Yang hampir tak pernah terlihat di Hargeysa adalah kekerasan. Saat terakhir senjata digunakan di Somaliland adalah pada 1996, beberapa tahun sesudah konferensi perdamaian yang legendaris dilangsungkan di kota Borama. Barre digulingkan dan para gembong pasukan penentang yang terlibat dalam perang saudara di kawasan selatan mengancam kestabilan kawasan utara. Di Borama, sekelompok tetua berkumpul untuk mendamaikan konflik antarsuku dalam konferensi yang oleh salah seorang pesertanya dinamakan “rekor Guinness untuk konferensi—berbulan-bulan berunding dan akhirnya menyepakati piagam untuk mendirikan sebuah pemerintahan. Dan di saat kami sedang melangsungkan konferensi ini, di pedesaan, semua orang berdatangan dan meletakkan senjata mereka di bawah pohon.” Karena tunas demokrasi mengalihkan sebagian besar kekuasaan kepada para tetua dan sheikh, perdamaian pun bertahan lama. (Pengecualian yang mencengangkan terjadi pada Oktober 2008 tatkala serangkaian bom bunuh diri—yang jelas sekali dilakukan oleh al Shabaab—melanda Hargeysa, menyebabkan puluhan orang tewas.) Somaliland memetik manfaat dari keadaan suku yang lebih homogen di kawasan itu dan adanya pelabuhan di Berbera yang tidak menderita perompakan yang menghantui pantai Somalia.
Namun, kemakmuran sejati tidak dialami; perkembangan Somaliland sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan Dubai. Sebagian besar jalan raya di daerah bisnis yang menghubungkan negara tetangga Etiopia ke Hargeysa dan ke pelabuhan di Berbera jarang digunakan orang; jumlah kambing dan unta jauh lebih banyak daripada mobil. Di mana-mana di kota Burco di Somaliland terdapat kumpulan lapak beratap rendah di pasar-pasar yang bernuansa sangat Islami. Jalan raya yang menghubungkan Hargeysa dan Burco ke ibu kota administratif wilayah Sanaag, Ceerigaabo, sudah tidak tampak lagi wujudnya beberapa ratus kilometer menjelang kota itu—orang harus berjalan kaki delapan jam melalui gurun yang tidak ada jalannya, dan hanya bisa menanyakan arah ke penghuni pondok oasis yang ditemukan sesekali atau penggembala unta. Dan yang dulu merupakan kanopi pohon acacia yang rimbun dan mengesankan hingga jauh ke pegunungan di bagian utara wilayah Sanaag telah dibabat habis-habisan (seperti juga hutan di seluruh Somalia). Kayunya dibakar menjadi arang, dikemas dalam karung goni, kemudian diangkut dengan kapal barang ke negara-negara Teluk Persia. “Mereka hanyalah orang miskin yang mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya,” begitu diakui walikota Ceerigaabo. “Tetapi, hal itu adalah kesalahan besar. Kalau saja organisasi internasional bersedia membantu dengan memberikan sarana lain untuk menunjang kehidupan.”
!break!
Perasaan ini diungkapkan secara universal di seluruh Somaliland, yang tidak diakui sebagai negara berdaulat oleh pemerintahan mana pun. Di Somalia, yang dirasakan mungkin dunia menelantarkan negara tersebut, tetapi dari perspektif Somaliland, tetangga di sebelah selatan itu telah mencuri perhatian dunia. “Inilah pertanyaan yang kuajukan setiap kali aku ke Eropa dan AS,” kata Presiden Somaliland Daahir Rayaale Kaahin. “Mengapa Somaliland dengan segala keberhasilannya tidak menerima dukungan dari masyarakat internasional, sementara Somalia menerima semua bantuan, padahal tidak pernah menunjukkan keberhasilan? Tidak ada yang bisa memberiku jawaban.” Permohonan President Rayaale mulai mendapatkan simpati dari sejumlah negara luar, tetapi pada umumnya diharapkan agar Somaliland tetap bersatu dengan—dan dengan demikian membantu menyelamatkan—Somalia.
President Rayaale berpendapat bahwa ini adalah pendekatan yang menyesatkan. “Kesampingkan impian untuk mewujudkan Somalia Raya,” katanya. “Biarlah kami menjadi tetangga yang baik, negara yang berfungsi di dekat mereka. Biarkan mereka duduk seperti yang telah kami lakukan, di bawah pohon.” Namun jika kita meminta orang Somalia duduk di bawah pohon, akankah mereka meninggalkan senjata mereka di situ?
SEORANG TERORIS menjual minuman ringan dan es krim di gerai pasarnya di bagian selatan Mogadishu. Usianya 22, perawakannya tinggi dan kurus dengan mata yang indah dan senyum yang manis. Dia melambaikan tangan secara sembunyi-sembunyi di saat mobil kami lewat. Kami berkenalan keesokan harinya setelah dia menghabiskan malam bersama letnannya, sembahyang bersama dan merakit bahan peledak.
Pemuda itu adalah seorang emir bagi al Shabaab—yang berasal dari milisi remaja untuk Serikat Pengadilan Islam (Islamic Courts Union, ICU), persatuan pengadilan syariah yang bersatu untuk mengendalikan kawasan selatan Somalia pada musim panas dan gugur 2006. Radikalisasi ICU yang mengerikan dan hasrat yang terungkap untuk memiliki kekhalifahan Somalia telah memicu Etiopia (dengan dukungan AS) menginvasi Somalia, mengalahkan ICU, dan memberikan kekuasaan kepada TFG pada tahun itu. Pemerintahan ICU yang berlangsung singkat pada umumnya berlangsung damai, tetapi penerusnya—milisi al Shabaab—jauh lebih tertarik pada kekerasan dan konon memiliki kaitan dengan al Qaeda.
!break!
Emir yang masih muda ini pernah mengendalikan 120 mujahidin. “Sekarang ada sekitar 60 atau 70,” katanya ketika kami bercakap-cakap tahun lalu. “Yang lainnya sudah meninggalkan negeri ini. Atau berada di surga.” Dengan suara lirih, dan dengan sangat singkat, dia menjelaskan bahwa tujuan al Shabaab adalah “merebut kembali negeri ini dan mendirikan negara Islam. Sampai anak gadis terakhir kami tak lagi bernapas, kami akan terus berjuang. Kami tidak menginginkan demokrasi. Jika mereka membiarkan kami mengurusi martabat kami sendiri, kami sanggup memerintah Somalia.”
Dia menceritakan pelatihannya yang berat dan bagaimana seorang pemimpin al Shabaab terkemuka, Aden Hashi Ayro—yang kemudian tewas oleh serangan udara AS karena keterkaitannya dengan al Qaeda—mengajarinya langsung cara merakit ranjau darat. Ketika aku bertanya dari mana al Shabaab mendapatkan pasokan amunisi, dia menjawab bahwa sebagian besar dibeli dari seberang perbatasan, dari Kenya. Namun, dia menambahkan, “Kami menerima sejumlah dukungan di masa lalu dari Eritrea yang memberikan senjata berat serta amunisi, dan sekarang mereka siap mendukung kami lebih lanjut. Namun, tidak mungkin kami mendapatkan senjata lewat jalan darat.” Jalan keluarnya, kata si emir menjelaskan, mereka harus menguasai kota pantai selatan Kismaayo, daerah konflik berat antara pemerintah dan kaum ekstremis. “Jika kami berhasil mendapatkannya,” katanya, “kami akan punya pelabuhan sendiri. Dan kami bisa menerima apa pun yang kami perlukan dari sana.”
Kurang dari satu jam setelah si emir pergi, pemandu kami menerima panggilan telepon. Kismaayo baru saja jatuh ke tangan al Shabaab. Tidak lama lagi kaum ekstremis akan bisa mendapatkan pasokan senjata yang mereka perlukan.
KAMI AKAN MEMBAYARMU 150 dolar. Anggota al Shabaab mendekati Mohammed dan menawari nelayan muda ini panjar berupa uang tunai dolar AS jika bersedia bergabung dengan organisasi mereka. Setiap bulan, mereka membujuknya, kamu akan mendapatkan jumlah uang sebanyak itu sebagai imbalan atas bantuanmu. Mohammed tidak mengatakan bersedia. Tetapi, dia juga tidak menolak.
Mohammed menyampaikan berita itu kepada keluarganya. Selama bertahun-tahun mereka hidup dengan makan ikan dan jagung. Gaji sebesar itu akan sangat berarti. Di tempat yang kacau-balau itu, al Shabaab adalah majikan terbaik di kota dan menawarkan arah di tengah ketidakpastian yang dihadapi sehari-hari. Selama berminggu-minggu keluarga Mohammed mendiskusikan segi positif dan negatifnya. Mohammed sendiri merasa pilu. Kebanyakan temannya yang sudah bergabung dengan al Shabaab dideportasi, ditahan, atau tewas. Dan fakta ini, bukan soal moral atau agama, yang pada akhirnya membuatnya mengambil keputusan untuk menolak tawaran itu. Sebagaimana yang mungkin dikatakan ayah Mohammed kepadaku, “Apabila bergabung, kamu tidak akan bisa keluar lagi. Rekan-rekannya yang sudah bergabung—tidak pernah kembali ke keluarga masing-masing. Jadi, lebih baik dia melaut saja dan menangkap ikan.”
Air mata sang ayah tampak tergenang saat menceritakan hal ini. “Mohammed mengurus kami,” katanya dengan lirih. “Aku sedih sekali karena anakku harus memikul tanggung jawab ini.”
!break!
MAKANAN ADALAH KEKUASAAN di Somalia. Kelompok milisi secara rutin turun ke lahan yang dapat ditanami di bagian tengah Somalia saat panen dan merampas hasil panen untuk mereka nikmati sendiri. Bajak laut di Samudra Hindia membajak puluhan kapal asing yang membawa bantuan pangan. Harga makanan sangat mahal di sini, bahkan juga sebelum harga pangan dunia melonjak tajam tahun lalu, akibat kekeringan, dihalanginya jalan oleh milisi, serta mata uang yang terdevaluasi. Akibatnya, jutaan orang sekarang bergantung pada bantuan pangan. Pertempuran-baru mendorong negara ini menuju krisis kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Kekerasan membuat orang kehilangan tempat tinggal, dan ini menyebabkan melonjaknya jumlah orang yang berkerumun di dapur umum di Mogadishu. Antrean sudah mengular sebelum gerbang dibuka di tengah hari. Orang-orang yang kelaparan berdiri sambil membawa mangkuk, mengobrol, tetap menunjukkan martabatnya sebagaimana selalu ditunjukkan orang Somalia. Di belakang gerbang, para pekerja yang dibiayai oleh para dermawan dari Barat dan PBB mengaduk beberapa tangki besar berisi bijirin semacam gandum dan sayuran. Semuanya orang lokal, tetapi karena mereka dibiayai oleh lembaga dari negara Barat, mereka tidak mengenakan pakaian resmi berupa tunik di kota karena takut diculik atau dibunuh.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR