Dinding ngarai tertutup lumut. Masuk ke dalam batu raksasa itu ternyata seperti masuk ke lubang lift sepuluh lantai yang sempit sambil diguyur air. Kami terpaksa berayun ke dalam air terjun yang deras, manuver konyol yang melemparkan kami berdua ke batu.
Ngarai menyempit di bawah batu besar ini dan air berkilau mengalir menyusur ruang gua menuju tepi tebing. Masih ada ruang kosong sejauh 300 meter di bawah kami. Kami langsung meluncur ke air terjun yang ganas. Saya membuat kesalahan dengan menengadahkan muka. Hantaman air nyaris membuat kepala copot.
Tiga luncuran berikutnya sama luar biasanya. Kemudian sampailah kami di kolam gantung, seperti kolam renang di tengah gedung pencakar langit.
Pukul 10 pagi, kami makan siang bersama di atas batu yang dihujani sinar mentari dengan seekor naga air Australia (Physignathus lesueurii), kadal sepanjang setengah meter dengan jengger mencolok mirip dinosaurus, dan minum langsung dari Sungai Danae yang dingin dan lezat. Kemudian kami berdua melepaskan pakaian selam kami.
Robens santai saja meneruskan perjalanan tanpa busana, sementara saya mengenakan celana nilon berat. Dua minggu sebelumnya di ngarai lain saya tanpa sengaja menginjak pohon jelatang, tanaman mengerikan yang menyengat seperti nettle (Urtica dioica) dan menyebabkan ruam menyakitkan yang tidak hilang dalam sebulan. Saya terkena di tempat yang memalukan.
Berikutnya, beberapa luncuran pendek dan dua loncatan besar. Robens melompat dari batu, melolong seperti orang liar, lengan dan kaki terentang di udara dan baru dirapatkannya bak kupu-kupu mendarat menjelang sampai ke permukaan air enam meter di bawah.
Saat kami sampai ke dasar, Danae berubah menjadi hamparan batu yang terjal. Di sana, tak mengenakan apa pun selain ransel dan sepatu tenis, Robens berlari. Sambil tersandung dan jatuh, saya mengamati Robens menari dan melompat seakan dia terlahir untuk itu.
Di muara Sungai Danae dan Sungai Kanangra, berakhirlah penurunan kami. Namun, seperti pendaki yang mencapai puncak, kami belum bisa merayakannya. Dalam penjelajahan ngarai, semua yang turun harus naik lagi. Kami menyeberangi sungai, istirahat selama sepuluh menit, kemudian mulai pendakian melintasi semak belukar yang menyiksa. Lerengnya begitu curam sehingga kami harus berpaut dari satu cabang ke cabang yang lain.
Dengan badan bersimbah keringat, sampailah kami di dataran tinggi Pegunungan Gangerang yang menjorok, tepat di seberang Ngarai Sungai Danae. Kami berjabat tangan dan berteriak. Dari sini kami bisa mengikuti Pematang Kilpatrick dan perjalanan akan mudah.
Saat berjalan membelakangi matahari di jalur itu dan membayangkan jaffle dengan alpukat-tomat-prosciutto-provolone yang akan saya masak di api unggun nanti malam, dengan perasaan hangat dan lelah, tubuh dan pikiran saya tersucikan dengan menuruni Danae, saya melihat Robens menyimpang masuk ke hutan.
“Ada yang ingin kutunjukkan,” katanya sambil membelakangi. Kami meringkuk di tonjolan batu pasir di tepi tebing, dan tiba-tiba di hadapan kami terlihat peninggalan lukisan batu Aborigin. Sebaris sosok yang dilukis dengan warna merah oker, jelas tanpa busana, tangan dan kaki mereka terentang, semuanya jelas bersuka cita.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR