Pada 14 September 1998, seorang warga Malaysia bertubuh kurus dan berkacamata Wong Keng Liang turun dari pesawat Japan Airlines dengan nomor penerbangan 12 di Bandara Internasional Me-xico City. Dia bercelana blue jeans belel, berjaket biru muda, dan mengenakan kaus bergambar kepala iguana putih. George Morrison, agen kepala Special Operations, unit rahasia elite beranggota lima orang di US Fish and Wildlife Service, menyambut kedatangannya. Beberapa detik setelah ditangkap, Anson (nama Wong yang dikenal di kalangan pedagang satwa liar dan aparat penegak hukum di seluruh dunia) digiring menuruni tangga sambil diborgol oleh polisi Meksiko.
!break!
Bagi Morrison dan timnya, Anson Wong adalah kemenangan besar dalam karier mereka—menangkap penyelundup satwa langka, buronan paling dicari di dunia. Penangkapan Wong yang melibatkan otoritas Australia, Kanada, Meksiko, Selandia Baru, dan Amerika Serikat adalah kemenangan yang diraih berkat kerja keras, menjadi puncak operasi rahasia selama setengah dasawarsa yang hingga kini masih dipandang sebagai investigasi satwa liar internasional paling sukses yang pernah ada.
Sudah lama sekali di banyak negara (termasuk AS), menyatukan kata “satwa liar” dengan “kriminal” tidak lagi menjadi hal yang serius. Para jaksa federal di AS menginginkan Anson dinyatakan bersalah untuk menunjukkan kepada dunia bahwa penyelundup satwa liar adalah penjahat. Selain menuntut Anson menurut hukum AS, berdasarkan undang-undang perdagangan satwa liar yang dikenal dengan Lacey Act, mereka juga mendakwanya dengan tuduhan persekongkolan, penyelundupan yang diancam hukuman berat, dan pencucian uang.
Selama hampir dua tahun Anson berusaha menentang ekstradisi ke AS, tetapi akhirnya dia menandatangani perjanjian pengakuan bersalah agar mendapatkan hukuman yang lebih ringan (plea agreement), yaitu mengakui tindak kejahatan yang diancam hukuman maksimum 250 tahun penjara dan denda yang setara dengan 125 miliar rupiah. Pada 7 Juni 2001, hakim distrik AS menjatuhkan vonis 71 bulan penjara di penjara federal AS (potong masa tahanan yang telah dijalaninya selama 34 bulan), denda yang setara dengan 600 juta rupiah, dan melarangnya menjual satwa kepada siapapun di AS selama tiga tahun setelah keluar dari penjara.
Jika hakim itu mengira bahwa larangan bagi Anson Wong akan mempan, dia salah. Tidak lama setelah Anson ditangkap, istri sekaligus mitra bisnisnya Cheah Bing Shee mendirikan perusahaan baru CBS Wildlife yang mengekspor satwa liar ke AS saat si suami masih di dalam penjara. Perusahaan utama Anson, Sungai Rusa Wildlife, terus mengirim satwa liar, sekalipun ada larangan. Kini setelah bebas, Anson membuka usaha baru yang melibatkan satwa liar, sebuah kebun binatang yang dijanjikan akan menjadi perusahaannya yang paling berani.
!break!
PERMAINAN ANGKA
Nyaris mustahil menyebutkan nama spesies fauna atau flora di manapun di Bumi ini yang belum pernah diperdagangkan—legal maupun ilegal—untuk dimanfaatkan dagingnya, bulunya, kulitnya, kicauannya, atau nilai ornamennya, sebagai hewan peliharaan atau sebagai bahan ramuan untuk minyak wangi atau obat. Setiap tahun, China, AS, Eropa, dan Jepang membeli satwa liar bernilai triliunan rupiah dari sisi dunia yang kaya keanekaragaman hayatinya seperti Asia Tenggara, membuat taman nasional kosong melompong dan merampas alam bebas, kerap daerah seperti itu baru saja bisa diakses, yaitu di sepanjang jalur pembalakan di hutan.
Jalur menuju pasar biasanya dimulai tatkala pemburu atau petani miskin menangkap satwa untuk pedagang lokal yang meneruskannya melalui rantai distribusi. Di Asia, satwa liar sampai di meja pesta jamuan makan atau dijual di toko obat; di Barat, satwa liar dipajang di ruang tamu penggemar satwa eksotis. Memahami hitung-hitungan ekonomi usaha ini sama mudahnya seperti lelang benda seni: semakin langka bendanya, semakin mahal harganya.
Meski tidak ada yang tahu persis seberapa luas jangkauan perdagangan satwa liar ilegal, yang pasti, bisnis ini amat menguntungkan. Para penyelundup berhasil mengakali pemeriksaan dengan menyembunyikan satwa liar ilegal dalam pengapalan legal, menyuap pejabat yang menangani urusan satwa liar dan pejabat pabean, dan mengubah dokumen perdagangan. Hanya sedikit yang berhasil ditangkap dan biasanya hukum-annya tidak lebih berat dari-pada denda parkir. Perdagangan gelap satwa liar boleh dikatakan merupakan bentuk per-dagangan ilegal paling menguntungkan.
Para penyelundup juga memanfaatkan celah dalam Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). Dengan 175 negara anggota, CITES adalah kesepakatan utama tingkat dunia yang melindungi satwa liar yang dikategorikan menjadi tiga kelompok. Satwa yang tercantum dalam Apendiks I seperti harimau dan orangutan diperkirakan sudah nyaris punah sehingga perdagangan untuk kepentingan komersial dilarang. Satwa dalam Apendiks II tidak serentan Apendiks I dan boleh diperdagangkan se-telah ada izin. Sedangkan yang tercantum dalam Apendiks III dilindungi oleh undang-undang suatu negara yang menambahkannya ke dalam daftar. Kesepakatan CITES punya satu titik kelemahan: Spesimen yang dibudidayakan atau ditangkar tidak mendapatkan perlindungan sebagaimana yang hidup di alam liar.
!break!
Pendukung penangkaran berpendapat, penangkaran dapat mengendurkan tekanan terhadap populasi yang hidup di alam liar, menurunkan angka penyelundupan, sekaligus memenuhi permintaan internasional yang takkan pernah surut. Akan tetapi, semua keunggulan ini hanya berlaku di negara-negara yang punya kebijakan penegakan hukum yang cukup kuat untuk menghalangi pelanggar hukum. Kenyataannya, para penyelundup men-dirikan fasilitas penangkaran palsu, lalu meng-klaim fauna dan flora yang diperoleh dari alam sebagai hasil penangkaran. Penangkaran palsu ini hanyalah salah satu cara Anson Wong untuk menjalankan bisnis yang merupakan tameng rahasia untuk salah satu sindikat penyelundupan satwa liar terbesar di dunia.
Sekarang, pedagang reptil paling terkenal di dunia yang sudah pernah dihukum itu menyusun rencana baru yang mungkin sekali menimbulkan konsekuensi meresahkan untuk salah satu satwa karismatik paling dihormati—dan terancam punah—di planet ini: harimau.
OPERASI BUNGLON
Operasi Khusus mulai memburu Anson Wong pada musim gugur 1993. Operasi ini membanggakan diri dalam hal mematahkan para penyelundup komersial berskala besar.
Pada 1990-an, reptil ilegal tumpah ruah memasuki AS. Harganya melesat naik—setara 200 juta rupiah atau lebih untuk seekor kura-kura langka atau komodo. Reptil bisa diselundupkan dengan mudah: ukuran tubuhnya kecil (setidaknya saat bayi), tahan banting, dan karena metabolismenya berdarah dingin, dapat bertahan hidup lama tanpa makan atau minum. Karena sangat berharga dan mudah diangkut, reptil adalah barang paling berharga dalam perdagangan satwa.
!break!
Para informan sudah bertahun-tahun menyebut-nyebut nama Anson Wong dan tim Operasi Khusus menduga, dialah tokoh sentral tingkat dunia dalam perdagangan reptil ilegal. Anson sudah menjadi buronan di AS karena menyelundupkan reptil langka ke seorang penadah Florida pada akhir 1980-an. Kabarnya, dia sendiri juga sangat menyadari statusnya sebagai buronan. Untuk menangkapnya, tim harus menyusun rencana cerdik.
Agen Khusus Morrison yang ditugasi menjadi pemimpin dan atasannya, agen khusus Rick Leach, menyewa tempat di sebuah kompleks bisnis di luar San Francisco. Mereka lalu mendirikan perusahaan grosir baru Pac Rim dengan hanya mem-perdagangkan barang yang mereka miliki, yaitu satu truk penuh kerang dan karang batu yang diperoleh dari penyelidikan sebelumnya. Mereka mengiklankan barang dagangan itu dalam majalah dan saat pesanan yang sah diterima, mereka mengerjakan sendiri pengemasan dan pemberian label kerang pesanan tersebut.
Untuk mendukung Pac Rim, tim membuka bisnis eceran bernama Silver State Exotics di luar Reno, Nevada. Gabungan kedua perusahaan ini menyebabkan para agen bisa memasuki lingkaran kehidupan ekonomi—mereka bisa mengimpor satwa dalam jumlah besar untuk grosir melalui Pac Rim dan menjual secara eceran satwa yang tidak diperlukan sebagai barang bukti melalui Silver State Exotics. Kegiatan ini menyebabkan Pac Rim tampil sebagai bisnis global (dan sumber penghasilan) yang tumbuh pesat. Pada 19 Oktober 1995, Morrison mengirim faks ke perusahaan Anson, Sungai Rusa Wildlife, menjelaskan bahwa dia adalah grosir kerang dan karang batu yang tertarik meluaskan bidang usahanya dengan memperdagangkan reptil dan amfibi. Anson menjawab dengan mengirimkan satu halaman daftar harga, menawarkan katak dan kodok berharga murah, di bawah 50.000 rupiah dan cicak seharga 3.000 rupiah. Semua disusun menurut nama Latin. Dalam salah satu kasus, Anson menggunakan namanya sendiri untuk suatu subspesies: ansoni. Dua satwa di dalam daftar itu tampak mencolok mata: kura-kura moncong babi dan soa payung yang dilindungi di seluruh rentang habitatnya di Papua Nugini, Indonesia, dan Australia. Jadi, dalam kontak pertama dengan Morrison yang sama sekali tidak dikenalnya itu, Anson sudah berani menawarkan satwa ilegal.
Dalam waktu singkat, Anson menawarkan Morrison reptil Apendiks I yang paling langka di planet ini dan paling berharga: komodo dari Indonesia, tuatara (Sphenodon spp.) dari Selandia Baru, aligator china (Alligator sinensis), dan kura-kura madagaskar Astrochelys yniphora, satwa langka yang paling langka. Dia menerbangkan komodo langsung ke Morrison dari Malaysia, disembunyikan dalam koper yang dibawa oleh rekannya warga AS James Burroughs. Dia mengirimkan kura-kura madagaskar Astrochelys radiata yang kaki-kakinya direkatkan ke dalam tempurungnya, dibungkus dengan kaus kaki hitam dan dikemas di bagian paling bawah dalam paket kiriman reptil legal.
!break!
Morrison mengagumi ketangkasan Anson. Dia dapat mengatur penjualan kura-kura dari Peru tanpa pernah menyentuh satwa itu. Dia mempekerjakan pemburu gelap untuk membunuh satwa di suaka margasatwa di Selandia Baru. Dia memiliki bisnis satwa di Vietnam dan dia membanggakan kesanggupan untuk melaksanakan transaksinya dengan menggunakan otot para preman China.
Dalam jumlah besar, dia memanfaatkan kelonggaran CITES perihal penangkaran dan mengklaim bahwa satwa liar yang diekspornya adalah hasil penangkaran. Dalam salah satu tipu dayanya, Anson mengirimkan sejumlah besar kura-kura matahari india Geochelone elegans atau Testudo elegans melalui Dubai dan mengklaim bahwa satwa itu ditangkar di sana. Saat penyelidik memeriksa fasilitas penangkaran itu, yang ditemukan hanyalah sebuah toko bunga.
Anson meyakinkan Morrison bahwa mereka tidak perlu takut kepada pihak berwenang di Malaysia. Penyelundupan satwa di Malaysia diawasi oleh pabean serta Perlindungan Hidup-an Liar dan Taman Negara atau Perhilitan.
Suatu saat, Anson menawari Morrison 20 ekor ular sanca timor (Python timorensis) seharga 150 juta rupiah. Morrison mengatakan dia berminat, tetapi khawatir ular-ular itu tidak memiliki surat-surat CITES. “Surat-suratnya pasti ada,” kata Anson. “Akan kuatur kambing hitamnya agar dia ditangkap. Lalu ular akan disita dan dijual kepadaku oleh Perhilitan.”
!break!
Kemudian, Anson menawari Morrison cula badak sumatra dan badak jawa, keduanya satwa terlarang dalam Apendiks I. Dia juga bisa mendapatkan aneka burung yang luar biasa, termasuk curik bali yang populasinya di alam diperkirakan kurang dari 150 ekor. Dia membanggakan macaw spix (Cyanopsitta spixii), burung yang diyakini sudah punah di alam dan mengklaim belum lama ini dia menjual tiga ekor. Harga seekor macaw spix di pasar gelap bisa mencapai satu miliar rupiah. Daftar panjangnya mencantumkan satwa langka ilegal yang mencengangkan, mencakup kulit panda dan macan tutul salju.
Menganggap Anson Wong sebagai penyelundup reptil saja merupakan kesalahan besar dan itu yang menyebabkan dia berkiprah di seluruh dunia dengan bebas. “Aku bisa mendapatkan apa saja di sini dari mana saja,” kata Anson dalam suratnya kepada Morrison. “Semuanya hanya tergantung pada seberapa besar bayaran orang-orang tertentu. Katakan saja apa yang Anda inginkan, akan kupertimbangkan risikonya, lalu aku akan memberitahu Anda seberapa besar dana yang harus Anda sediakan.
“Aku tidak bisa disentuh,” kata Anson menyombongkan diri. “Aku bisa saja menjual panda—dan tidak terjadi apa-apa. Selama aku berada di sini, aku pasti aman.”
Akhirnya lima tahun kemudian dan setelah menghabiskan dana lima miliar rupiah untuk perdagangan ilegal, Morrison siap melabrak Benteng Malaysia, nama yang dia ciptakan untuk menjuluki markas Anson. Dia menawarkan kemitraan baru antara dirinya dengan Anson untuk membentuk semacam perusahaan yang mengkhususkan diri pada satwa paling langka di planet ini. “Satwa paling mahal yang sulit didapatkan,” jawab Anson. “Aku selalu menempatkan diri pada posisi itu sehingga orang akan menawarkan barangnya kepadaku terlebih dahulu sebelum menawarkannya ke pihak lain.” Dia menerima tawaran kemitraan itu.
!break!
“Tapi, ingat,” begitu katanya secara tertulis kepada Morrison, “Aku tidak mau menjualnya langsung—terlalu berbahaya.” Alih-alih, dia akan menggunakan perantara.
Morrison berkata bahwa dia juga punya mitra, tetapi mitra wanitanya itu tidak mau bekerja sama dengan Anson sebelum bertemu muka langsung. Anson enggan bertemu. Karena ada perintah penangkapan dirinya, dia tidak bisa memasuki wilayah AS, begitu kata Anson kepada Morrison. Dia juga curiga bahwa dirinya bisa saja ditangkap di Kanada.
“Kita bisa bertemu di mana saja di kawasan Asia,” Anson menulis lagi. Argentina, Afrika Selatan, Peru, Prancis, dan Inggris juga boleh. “Aku tidak mau bertemu di Selandia Baru,” dia menegaskan, “ataupun Australia.”
Mereka sepakat untuk bertemu di Meksiko.
!break!
PHOENIX DARI MALAYSIA
Dengan penangkapan Anson Wong pada September 1998, US Fish and Wildlife Service berhasil menyelesaikan tugasnya, tetapi boleh dikatakan kalah perang. “Kami memusatkan perhatian hanya pada satu klimaks,” kata George Morrison kepadaku. Karena lelah, Morrison meninggalkan kerja penyamarannya yang purnawaktu. Rick Leach, penyelia kelompok itu, pensiun, dan tidak lama kemudian, walaupun masih ada, Operasi Khusus itu berhenti beroperasi.
Lima tahun kemudian pada 10 November 2003, Anson dibebaskan. Wartawan berbondong-bondong datang ke Malaysia. Dia menolak berbicara kepada pers.
Pada saat itu, Malaysia terlibat dalam kemelut skandal penyelundupan yang melibatkan gorila dataran rendah, spesies yang terancam punah. Para pedagang gelap menggunakan Kebun Zoologi Universitas Ibadan di Nigeria sebagai tameng untuk menyelundupkan empat bayi gorila yang ditangkap di hutan Kamerun ke Kebun Binatang Taiping di Malaysia. Insiden Taiping Four ini mengobarkan amarah internasional. Di tengah suasana yang hiruk-pikuk itu, Anson duduk di depan komputernya dan mengetikkan sebaris pesan di Vorras.net, sebuah papan pesan (message board) komersial yang sering dikunjungi pedagang satwa: “kami butuh kera nigeria. Silakan kirim harga CnF (pembelian dan pengapalan ke) Malaysia.”
Anson sudah kembali berbisnis.
!break!
Pada kenyataannya, Anson memang tidak pernah berhenti. Selama dipenjara, Cheah Bing Shee melanjutkan kegiatan operasionalnya. Sekarang Anson mulai sering menggunakan papan pesan, mencari reptil dari India, Madagaskar, dan Sudan; serangga dari Mozambik; dan tanduk domba “10 ton satu bulan”. Dia menawarkan menjual sederetan satwa liar, termasuk rep-til Malaysia, curik bali, kakatua, dan kayu gaharu yang keharumannya diberi nilai setara dengan lima miliar rupiah. Untuk menanggapi permintaan akan burung atau mamalia yang sudah mati, dia menjawab, “Kami selalu memiliki spesimennya.”
Hal yang mula-mula menyebabkan ketertarikanku pada Anson adalah komentar sembrono yang dilontarkan Mike Van Nostrand, pemilik Strictly Reptiles di Florida Selatan, salah satu grosir terbesar di dunia yang melakukan kegiatan impor-ekspor reptil, sekaligus salah satu pelanggan terbesar Anson. Waktu itu aku sedang menulis buku tentang masa lalu Van Nostrand sebagai penyelundup reptil. “Dua minggu setelah dia keluar dari penjara,” begitu Van Nostrand bercerita pada musim panas 2004, “Anson menawariku sesuatu yang seharusnya tidak boleh dia tawarkan.” Yang ditawarkannya adalah biawak abu-abu (Varanus olivaceus), kadal pemakan buah asal Filipina yang diduga sudah punah sebelum akhir 1970-an dan ini adalah salah satu satwa yang menyebabkan Anson dipenjara karena penyelundupan.
Pada September 2006 aku menyewa apar-temen di Florida Selatan dan bekerja di Strictly Reptiles. Aku menghabiskan tiga bulan di gu-dang: menyapu, mem-bersihkan kandang ular, dan membongkar peti kemas berisi reptil—ter-masuk peti kemas dari Anson—be-ker-ja begitu rupa untuk pada akhirnya bisa meng-ajukan pertanyaan kepada Van Nostrand: “Ber-sediakah Anda memperkenalkan saya?” Be-berapa hari sebelum masa sewa apartemenku habis, kuajukan pertanyaan itu. “Boleh,” jawab-nya. “Anson pasti akan mau berbicara dengan-mu. Dia senang berbicara tentang dirinya sendiri.”
DI DALAM BENTENG
Di Pulau Tikus yang trendi di Penang, Sungai Rusa Wildlife dapat dengan mudah disalahartikan sebagai salon penata rambut. Kantornya tidak lebih luas daripada garasi dan tidak ada papan pengenal, hanya merupakan salah satu dari sekian banyak unit di sepanjang deretan toko eceran sepi. Saat aku melangkah masuk pada 2 Maret 2007, terparkir sebuah mobil BMW hitam dan mobil van pengantar barang tidak berjendela yang bertuliskan alamat pe-nangkaran reptil Anson di Penang.
!break!
Anson menjabat tanganku dengan genggaman yang sangat kuat sebelum kemudian melepaskannya. Dia mengajakku masuk melewati tumpukan tarantula hidup dalam sejumlah mangkuk, berkas yang berserakan, dan peti pengiriman yang dialamatkan ke kantornya, sebuah ruangan tak berjendela yang sesak. Meski dia mengiklankan perusahaannya di internet sebagai perusahaan dengan omzet penjualan “500 miliar hingga 1 triliun rupiah” setahun, barang paling modern di ruangan itu hanyalah sebuah ponsel di atas meja.
Setelah aku duduk, Anson menunjuk tiga foto berlaminasi plastik yang direkatkan ke pintu kantornya. “Istriku menempelkannya di situ untuk mengingatkanku agar bertanya kepada diri sendiri apakah semua ini sepadan,” katanya. “Luar biasa ‘kan?”
Foto itu adalah foto kura-kura matahari india (Geochelone elegans atau Testudo elegans) yang dulu diselundupkannya. Setiap halaman distempel oleh pengadilan federal Northern District of California. Foto-foto itu mungkin saja menjadi pengingat bagi Anson dari istrinya, tetapi juga peringatan bagi setiap orang yang melangkah melalui pintu kantornya: bahwa Aku, Anson Wong, sudah pernah menjalani persidangan legal paling keras di dunia, tetapi aku masih tetap di sini.
Jangan terkecoh wajahnya yang kekanakan. Dia berkacamata bundar besar dan rambutnya yang beruban dikucir seperti ekor kuda. Pada usia 49 tahun, wajahnya tampak seperti tidak pernah mengenal stres. Dia menampilkan kesan seperti seniman sukses, mungkin pematung, dan berbicara dengan cengkok Inggris yang merdu dalam bahasa Inggris yang lancar. Di belakang kepalanya tampak sebuah peta dunia. Di dalam kandang di belakangku ada ular sanca kembang (Python reticulatus) sedang tidur, ular sanca terpanjang di dunia.
!break!
Anson bercerita bahwa dia mulai menekuni perdagangan satwa liar ini pada 1980-an di sebuah perusahaan bernama Exotic Skins and Alives. Waktu itu, katanya, Malaysia memberikan perlindungan hukum hanya bagi satwa liar asli Malaysia sehingga dia bisa dengan bebas memperdagangkan spesies yang terancam punah dari seluruh pelosok dunia. Anson tersenyum. “Satwa apapun,” katanya.
Kuceritakan bahwa aku sedang menulis buku tentang pelanggannya di AS, Mike Van Nostrand yang juga bermain kucing-kucingan dengan US Fish and Wildlife Service “Anda pemain utama di Asia,” kataku. “Mike bercerita bahwa kalau bukan karena Anson Wong, tidak akan ada industri reptil di Amerika Serikat.”
Anson menyebutkan pedagang lain yang menjadi saingannya di Indonesia dan satu lagi di Madagaskar. Kemudian, dia tertawa dan menggelengkan kepalanya. “Yah, kurasa tidak banyak yang berkiprah dalam kegiatan ini.”
Satwa liar merupakan bagian terpadu dalam setiap perekonomian negara Asia, begitu kataku, dan aku tertarik pada garis antara manusia dan alam. “Ahhh,” katanya. Anson mengangkat tangannya dan mempertemukan kedua tinjunya. “Selalu berbenturan.”
!break!
KEJUTAN MASA DEPAN
“Aku sedang membangun kebun binatang lagi,” katanya sambil menunjuk dokumen setebal 30 halaman di atas mejanya yang berjudul “Anson Wong, Desa Flora and Fauna.” “Rencananya sudah disetujui kemarin.” Kubuka-buka lembaran gambar arsitektur itu.
Mitra Anson adalah istrinya dan Michael Ooi, pedagang anggrek yang terkenal di dunia internasional. Selama bertahun-tahun suami-istri Wong dan Michael Ooi mengelola kebun binatang di Penang, bernama Bukit Jambul Orchid & Hibiscus Garden and Reptile House.
Kebun binatang adalah tameng yang bagus. Penyelundup yang mengelola kebun binatang bisa memindahkan spesies terancam punah dengan surat-surat CITES dan kebun binatang bisa menggunakan program penangkarannya untuk menjelaskan saat ada satwa baru tiba. CITES biasanya tidak memantau apa yang terjadi pada satwa setelah kebun binatang mengimpornya: Gorila dataran rendah bisa dijual di dalam negeri atau jika mati (atau dibunuh), bisa dipotong-potong untuk diambil daging atau bagian tubuhnya, bahkan diawetkan dengan menjejalkan kapas ke tubuhnya.
Anson bercerita bahwa kebun binatangnya akan jauh lebih bagus daripada Bukit Jambul. Dia masih tetap menampilkan reptil dan akan menetapkan ongkos masuk yang murah bagi pengunjung, tetapi kali ini dia berharap dapat meraup banyak uang. Dia punya fokus baru: kucing besar. “Aku sangat suka harimau,” katanya. “Penangkaran,” Anson tersenyum, “itulah masa depan.”
!break!
Aku menoleh dengan sangat terkejut. Harimau nyaris punah di alam liar dan hanya tersisa 4.000 ekor. Sekarang, Anson Wong berencana mengkhususkan diri pada harimau.
Permintaan harimau di pasar gelap cukup tinggi. Warga Tibet mengenakan jubah dari kulit harimau; para kolektor kaya memajang kepala harimau; restoran eksotis menjual dagingnya; penisnya konon berkhasiat meningkatkan gairah seks; dan orang China menginginkan tulangnya untuk memulihkan kesehatan, termasuk arak tulang harimau, ibarat “sup ayam” dalam obat China. Para pakar memperkirakan harga di pasar gelap untuk harimau jantan dewasa yang sudah mati bisa mencapai 100 juta rupiah atau lebih. Di beberapa negara Asia, tujuan wisata berupa taman harimau secara rahasia disamarkan sebagai penangkaran harimau—membantai harimau peliharaan untuk dipanen bagian tubuhnya sekaligus menyediakan potensi pasar bagi para pemburu gelap harimau liar.
Anson memiliki riwayat kelam menyangkut kucing besar. Selama berlangsungnya Operasi Bunglon, dia meminta bantuan Morrison agar harimau peliharaannya dijual sebagai trofi (kepalanya dijadikan hiasan). Dia menawarkan untuk menyelundupkan puma (Puma concolor) keluar dari AS, dan kepada Morrison dia ingin menjual luwak (Pardofelis marmorata), satwa dalam Apendiks I. Setelah keluar dari penjara, anak-anak harimau miliknya dijajakan di toko hewan peliharaan di Kuala Lumpur.
Dia mengamati tas yang kusandang di bahu. “George Morrison merekam semuanya,” katanya, lalu berdiri. “Aku sibuk,” katanya.
Dia mengantarkanku ke pintu. “Kalau sudah selesai bukunya, kita bisa mengobrol tentang kisahku,” katanya.
!break!
Saat itulah aku melakukan kesalahan. Kukatakan kepadanya bahwa aku pernah menulis artikel yang mengungkapkan per-janjian yang meragukan antara pemerintah AS dan pedagang koin Inggris untuk menjual koin yang paling berharga di dunia—dan yang juga merupakan barang curian—serta membagi dua keuntungannya. Biasanya, menceritakan kepada mantan narapidana bahwa kita pernah mempermalukan pemerintah bisa dipastikan akan mempererat hubungan. Namun, untuk sesaat aku melupakan premis Operasi Bunglon: Anson dan pemerintahnya berteman baik.
Anson menatapku. “Jadi, Anda wartawan,” katanya, dan langsung menjadi kaku.
Tampaknya dia keliru dan mengira aku seorang penulis biografi. Aku mulai menyusun jawaban, tetapi dengan cepat dia menyela. “Wartawan yang mengungkapkan sesuatu yang oleh orang lain tidak ingin diungkapkan bisa menjadi korban pembunuhan,” katanya dengan suara yang sangat tenang.
KECIL-KECIL CABai RAWIT
Pada suatu siang di akhir Desember 2007, Mercedes-Benz hitam milik Anson berhenti di Bandara Internasional Penang untuk menjemput dua orang pejabat tinggi penegak hukum urusan satwa liar Malaysia, Direktur Divisi Penegakan Hukum Perhilitan, Sivananthan Elagupillay, dan atasannya, Wakil Direktur Jenderal Misliah Mohamad Basir untuk suatu konferensi pers me-resmikan pembukaan Desa Flora dan Fauna yang sekarang merupakan sebuah usaha patungan antara departemen kehutanan Penang dan perusahaan Anson Wong dan Michael Ooi. Kawasan ini berupa kebun binatang seluas dua hektare yang membentuk Suaka Hutan Teluk Bahang. Untuk membantu pembiayaannya, pemerintah negara bagian Penang menyumbang 700.000 ringgit (sekitar 2 miliar rupiah). Sebuah foto di koran Malaysia The Star menunjukkan para pejabat pemerintah sedang menginspeksi kandang harimau baru di kebun binatang itu.
!break!
“Harga karcis masuk akan sangat terjangkau karena tujuan kami mendirikan desa ini juga untuk membantu pelestarian satwa terancam punah,” kata Ooi kepada para wartawan.
Anson sudah lama menyombongkan pengaruhnya atas pemerintah. Sekarang dia mendapatkan dukungan terbuka dari pemerintahan Penang dan departemen urusan satwa liar Malaysia. Kehadiran Misliah sungguh ironis. Pada masa Operasi Bunglon masih berkiprah, Misliah adalah pejabat urusan satwa liar yang bertugas di Penang. Pejabat wanita ini menandatangani izin CITES untuk Anson. Dalam kurun waktu empat tahun ketika Anson dipenjara, Misliah naik pangkat menjadi direktur divisi penegakan hukum Perhilitan, dan pada 2007 dia sudah menduduki posisi kedua di departemennya.
“Dia teman baikku,” Misliah tertawa sambil duduk di balik meja di kantornya yang luas di kantor pusat Perhilitan. Dia seorang wanita kecil berperawakan gemuk. Suaranya adalah suara paling merdu yang pernah kudengar.
“Anda tentu tahu,” kataku, “Aku orang Amerika. Dan kalau sudah berbicara tentang Malaysia dan satwa liar, yang kami dengar di AS hanyalah satu cerita.”
“Cerita apa?” dia bertanya dengan ramah.
Aku tersenyum. “Anson Wong.”
Misliah terkikik. Dia sudah bekerja di Perhilitan pada awal 1980-an, kira-kira pada waktu yang sama saat Anson memulai bisnis reptilnya dan bertugas di Penang dalam sebagian besar masa kariernya. “Lebih dari sepuluh tahun aku memeriksa barang kirimannya,” katanya.
Misliah mengaku tidak tahu apa-apa tentang reptil ketika mulai bekerja di situ, tetapi sekarang dia sudah tahu banyak hal. “Segala sesuatu yang kuketahui tentang reptil kupelajari karena aku membuka peti kemas Anson.”
“Dia sangat pintar,” kata Misliah lagi, menjelaskan bahwa Anson melakukan semua transaksi lewat telepon. “Di Malaysia, kita harus menangkap basah orang bersama satwanya. Tidak seperti di AS yang memiliki Lacey Act,” katanya dengan nada meremehkan.
!break!
Lacey Act menetapkan, pelanggaran undang-undang satwa liar juga undang-undang yang berlaku di negara lain tergolong sebagai kejahatan federal dan penyelundup satwa liar tidak harus tertangkap basah dengan satwanya untuk menghadapi tuntutan pidana dengan hukuman berat. Misliah menganggap hukuman yang dijatuhkan kepada Anson berdasarkan Lacey Act tidak sah dan secara terbuka menuduh US Fish and Wildlife Service menjebaknya.
“Katanya dia punya komodo, tetapi dia tidak pernah menangani sendiri satwanya—di mana-mana dia punya orang yang mengurus satwanya,” kata Misliah. “Ketika dia dipenjara, Anson menulis surat kepadaku. Dia menyuap agar mendapat perlakuan lebih baik. Mereka memperlakukannya seperti seorang raja!” Misliah menjelaskan bahwa bisnis Anson terpuruk ketika dia dipenjara dan istrinya yang mengurus bisnisnya. “Namun,” katanya lagi, “sekarang sudah maju lagi.”
Pejabat penegak hukum urusan satwa liar Malaysia yang menempati posisi kedua membicarakan pedagang ilegal warga negaranya yang paling dikenal kebusukannya seperti orang yang justru mengaguminya. “Orang bertanya, ‘Mengapa Anda memberinya izin?’” Misliah tersenyum. “Dia memang anak bengal, tetapi kalau kami tidak memberinya izin, dia pasti akan tetap melakukannya juga.” Dengan cara ini, katanya, mereka dapat mengawasinya.
Sampai sekarang Misliah menjamin Anson. “Anson Wong menjalankan bisnisnya secara legal dan mematuhi kebutuhan dan persyaratan undang-undang dalam negeri. Dia dan bisnisnya di semenanjung Malaysia diawasi secara ketat oleh departemen ini,” begitu penegasan kantornya dalam pernyataan tertulis kepada pers pada tahun 2008. Misliah juga mendukung peraturan yang melegalkan penangkaran harimau dan empedu beruang. “Mengapa tidak?” tanyanya kepadaku.
!break!
Misliah Mohamad Basir yang begitu rendah hati, tampak ramah, adalah salah satu pengambil keputusan di bidang satwa liar paling berkuasa di dunia. Di bawah pengelolaannya, Malaysia menjadi pusat perdagangan tingkat dunia.
Aku terus membayangkan betapa menyenangkannya penampilan wanita ini. “Bukankah Misliah itu wanita mungil paling manis yang pernah Anda kenal?” tanyaku kepada seorang pejabat senior Perhilitan.Pejabat itu menatapku sejenak, mengawasiku, lalu tersenyum. “Di Perhilitan, kami men-juluki-nya: kecil-kecil cabai rawit.”Satpam yang di dekat kami mengangguk.“Cabai rawit terkecil memang paling pedas.”
DICARI: SHERIFF
Misliah pernah menyebut seorang yang dianggapnya musuh bernama Chris Shepherd, penyelidik berani yang memberi perhatian pada kegiatan perdagangan satwa liar di pasar gelap di seluruh Asia Tenggara. “Katanya negara kami hanya negara transit,” Misliah berkata kepadaku dengan nada yang jelas mencemooh. “Katanya kami tidak melakukan apa-apa untuk menghentikan penyelundupan.”
Shepherd, seorang warga Kanada, bekerja di TRAFFIC yang merupakan kepanjangan tangan WWF dan IUCN dalam memantau perdagangan. Kantor pusatnya di Cambridge, Inggris, sementara kantor cabangnya tersebar di seluruh dunia. Penyelidik TRAFFIC memantau tindak kejahatan dan meneruskan hasil temuannya kepada badan penegak hukum di negara tempat kejahatan terjadi.
!break!
Shepherd adalah kepala penyelidik di kantor pusat Asia Tenggara di Petaling Jaya, Malaysia. Selama sepuluh tahun terakhir dia menerbitkan banyak sekali laporan mencakup perdagangan gelap. Dia dipandang sebagai penyelidik terbaik di kawasan ini. Laporannya sangat bermanfaat bagi pakar pelestari-an satwa dan penegak hukum seluruh dunia.
Saat menemui Shepherd dan bertanya apakah aku boleh melihat berkas yang dimilikinya tentang Anson Wong, dia menatapku dengan tatapan kosong. Dia membuka sebuah lemari kabinet, lalu mengeluarkan map tipis dari laci setengah kosong. Setelah membaca sekilas beberapa halaman, dia menggelengkan kepala.
Tidak ada seorang pun penyelidik LSM yang kutemui di Asia Tenggara termasuk Shepherd yang pernah bertemu langsung dengan Anson Wong. Berkali-kali aku bertemu dengan pakar yang penuh semangat mengajakku menyaksikan aneka macam kekejaman: anak beruang di Vietnam dibenamkan dalam air mendidih untuk mempertegas “kekuatan hidup” dalam sup cakar beruang, orangutan yang dirantai di halaman belakang rumah para jenderal Indonesia, burung terancam punah dijual terang-terangan di pasar Asia. Namun, saat kutanyakan apa hubungan antara hal-hal yang kusaksikan itu dengan organisasi kejahatan, tidak seorang pun bisa mengajukan contoh sindikat yang terstruktur.
Pada 2008, TRAFFIC menerbitkan laporan perdagangan bagian tubuh harimau sumatra dan mendesak pemerintah Indonesia mem-perketat penegakan hukum. Hasilnya, Indonesia membekukan TRAFFIC, tindakan yang setara dengan pengusiran. Tonny Soehartono, pejabat bagian konservasi di Departemen Kehutanan, menjelaskan alasan pembekuan tersebut: “TRAFFIC menyerang negaraku.”
!break!
TRAFFIC sendiri hanya punya tiga pe-nyelidik yang menangani Asia Tenggara dan hanya seratus staf di seluruh dunia. Sekretariat CITES mempekerjakan hanya satu pejabat penegak hukum. Interpol juga mempekerjakan satu orang untuk mengelola program kejahatan yang melibatkan satwa liar.
Misliah tidak suka Shepherd karena kecamannya dimuat di koran, tetapi berita di media bisa menarik perhatian hanya jika bercerita tentang satwa pujaan. Berita tidak akan menarik pembaca jika yang diberitakan hanyalah ikan napoleon, atau 14 ton kura-kura, biawak, dan trenggiling yang ditemukan terapung dalam kapal yang ditelantarkan di lepas pantai China.
Salah satu harapan yang dapat diandalkan mungkin sebuah organisasi regional baru—Association of Southeast Asian Nations’ Wildlife Enforcement Network (ASEAN-WEN) yang dibentuk empat tahun lalu, bertugas memadukan petugas pabean, pejabat urusan satwa liar, jaksa penuntut, dan polisi dari tiap negara anggota yang berjumlah sepuluh. Australia, Selandia Baru, dan AS juga terlibat, dan sebagian besar dananya disediakan oleh US Agency for International Development. Ini adalah testamen yang menunjukkan potensi ASEAN-WEN sehingga Anson Wong pun berlangganan buletin yang diterbitkan organisasi ini.
Bulan Agustus lalu, Misliah menanggapi tuduhan adanya hubungan tidak jujur antara departemen yang dipimpinnya dan Anson Wong: “Menurut Malaysia, dia mematuhi undang-undang setempat dan memiliki izin yang diperlukan,” katanya. “Apa yang dilakukannya di luar negeri bukanlah urusan kami.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR