Oleh Firman Firdaus
MENDUNG YANG MENGGANTUNG di langit Jakarta siang itu seperti membias di wajah Slamet. Lelaki berusia 42 tahun itu adalah pemilik sebuah perusahaan rumahan pembuat pakaian olahraga yang berlokasi di kawasan Pusat Industri Kecil di Pulogadung, Jakarta Timur. Ketika saya temui di “pabrik”-nya, Slamet sedang membuat goresan pola di atas sehelai kain berwarna merah. Mengenakan kaos singlet, senyumnya tipis menyambut saya.
!break!
“Waktu kejadian mati listrik beberapa waktu lalu, dalam satu hari saya rugi sekitar 1,5 juta,” ujarnya, sesaat setelah mengetahui bahwa saya ingin mendapat informasi soal kebutuhan listrik industri kecil seperti miliknya. Kerugian itu, Slamet menjelaskan, disebabkan oleh pelanggan yang kecewa dan pada akhirnya membatalkan pesanannya.
Selama kurang lebih 20 tahun mengelola usaha pembuatan pakaian jadi, Slamet mengakui kebutuhan energi listriknya terus membengkak dan menjadi kian vital. “Dulu cuma ada 1-2 mesin (jahit listrik), sekarang, lantaran banyaknya pesanan, sudah ada sepuluh karyawan dan penambahan mesin. Otomatis kebutuhan listriknya bertambah,” Slamet menjelaskan. Kondisi yang sama dialami oleh Dewi, 28 tahun, yang mengelola usaha pembuatan segala jenis tas. Meski tidak pernah benar-benar menghitung kerugian akibat padamnya listrik, Dewi mengutarakan bahwa kebutuhannya akan pasokan listrik semakin berkembang seiring bertumbuhnya bisnis tas miliknya.
DUA TAHUN LALU, nun di perbukitan Mundi, Desa Klumpu, di Pulau Nusa Penida, saya menyaksikan lima buah menara kincir angin berdiri tegak. Namun, empat di antaranya terlihat tidak berputar sama sekali. Satu kincir, yang berputar, pun lamat-lamat lalu berhenti. Seorang teknisi kemudian memanjat menara kincir setinggi kira-kira 30 meter, seperti hendak melakukan sesuatu.
Setelah turun, saya tanyakan kenapa semua kincir angin berhenti. Dia tidak tahu. Yang dia tahu, ketika berhenti berputar, putaran baling-baling berdiameter 18 meter itu mesti dipancing dengan menggunakan energi listrik dari mesin diesel yang dipasok PLN.
Kincir angin tersebut merupakan bagian dari proyek “Renewable Energy Park” atau Taman Energi Terbarukan (TET) yang dicanangkan pemerintah sekitar empat tahun lalu. Selain kincir angin yang masing-masing diproyeksikan menghasilkan 80 kWh dan menghemat 5.000 liter solar per bulan, juga ditanam perkebunan jarak pagar (Jatropha curcas) di atas lahan seluas 22 hektare. Bukan itu saja, di bukit Mundi juga dibangun rangkaian panel surya untuk pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dengan kapasitas pembangkit 32 kWh.
Bagaimana hasilnya?
“Hingga kini kincir angin itu tidak pernah berputar," ujar I Made Sudi Arta Jaya, Camat Nusa Penida. Menurut Made, sejak dicanangkan TET di wilayahnya, tidak ada langkah yang serius untuk menindaklanjutinya. “Yang jelas masyarakat belum merasakan dampaknya sama sekali. Minyak jarak juga tidak ada yang membeli di sini, lebih baik lahannya dibuat untuk menanam yang lain saja,” tukas Made.
***
Apa yang dialami Slamet, Dewi, atau Made di Bali merupakan potret bagaimana pengelolaan energi kita sekaligus menunjukkan bahwa bagi sektor riil, ketersediaan energi listrik merupakan salah satu faktor kunci untuk bertumbuh.
Namun, di tengah realitas terkini itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajukan tantangan: Indonesia mesti bisa mengurangi emisi karbon sebesar 26 persen, dihitung dari keadaan business as usual (BAU) dalam kurun waktu sepuluh tahun ke depan.
SBY melontarkan tantangan tersebut tiga kali. Pertama dalam pertemuan para pemimpin G-20 pada 25 September 2009 di Pittsburgh, Amerika Serikat. Dalam pidatonya tersebut, presiden bahkan mengatakan mampu mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) hingga 41 persen jika mendapat bantuan internasional. Presiden kembali melontarkan janji serupa di Brussel, dan kemudian terakhir dalam Konferensi para Pihak (CoP) ke-15 di Kopenhagen, Denmark, Desember lalu.
Dari mana angka tersebut bisa muncul?
!break!
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR