Namun, sepertinya Hukum White bukan tidak bisa disiasati. Menurut Widodo Wahyu Purwanto, pakar energi dari Universitas Indonesia, pertumbuhan ekonomi tetap bisa tumbuh sementara kebutuhan energi juga terus terpenuhi, namun emisi tetap ditekan. “Syaratnya, harus ada penurunan intensitas karbon secara gradual.”
Intensitas karbon yang dimaksud Widodo adalah emisi yang dihasilkan per satuan energi yang diperlukan. Dengan kata lain, dengan cara menggunakan sumber-sumber energi alternatif yang rendah emisi atau sumber energi terbarukan. Akan tetapi, itu saja tidak cukup. “Harus ada upaya-upaya yang signifikan untuk melakukan penghematan, konservasi, dan efisiensi energi, serta perubahan perilaku dan gaya hidup,” jelas Widodo.
Namun, Widodo melanjutkan, terkait konversi energi ke energi alternatif, pekerjaan rumah yang dinilai berat adalah bagaimana menentukan skema tarif (pricing), insentif, dan kebijakan-kebijakan fiskal lainnya. “Dalam kondisi bahan bakar konvensional masih disubsidi dengan harga masih di bawah harga keekonomiannya, peralihan ke bahan bakar alternatif akan sulit,” ujarnya. Orang masih akan terus mencari bahan bakar yang lebih murah.
Menyinggung soal apakah target 26 persen itu terkesan terlalu ambisius atau tidak, Widodo tidak mau gegabah untuk menyimpulkan. “Sebagai ilmuwan, saya mesti melihat asumsi-asumsi yang digunakan dalam penentuan target itu. Jika dikatakan baseline-nya adalah keadaan business as usual, ya mesti jelas dulu penentuan emisi saat BAU itu menggunakan asumsi yang seperti apa, dan datanya dari mana,” papar profesor yang sempat menjadi Ketua Pengkajian Energi Universitas Indonesia itu. Jika asumsinya valid, tambah Widodo, sah-sah saja.
“Persoalannya, negara kita ini paling lemah kalau ditanya soal data. Padahal, kebijakan yang baik mesti datang dari data yang baik pula,” ucapnya. Satu hal yang juga mesti diingat adalah soal kesungguhan. “Lha, memitigasi bencana lokal seperti banjir saja tidak pernah kelar,” seloroh Widodo.
Nada optimistis terucap dari mulut Agus Purnomo. Menurutnya, kita tidak perlu terlalu memikirkan soal energi. “Sumber emisi kita paling besar dari sektor kehutanan kok, sekitar 75 persen. Tanpa menyentuh soal energi pun kita tetap punya peluang besar untuk reduksi emisi 26 persen, bahkan lebih,” katanya.
!break!
Yang perlu dipikirkan, Agus menjelaskan, adalah bagaimana kita mencegah bahaya kebakaran hutan yang rutin terjadi. Lalu, mencegah deforestasi akibat pencurian kayu, dan konversi lahan yang meliputi kejahatan seperti berpura-pura bikin kebun namun tujuannya hanya mengambil kayunya, dan menekan alih fungsi lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. “Produktivitas sawit sebenarnya masih bisa ditingkatkan tanpa membuka lahan baru, melainkan melalui proses pengayaan bibit dan perbaikan cara pemeliharaan.”
Agus mengakui, ada berbagai kendala soal implementasi. Soal lahan gambut, misalnya, tidak jelas siapa yang mesti mengelola. “Untuk gambut yang ada di area hutan memang wewenang Kementerian Kehutanan, itupun mereka hanya mengurus pohonnya. Sementara kalau gambut di luar area hutan belum jelas.”
Meskipun sepakat dengan Agus bahwa masalah utama emisi kita berasal dari penggunaan lahan, alih-guna lahan, dan kehutanan (LULUCF), pakar meteorologi hutan dari Center for International Forestry Research (CIFOR) Daniel Murdiyarso, belum berani menilai soal target 26 persen yang dicanangkan pemerintah. “Sebelum saya menjawab apakah target itu realistis, kita perlu tahu juga apa dasar atau alasan hingga sampai pada angka itu. Siapa yang tahu? Bagaimana menghitungnya?”
Daniel juga mengingatkan bahwa kita tidak mempunyai obligasi atau tanggungjawab menurunkan emisi. Jadi, seandainya target itu akan dicapai secara sukarela, menurut Daniel kita juga harus puas kalau ketemu pembeli di pasar sukarela. “Ibaratnya seperti orang kaya menawar jambu biji di pinggir jalan dari dalam mobil Mercy-nya—belum tentu beli tapi cerewet banget. Atau, beli murah tapi setelah sampai rumah dilempar ke tempat sampah,” ujar Daniel.
Fitrian Ardiansyah, Direktur Program Iklim dan Energi WWF Indonesia, berpendapat agak riskan menyepelekan sektor energi. “Dengan rencana pemerintah menggenjot ekonomi dan kesejahteraan, di antaranya berupa dua fase pembangunan pembangkit listrik masing-masing 10.000 megawatt yang masih didominasi batu bara, emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor energi menjadi sangat signifikan nantinya,” katanya.
Saat ini, data dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa kebutuhan energi kita berkembang lebih pesat dibandingkan dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk. Mulai 1990 sampai 2006, laju rata-rata pertumbuhan konsumsi energi (di luar biomassa) adalah sekitar 5,5% dan sebagian besar dipasok oleh bahan bakar fosil. Akibatnya, laju peningkatan emisi GRK, terutama CO2, dari 1990 ke 1997 adalah sekitar tujuh persen per tahun. “Jadi, jika mau mengembangkan low carbon economy, sekarang adalah waktu yang tepat untuk memikirkan soal energi,” tukas Fitrian.
!break!
Terhadap setiap target-target reduksi emisi, Fitrian mencoba berpikir lebih positif. “Bagaimanapun, kita mesti memiliki aspirasi dan cita-cita untuk mengurangi emisi. Toh pada kenyataannya, inisiatif kita betul-betul memicu China dan India untuk ikut berkomitmen,” ujarnya. Fitrian menambahkan, angka-angka target itu bisa menjadi langkah awal untuk proses-proses ke depan yang sebenarnya positif, seperti desakan untuk mengembangkan energi terbarukan, efisiensi pembangkit listrik, atau memelihara hutan. “Itu hal yang bagus kan?” Dengan kata lain, ada peluang untuk melangsungkan proses pembangunan ke arah yang lebih sustainable (berkelanjutan).
Pertanyaan-pertanyaan seputar kebijakan fiskal sebagaimana yang disampaikan oleh Widodo pun sepertinya mulai mendapat perhatian yang lebih serius dengan diterbitkannya “Green Paper” oleh Kementerian Keuangan belum lama ini. Ini dinilai sebagai terobosan karena “Selama ini Kemenkeu tidak pernah leading soal mitigasi perubahan iklim,” ujar Fitrian lagi.
Green Paper berisi kebijakan dan strategi fiskal jangka panjang dari Kementerian Keuangan yang bermitra dengan Australia untuk menanggulangi perubahan iklim di Indonesia. Ada beberapa aspek kunci yang disebut dalam Green Paper yang membuat peta jalan mitigasi perubahan iklim dari sisi ekonomi menjadi lebih jernih.
Dari sektor energi, akan diterapkan pajak karbon dan tarif karbon bagi kegiatan pembakaran bahan bakar fosil, disertai pengurangan subsidi secara bertahap. Di sisi lain, akan ada insentif bagi usaha efisiensi energi dan penggunaan teknologi yang bersifat rendah karbon. Dengan begitu diharapkan akan terjadi pergeseran aktivitas ekonomi dan industri dari emisi tinggi ke emisi rendah.
Sementara dari sektor kehutanan, pemerintah akan mendukung dan memberi insentif bagi usaha pengurangan emisi karbon oleh pemerintah daerah. Yang tidak kalah krusial adalah pembenahan kelembagaan dan reformasi institusional.
Meski sebagian besar langkah tersebut sudah kerap kita dengar dalam diskusi-diskusi, keputusan dari Kementerian Keuangan untuk membuatnya menjadi kebijakan formal bisa jadi titik terang bagi upaya penanggulangan perubahan iklim tanpa perlu khawatir terhadap risiko pertumbuhan ekonomi. Persoalannya tinggal bagaimana mewujudkan apa yang tertulis indah di atas kertas melalui persiapan kelembagaan dan—terutama—kemauan politik setiap pihak yang terlibat. Dengan begitu, target 26 persen dari Presiden tidak berakhir sebagai mimpi di siang bolong.
*Artikel ini hanya dimuat di NGI Online.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR