis. “Jika kami berhasil mendapatkannya,” katanya, “kami akan punya pelabuhan sendiri. Dan kami bisa menerima apa pun yang kami perlukan dari sana.”
Kurang dari satu jam setelah si emir pergi, pemandu kami menerima panggilan telepon. Kismaayo baru saja jatuh ke tangan al Shabaab. Tidak lama lagi kaum ekstremis akan bisa mendapatkan pasokan senjata yang mereka perlukan.
KAMI AKAN MEMBAYARMU 150 dolar. Anggota al Shabaab mendekati Mohammed dan menawari nelayan muda ini panjar berupa uang tunai dolar AS jika bersedia bergabung dengan organisasi mereka. Setiap bulan, mereka membujuknya, kamu akan mendapatkan jumlah uang sebanyak itu sebagai imbalan atas bantuanmu. Mohammed tidak mengatakan bersedia. Tetapi, dia juga tidak menolak.
Mohammed menyampaikan berita itu kepada keluarganya. Selama bertahun-tahun mereka hidup dengan makan ikan dan jagung. Gaji sebesar itu akan sangat berarti. Di tempat yang kacau-balau itu, al Shabaab adalah majikan terbaik di kota dan menawarkan arah di tengah ketidakpastian yang dihadapi sehari-hari. Selama berminggu-minggu keluarga Mohammed mendiskusikan segi positif dan negatifnya. Mohammed sendiri merasa pilu. Kebanyakan temannya yang sudah bergabung dengan al Shabaab dideportasi, ditahan, atau tewas. Dan fakta ini, bukan soal moral atau agama, yang pada akhirnya membuatnya mengambil keputusan untuk menolak tawaran itu. Sebagaimana yang mungkin dikatakan ayah Mohammed kepadaku, “Apabila bergabung, kamu tidak akan bisa keluar lagi. Rekan-rekannya yang sudah bergabung—tidak pernah kembali ke keluarga masing-masing. Jadi, lebih baik dia melaut saja dan menangkap ikan.”
Air mata sang ayah tampak tergenang saat menceritakan hal ini. “Mohammed mengurus kami,” katanya dengan lirih. “Aku sedih sekali karena anakku harus memikul tanggung jawab ini.”
!break!
MAKANAN ADALAH KEKUASAAN di Somalia. Kelompok milisi secara rutin turun ke lahan yang dapat ditanami di bagian tengah Somalia saat panen dan merampas hasil panen untuk mereka nikmati sendiri. Bajak laut di Samudra Hindia membajak puluhan kapal asing yang membawa bantuan pangan. Harga makanan sangat mahal di sini, bahkan juga sebelum harga pangan dunia melonjak tajam tahun lalu, akibat kekeringan, dihalanginya jalan oleh milisi, serta mata uang yang terdevaluasi. Akibatnya, jutaan orang sekarang bergantung pada bantuan pangan. Pertempuran-baru mendorong negara ini menuju krisis kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Kekerasan membuat orang kehilangan tempat tinggal, dan ini menyebabkan melonjaknya jumlah orang yang berkerumun di dapur umum di Mogadishu. Antrean sudah mengular sebelum gerbang dibuka di tengah hari. Orang-orang yang kelaparan berdiri sambil membawa mangkuk, mengobrol, tetap menunjukkan martabatnya sebagaimana selalu ditunjukkan orang Somalia. Di belakang gerbang, para pekerja yang dibiayai oleh para dermawan dari Barat dan PBB mengaduk beberapa tangki besar berisi bijirin semacam gandum dan sayuran. Semuanya orang lokal, tetapi karena mereka dibiayai oleh lembaga dari negara Barat, mereka tidak mengenakan pakaian resmi berupa tunik di kota karena takut diculik atau dibunuh.
Ketika pintu geser gerbang dibuka, seorang wanita masuk ke dalam antrean, melihatku, lalu membisikkan sesuatu kepada seorang pekerja pembantu: “Katakan kepadanya, kami mendoakan gaalo karena mereka memberi kami makan. Para pejuang jihad tidak lagi memberi kami makan. Mereka malah membunuhi kami.”
PEMBUNUHAN terjadi di sekeliling kami. Tetapi, baru kami saksikan sendiri bahaya tersebut pada hari kedelapan berada di Somalia. Kami berangkat pada Sabtu pagi mengendarai dua mobil SUV yang dipenuhi pengawal bersenjata, ke selatan menuju kota pantai Marka yang sarat dengan peninggalan Italia. Jalan sepanjang 100 kilometer antara kedua kota itu hampir seluruhnya dikendalikan al Shabaab (pada bulan-bulan berikutnya, al Shabaab berhasil menguasai Marka dan kebanyakan kota di wilayah Somalia tengah-selatan). Karena itulah, perjalanan sehari tersebut merupakan hasil negosiasi panjang antara pemandu kami dan para pemberontak. Disepakati bahwa segera setelah kami meninggalkan batas kota Mogadishu, para pengawal kami yang berasal dari TFG akan meninggalkan kendaraan dan digantikan oleh pengawal dari pihak milisi. Tindak kehati-hatian ini memerlukan uang, yang syukurlah kami miliki. Dua orang wartawan dalam sebuah mobil yang jaraknya beberapa kilometer di belakang tidak seberuntung kami.
Mereka wartawan lepas yang masih muda—satu dari Australia, satu dari Kanada—dan mereka baru saja tiba, penuh semangat, tetapi minim pengalaman ataupun uang. Mereka meyakinkan pemandunya untuk membawa mereka ke kamp penduduk yang terusir dari tempat tinggalnya (internally displaced persons, IDP) sekitar 16 kilometer di luar Mogadishu, menyusuri jalan yang juga kami lalui. Mereka sudah membayar pengawal TFG, tetapi belum membayar petugas keamanan dari pihak milisi untuk mengantarkan mereka ke kamp pengungsi yang jaraknya beberapa kilometer terakhir. Perjudian mereka ternyata harus dibayar mahal.
Jalan raya dijejali pengungsi yang berkeliaran dan banyak konvoi membawa timbunan arang dari hutan ke selatan. Setelah perjalanan 30 menit, pemandu kami berkata, “Aku sudah menelepon gaalo yang lain, tapi mereka tidak menjawab.” Dia menelepon petugas keamanan TGF yang mengawal kedua wartawan itu. Benar, mobil mereka berhasil mencapai tempat pemeriksaan di batas kota. Dia menelepon kamp IDP. Mereka belum sampai. Pada saat kami tiba di Marka, seorang anggota al Shabaab menelepon menyampaikan kabar. Kedua wartawan diculik. Uang tebusannya mungkin satu juta dolar AS per orang. Kehadiran dua orang gaalo lainnya di jalan yang sama sangat mencolok mata. Tidak ada yang tahu bagaimana nasib kami kelak.
!break!
Kami menghabiskan malam di sebuah pesanggerahan di Marka. Tidaklah aman kembali ke Mogadishu mengendarai mobil di jalan yang sudah kami tempuh, padahal itulah satu-satunya jalan menuju kota. Sebuah pesawat terbang PBB dijadwalkan akan tiba dua hari lagi; kami dapat menumpang ke Nairobi, meskipun koper dan paspor kami ada di hotel di Mogadishu. Pada akhirnya kami memutuskan untuk kembali dengan menempuh rute lain. Seseorang yang berkuasa di Marka menawari kami untuk meminjam 12 anggota milisinya yang bersenjata lengkap, para pemuda yang berafiliasi dengan al Shabaab. Mereka akan mengawal kami sampai ke batas kota, kemudian dari sana satuan TFG akan membawa kami kembali ke hotel, lalu ke bandara. Biayanya 500 dolar AS tunai. Jalannya akan menyusuri pantai Samudra Hindia.
Kami menunggu keesokan harinya sampai pasang telah surut. Lalu, tepat sebelum pukul 11, kami keluar dari pesanggerahan dan naik mobil menembus kota—dua SUV dan sebuah truk yang bak belakangnya rata dipenuhi selusin pemuda bersenjatakan senapan M16, Kalashnikov, sabuk amunisi, dan sebuah senjata mesin putar berukuran besar yang dipasang di bak truk—sementara penduduk setempat menatap orang-orang asing ini dengan pandangan mafhum karena berita penculikan itu sudah menyebar. Kami berkendara melalui pasar, melewati tumpukan cangkang penyu, kemudian pemandangan hanya pantai. Ombak menghempas ke roda kendaraan. Pasukan pemuda milisi itu mengobrol dengan riang, dan setiap kali roda truk terperangkap dalam pasir—dan ini terjadi setiap 2-3 kilometer—mereka melompat keluar dari kendaraan untuk mendorongnya. Mau tak mau aku berpikir: Bisa saja mereka merampas uang yang 500 dolar itu sambil sekaligus menyandera kami.
Tanpa terduga, pantai tiba-tiba berakhir setelah seperempat perjalanan. Jalan tanah muncul dan membawa kami ke kota Gendershe yang pernah menjadi kota peristirahatan favorit. Sekarang dikuasai kaum militan Islam. Jalan menyempit di saat kami memasuki desa batu yang cantik, lalu muncul beberapa lelaki. Mereka memerintahkan pengawal kami mematikan musik di mobil kami. Mata mereka terbelalak ketika melihat dua orang gaalo. Tetapi, beberapa orang pemuda di truk mengenal para tetua Islam itu, dan beberapa menit kemudian kami pun bergerak melalui ujung kota Gendershe yang lain, tempat palang pemeriksaan diangkat dan kami diizinkan lewat.
Tak lama kemudian pantai terlihat lagi. Tampak beberapa kapal nelayan kecil, beberapa orang penggembala kambing, dan hanya itu saja. Kira-kira sudah separuh perjalanan, ketika truk milisi itu harus berhenti untuk kesekian kalinya karena mogok, semua penumpang turun dari kendaraan, dan kami semua berjalan menuju laut, menatap cakrawala. Kubuka sekotak biskuit padat gizi. Kami menyantapnya, saling pandang, berpotret ria, dan di saat itulah aku yakin bahwa kami akan selamat.
Ketika tiba di hotel, kami dipeluk para pegawainya, Mohammed si nelayan dan ayahnya datang menemuiku untuk terakhir kalinya. Kusodorkan uang $20. Dia memberikan $15 kepada ayahnya, dan hanya mengambil $5. “Untuk qat dan rokok,” katanya sambil tersenyum. “Untuk menikmati malam.”
!break!
Bandara Mogadishu dipenuhi penumpang—banyak di antara mereka membawa tas-tas besar, menandakan bahwa mereka juga akan meninggalkan negeri itu. Semuanya menatap si gaalo, dan aku bertanya-tanya apakah ada kejutan lain yang menunggu kami.
Ternyata memang ada. Satu per satu, mereka menghampiri kami. Menjabat tangan kami. Dan berkata kepada kami, melalui pemandu kami bahwa mereka prihatin atas nasib dua orang wartawan yang lain itu. Betapa mereka berterima kasih karena kami telah datang. Betapa mereka sedih atas apa yang terjadi. Betapa mereka penuh harap bahwa kami akan memberitakan pada dunia luar.
Di saat kisah ini dicetak, meski upaya diplomatik sudah dilakukan, kedua wartawan itu masih disandera menunggu uang tebusan. Dan rakyat Somalia masih terus menunggu datangnya perdamaian.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR