“Salah satu penyebab Bemaraha memiliki populasi hewan dan tanaman yang tak biasa adalah perubahan kawasan di sekelilingnya, baik karena manusia maupun perubahan iklim,” ujar Brian Fisher, kurator entomologi di California Academy of Sciences. “Kami menemukan bahwa kehidupan di sini jauh lebih beragam dari yang awalnya diperkirakan.”
!break!
Pada suatu pagi yang menggerahkan, saya dan Rakotondravony berjalan di hutan lebat yang menyelimuti dasar sebuah grike. Kami berhenti di sebuah busut, semut merah membanjir dari dalam tanah. Udara terasa lembap, bau ruang bawah tanah yang basah, dan dari dalam ngarai dan hutan ada suara mengalun di udara yang kental itu, antara terdengar dan terasa—dengung miliaran sayap serangga yang tak henti berkepak.
Rakotondravony mencolok busut itu perlahan, mencari renivitsika, atau ular ratu semut, yang sering hidup dalam kegelapan sarang semut. Kami tak menemukan ular, tetapi di sekitar busut itu, Rakotondravony menunjuk beberapa tanaman, termasuk pandan-pandanan. Tanaman ini, ujarnya menjelaskan, adalah pendatang yang tak disangka akan menghuni lorong sempit tsingy. Tanaman ini adalah spesies yang umum di hutan basah di Madagaskar bagian timur, tetapi jarang ditemui di bagian barat yang lebih kering. Hanya di sini, di dalam grike, tanaman ini bisa selamat dari terik Matahari dan kebakaran hutan. Tanaman itu hanyalah salah satu contoh. Ada juga sejenis katak, ujarnya, yang kerabat terdekatnya berada ratusan kilometer di hutan bagian timur.
Medan yang sulit menciptakan suaka yang lebih kecil, tempat beberapa makhluk berkembang secara lebih terisolasi, terbatas hanya di beberapa ngarai dalam tsingy. Lemur John Cleese, lemur mencit, dan sekurangnya dua bunglon kerdil sebesar kelingking—termasuk bunglon terkecil di dunia—menggambarkan jenis mikro-endemi ini, ketika hewan berevolusi agar sesuai dengan berbagai tempat yang sempit.
Brian Fisher telah tiga kali datang ke kawasan itu untuk memahami pembentukan suaka dan caranya membentuk kehidupan di dalamnya. Melalui analisis DNA, dia membandingkan semut dari kawasan tsingy dengan semut di bagian timur Madagaskar. Dia berharapan dapat menemukan kapan tepatnya semut, dan hutan itu, mulai terisolasi. Hasilnya akan memberi petunjuk tentang cara satwa berubah setelah terisolasi dari populasi lain, dan apakah satwa menanggapi perubahan iklim hanya dengan mundur ke suaka atau juga dengan mengembangkan sifat yang baru. Jawabannya, kata Fisher, dapat berdampak bagi masa depan, seiring aktivitas manusia menghancurkan habitat dan iklim planet ini berubah.
Karena terpencil dan nyaris tak bisa dimasuki, ekosistem tsingy lebih mungkin terancam oleh perubahan cuaca regional daripada oleh pembangunan. Menurunnya kelembapan, berkurangnya curah hujan, meningkatnya keasaman hujan—semuanya dapat merusak hutan, bahkan bebatuannya sekalipun.
“Saya bertanya-tanya sampai kapan hutan purba ini dapat bertahan,” Fisher merenung. “Hutan ini dapat musnah dalam waktu singkat. Sebuah benteng, tetapi rapuh. Sejujurnya kita tak tahu banyak. Kita baru mulai mempelajari hal ini.”
!break!
Pada salah satu hari terakhir di tsingy, aku berdiri di atas pos pengamatan memandangi bentangan puncak dan menara, batu kelabu tampak keunguan disinari matahari petang. Pos ini dibangun beberapa tahun lalu untuk wisatawan, tetapi tak ada lagi wisatawan yang berkunjung. Kudeta membuat turis tak berani datang. Hal tersebut menjadi berita buruk bagi taman ini karena 50 persen anggarannya berasal dari penghasilan pariwisata. Seorang pejabat memberi tahu bahwa kunjungan wisatawan ramai pada 2008, tetapi prospek tahun 2009 terlihat suram. Pada April 2008, 147 pengunjung datang ke Tsingy de Bemaraha; pada bulan yang sama tahun 2009, setelah kudeta, hanya ada 12. Pejabat itu tidak tahu bagaimana cara menutupi kekurangan anggaran atau apa dampaknya bagi suaka margasatwa ini, gaji karyawan, serta program pendidikan dan pengembangan untuk membuat masyarakat setempat mau ikut serta melestarikan. Dia tersenyum lelah. “Kami harus kreatif.”
Tak jauh dari sana sepasukan sifaka melompat dari menara ke menara, melintasi ngarai nan dalam, mendarat di batu yang runcing. Dengan bulunya yang putih cemerlang, lemur itu terlihat seperti satwa kutub yang terdampar di kawasan tropis. Mereka melintasi salah satu lanskap paling mengagumkan di dunia seolah hukum fisika tidak berlaku, seakan hukum itu hanyalah alasan yang dibuat-buat oleh makhluk kurang gesit untuk menjelaskan kecanggungannya.
Sifaka menghilang saat Matahari terbit. Betet berputar di langit, melintasi keluang yang diam. Dalam ngarai di bawahnya, hutan tampak seperti noda kelabu. Kami turun dan berjalan menuju perkemahan sambil memainkan sorot senter-kepala menembus pepohonan. Ribuan mata berkilat dalam kegelapan, permata hijau dan jingga, mata lemur nokturnal yang hanya ada di sini, tokek dengan kulit selicin dan seberkilau ikan cakalang, rama-rama dan laba-laba besar yang badannya sekurus bayangan. Malam pun menjadi tempat berlindung, semacam benua sementara, menyelimuti kota batu beserta segenap makhluknya, baik yang bernama maupun yang tak bernama.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR