Tim mendirikan kemah di teras batu yang lebar, sekitar 250 meter di bawah bibir kawah, sekitar seratus meter di atas danau yang bergemuruh. Teras itu diselimuti debu tebal yang disebut tephra, dan dipenuhi bercak tetesan kaca gunung api dan untaian lava rapuh yang dikenal dengan nama rambut Pele.
Setiap hari danau lava itu melepaskan sekitar 6.300 ton kubik sulfur dioksida, unsur utama dalam hujan asam. Jumlah ini melebihi jumlah total dari semua mobil dan pabrik di seluruh Amerika Serikat. “Ibarat sebuah cerobong asap raksasa,” ujar Tedesco. Lingkungannya sangat berbahaya, udaranya penuh dengan asam dan partikel logam halus. Tetesan hujan mendesis saat mendarat di fumarol. Topeng gas harus digunakan. Dalam waktu beberapa hari saja, tarikan ritssluiting sudah berkarat; lensa kamera mulai rusak. Sims membagikan permen obat tenggorokan.
Di teras batu ini, Tedesco dan Sims mulai bekerja dengan menggunakan laboratorium lapangan yang mereka bawa. Kotak berbantalan biru menyimpan alat yang oleh Tedesco disebut “pengendus gas” untuk mengukur karbon dioksida, karbon monoksida, dan metana. Alat RAD7 berukuran sebesar kotak sepatu dapat menguji radon. Pompa vakum, yang disimpan di dalam kotak peluru ternyata berkarat, akibat asap fumarol.
Mengapa gas harus diukur? Karena gunung api ibarat mesin bertenaga gas. Letusan sering didahului oleh meningkatnya jumlah gas yang dilepaskan dan oleh beragamnya susunan kimia.
!break!
Sims menggunakan “jam radioaktif” ini untuk meramalkan berbagai proses gunung api, mengukur dan membandingkan dua isotop radon. Dengan melacak nisbahnya terhadap waktu, dia dapat menentukan berapa lama waktu yang digunakan gas untuk mencapai permukaan, dan mendapatkan petunjuk tentang keadaan kimiawi, termal, dan mekanis bebatuan yang ditembus gas. Hanya penelitian jangka panjang sajalah yang dapat menentukan jenis fluktuasi gas mana yang mengharuskan orang untuk waspada dan mana yang merupakan daur normal gunung api. Sebelum para ilmuwan papan atas melakukan kunjungan yang lebih sering—hal terbaik yang bisa dilakukan hanyalah menjaga catatan yang akurat tentang setiap gerak-gerik Nyiragongo.
Tugas itu dibebankan kepada Goma Volcanological Observatory, yang berlokasi di sebuah gedung usang berlantai satu di pusat kota dan pegawainya bertugas 24 jam sehari. Katcho Karume, 44, direktur jendral observatorium itu, bergelar Ph.D. dalam bidang fisika lingkungan. “Seismologi adalah kegiatan utama kami,” katanya. Rentetan getaran, biasanya meskipun tidak selalu, adalah tanda akan terjadi letusan. Namun, banyak stasiun gempa milik observatorium di lereng Nyiragongo dijarah saat perang berlangsung.
“Saya hampir tidak pernah tidur,” ujar Karume. “Satu juta jiwa mengandalkan kami.” Tanpa perlengkapan modern, yang harganya bisa mencapai sekitar dua puluh miliar—jumlah yang menggentarkan bagi salah satu negara termiskin di dunia—ramalan yang akurat mustahil dilakukan. Dan bahkan seandainya pun observatorium mampu memperkirakan suatu letusan, lalu mau apa?
“Sudah ada rencana darurat,” begitu ujar wakil gubernur Provinsi Kivu Utara, Feller Lutaichirwa berkukuh. Bendera peringatan di sejumlah pos di seluruh kota, katanya, mengumumkan tingkat bahaya letusan, mulai dari bendera hijau yang menandakan bahaya ringan, hingga bendera merah yang berarti letusan akan segera terjadi.
!break!
Namun, ada yang berbeda pendapat. “Tidak ada rencana apa pun,” kata jurnalis Horeb Bulambo. “Dan bendera yang ada sudah usang.” Ia benar. Di sebagian besar pos yang saya lihat, semua bendera sudah pudar warnanya menjadi putih. Esteban Sacco, yang sampai beberapa waktu yang lalu mengelola kantor PBB urusan kemanusiaan di Goma, mengatakan bahwa hanya ada satu jalan keluar dari kota untuk menjauhkan diri dari gunung api. “Dalam waktu dua jam seluruh kota pasti macet,” katanya. “Bayangkan kejadian terburuk.”
Sementara itu, orang tetap saja tinggal di kota yang di bawahnya terdapat lava. “Saya menyaksikan letusan pada 1977 dan sekali lagi pada 2002,” kata Ignace Madingo, sekretaris administrasi distrik kota yang terdekat ke gunung api. Pada kedua peristiwa itu dia dan keluarganya berhasil menyelamatkan diri, dan pada kedua peristiwa itu rumahnya lenyap. “Banyak orang di daerah ini tewas,” katanya. “Lava mengubah mereka menjadi batu. Sulit dibayangkan. Kita tidak akan pernah bertemu lagi dengan mereka. Tidak bisa dilacak.” Sekarang tanah miliknya merupakan tumpukan bebatuan gunung api yang tidak rata. “Kami tahu gunung itu pasti akan meletus lagi. Rumah kami pasti hangus lagi. Namun kemudian, kami akan membangunnya lagi.”
Untuk mencegah bencana, menurut Sims, kita harus lebih memahami Nyiragongo. Pertama-tama, sumber informasi yang sangat penting adalah sampel berusia-nol: bongkahan lava segar dari danau. Ibarat batu Rosetta Nyiragongo, bongkahan yang dapat menyingkapkan kisah gunung tersebut, yang memungkinkan ditetapkannya usia bebatuan lain secara akurat. “Pada akhirnya informasi tersebut dapat menyebabkan ramalan yang lebih baik perihal letusannya,” ujar Sims.
Sims menginginkan bongkahan lava itu. Namun, dia juga tahu pengambilannya amatlah berbahaya, dan dia terus memikirkan keputusannya itu. Dia memikirkan keluarganya; dia mencemaskan semburan lava dan hujan batu. Dia tidak akan pernah bersedia mempertaruhkan nyawa mahasiswanya untuk mengambil sampel itu. Namun, dia juga paham bahwa dirinya adalah salah satu dari segelintir orang yang memiliki keterampilan memanjat tebing dan pengetahuan untuk mengambil sampel yang tepat sebagaimana yang diinginkannya.
!break!
Jadi, dia menuruni dinding kawah menuju pusat gunung api itu dengan tali. Dengan berdiri di lantai kawah, dia tidak bisa melihat danau, yang berada di atasnya, di dalam kerucut lava yang sudah mendingin. Dia mengenakan pakaian termal berwarna perak, seperti sarung tangan oven namun membungkus seluruh tubuhnya. Pakaian itu begitu kaku sehingga dia tidak bisa membungkuk untuk mengikat tali sepatunya.
Saat dia mendekati kerucut, lava bergemeretak seperti kulit telur di bawah kakinya. Tepian itu tingginya 10 meter, dindingnya nyaris tegak lurus, memerlukan keterampilan memanjat tebing untuk bisa menaikinya. Dia mulai memanjat, merentangkan lengannya untuk berpegangan dan menempatkan kaki, mandi keringat di dalam baju tebalnya. Tiga meter menjelang puncak, para pengawas mengabarkan lewat radio tentang ketinggian lava, di mana bagian yang meletup-letup dan di mana terdapat tumpahan. Kondisi terus berubah-ubah. Tinggal dua meter lagi. Lalu, satu meter lagi. Tiba-tiba kakinya tergelincir, dan dia mencium bau karet terbakar. Ketika melihat ke bawah, tampak sepatunya meleleh.
Dia mengintai di puncak tebing, berhadapan langsung dengan lava yang mendidih. Ini sudah bukan lagi sains. Ini sudah menyangkut emosi, puncak dari penjelajahan dan petualangan dan rasa penasaran yang tak kunjung padam seumur hidupnya. Melalui radio, emosi dalam suaranya terdengar sangat nyata. “Sungguh mengagumkan. Luar biasa. Saya tidak akan pernah lagi menyaksikan pemandangan seperti ini.”
Beberapa detik kemudian, dia mundur. Dia tidak membawa palu, jadi dengan hantaman kepalan tangannya dia memecahkan sekeping lava segar. Warnanya hitam berkilau cemerlang, dan sangat panas sehingga bahkan dengan tangan terbalut sarung panas pun, dia harus memindah-mindahkannya dari satu tangan ke tangan yang lain.
Namun, dia sudah mendapatkannya. Sampel berusia-nol. Melalui zona perang, mendaki gunung, menuruni kawah, ke tepi danau lava, dia mendapatkannya. Sekarang, setelah menunggu demikian lama, penelitian dapat dimulai.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR