Pada suatu pagi yang cerah belum lama ini, putra sulung saya, yang saat itu 17 tahun, menelepon dan memberitahukan bahwa ia baru melewatkan dua-tiga jam di kantor polisi. Rupanya dia “sedikit” mengebut. Saya tanya, apa maksudnya “sedikit”? Ternyata, produk gen dan kasih-sayang saya ini melesat di jalan raya dengan kecepatan 182 kilometer per jam.
!break!
“Itu bukan sedikit namanya,” kata saya.
Ia setuju. Bahkan, ia terdengar serius dan menyesal. Ia tidak membantah saat saya katakan bahwa ia sendirilah yang harus membayar denda, dan mungkin bayar pengacara. Ia tidak mendebat saat saya ingatkan, andai terjadi apa-apa saat mengebut secepat itu—anjing lewat di jalan, ban pecah, atau dia bersin—dia pasti mati. Bahkan, sikap rasionalnya membuat saya sebal.
Namun, ada satu hal yang diprotesnya. Ia tidak suka dibilang mengemudi ugal-ugalan. “Yah,” saya mendengus, “apa lagi namanya kalau bukan ugal-ugalan?”
“Tapi itu tidak tepat,” katanya dengan tenang. “Kalau ‘ugal-ugalan’ kesannya aku tidak memperhatikan. Padahal aku memperhatikan. Aku sengaja memilih jalan raya yang kosong dan kering, siang-siang, pandangan tak terhalang, dan tak ada lalu lintas. Maksudku, aku tidak asal menginjak gas. Aku mengemudi dengan hati-hati.
“Itulah sepertinya yang perlu Ayah tahu. Barangkali Ayah lebih tenang kalau tahu aku mengemudi dengan konsentrasi penuh.”
Sesungguhnya, saya memang lebih tenang mendengarnya. Dan hal itu mengusik pikiran saya, karena saya tak mengerti mengapa. Sekarang saya mengerti.
Petualangan mengebut putra saya menimbulkan pertanyaan yang sudah lama direnungkan manusia tentang usia remaja: Mereka itu apa-apaan sih? Para ilmuwan menyatakannya dengan lebih tenang. Mereka bertanya, Apa alasan di balik perilaku ini? Tapi esensinya sebenarnya sama, Ada masalah apa dengan anak-anak ini? Pertanyaan ini menyelidik sambil menghakimi.
Sepanjang sejarah, sebagian besar jawabannya menyalahkan “kekuatan gelap” yang hanya memengaruhi remaja. Lebih dari 2300 tahun yang lalu Aristoteles menyimpulkan bahwa “kaum muda dibuat gila oleh Alam seperti orang mabuk oleh anggur.” Seorang gembala dalam drama The Winter’s Tale karya William Shakespeare membayangkan “andai saja tak ada usia antara sepuluh dan dua puluh tiga, atau kaum muda tidur pada masa itu; karena di antara kedua usia itu kerja remaja hanya menghamili gadis, membantah orang tua, mencuri, berkelahi.” Keluhan ini juga mewarnai sebagian besar penyelidikan ilmiah modern. G. Stanley Hall, yang memformalkan kajian tentang remaja meyakini bahwa masa “badai dan stres” ini mencerminkan tahap perkembangan awal umat manusia yang belum beradab. Freud memandang masa remaja sebagai ekspresi konflik psikoseksual yang menyiksa; Erik Erikson, sebagai krisis identitas yang paling bergejolak dalam hidup. Masa remaja: selalu bermasalah.
Pemikiran seperti itu berlanjut hingga akhir abad ke-20, saat para peneliti mengembangkan teknologi pencitraan otak yang memungkinkan mereka untuk melihat otak remaja secara cukup terperinci, sehingga mampu melacak perkembangan fisik dan pola aktivitasnya. Alat pencitraan ini menyingkapkan jawaban yang mengejutkan hampir semua orang. Ternyata, perkembangan otak kita memakan waktu lebih lama daripada perkiraan semula. Penemuan baru ini menawarkan penjelasan yang simplistis dan tidak menyenangkan tentang perilaku remaja yang menjengkelkan—juga penjelasan positif yang lebih rumit.
!break!
PINDAIAN PERTAMA perkembangan otak remaja yang cukup lengkap—proyek National Institutes of Health (NIH) yang meneliti lebih dari seratus remaja seraya mereka tumbuh besar pada 1900-an—menunjukkan bahwa otak kita mengalami penataan ulang besar-besaran antara usia 12 dan 25. Otak tidak banyak membesar pada masa ini. Namun, ketika kita menempuh masa remaja, otak mengalami renovasi meluas, mirip peningkatan jaringan dan perkabelan komputer.
Pertama-tama, akson otak—serat saraf panjang yang digunakan neuron untuk mengirim sinyal ke neuron lain—perlahan-lahan diselubungi semakin tebal oleh zat berlemak bernama mielin (materi putih pada otak), yang kelak melejitkan kecepatan transmisi akson hingga seratus kali lipat. Sementara itu, dendrit, yaitu perpanjangan seperti cabang yang digunakan neuron untuk menerima sinyal dari akson di dekatnya, semakin bercabang. Sinapsis yang paling sering digunakan—persimpangan kimiawi kecil yang digunakan akson dan dendrit untuk bertukar informasi—semakin kaya dan kuat. Sementara itu, sinapsis yang jarang digunakan mulai layu. Pemangkasan sinapsis ini, demikian sebutannya, menyebabkan korteks otak—lapisan luar materi abu-abu tempat berlangsungnya pikiran sadar yang rumit—menipis tapi semakin efisien. Perubahan-perubahan ini membuat seluruh otak menjadi organ yang lebih cepat dan canggih.
Proses pematangan ini terus berlanjut sepanjang masa remaja. Kegiatan pencitraan yang dilakukan sejak 1990-an menunjukkan bahwa perubahan fisik ini terjadi secara bertahap dan perlahan dari bagian belakang otak ke depan, dari area di dekat batang otak yang mengurus fungsi perilaku dasar yang lebih tua, seperti penglihatan, gerakan, dan pemrosesan dasar, hingga area berpikir di depan yang lebih baru dan lebih rumit dari segi evolusi. Korpus kalosum, yang menghubungkan belahan otak kiri dan kanan serta mengangkut lalu lintas yang penting bagi banyak fungsi otak tingkat lanjut, terus menebal. Hubungan yang lebih kuat juga berkembang antara hipokampus, yaitu semacam direktori ingatan, dan area depan yang menetapkan sasaran dan mempertimbangkan pro-kontra dalam memutuskan; akibatnya kita semakin mahir menyertakan ingatan dan pengalaman ke dalam keputusan kita. Seiring itu, area depan semakin cepat dan koneksinya semakin kaya, sehingga kita dapat menghasilkan dan mempertimbangkan variabel dan agenda yang jauh lebih banyak daripada sebelumnya.
Jika perkembangan ini berlangsung normal, kita semakin mampu menyeimbangkan antara dorongan hati, keinginan, sasaran, kepentingan pribadi, aturan, etika, dan bahkan altruisme, sehingga menghasilkan perilaku yang lebih kompleks dan, setidaknya kadang-kadang, lebih masuk akal. Tetapi ada kalanya, terutama pada awal masa perkembangan ini, otak masih kikuk melakukannya. Tidak mudah mengatur kerja sama yang baik antara berbagai area dan sistem yang baru berubah ini.
Beatriz Luna, profesor psikiatri di University of Pittsburgh yang menggunakan pencitraan saraf untuk mempelajari otak remaja, menggunakan tes sederhana untuk menggambarkan kurva belajar ini. Luna memindai otak anak, remaja, dan orang 20-an tahun saat mereka melakukan tugas antisaccade, semacam permainan yang hanya menggunakan mata, yang mengharuskan pemain mencegah diri memandang cahaya yang tiba-tiba muncul. Agar berhasil, kita harus menentang keinginan normal untuk memperhatikan informasi baru dan rasa penasaran tentang hal yang dilarang.
Anak sepuluh tahun tidak becus melakukannya, gagal 45 persen. Remaja jauh lebih baik. Bahkan, pada usia 15, mereka sudah bisa meraih skor sebaik orang dewasa jika mereka termotivasi, mampu menahan godaan 70-80 persen. Namun, yang paling menarik bagi Luna bukanlah nilai itu, melainkan pindaian otak yang diambilnya saat orang melakukan tes itu. Dibandingkan dengan orang dewasa, remaja cenderung tidak terlalu menggunakan area otak yang memantau kinerja, mengenali kesalahan, menyusun rencana, dan menjaga fokus—area yang tampaknya otomatis aktif pada orang dewasa.
Namun, jika ditawari hadiah ekstra, remaja menunjukkan bahwa mereka mampu mendorong area-area pelaksana itu bekerja lebih keras, sehingga nilai mereka naik. Dan pada usia 20, otak mereka sudah menanggapi tugas ini sebaik orang dewasa. Luna menduga peningkatan ini terjadi ketika jaringan yang lebih kaya dan koneksi yang lebih cepat menjadikan area pelaksana itu lebih efektif.
Kajian seperti ini membantu menjelaskan mengapa remaja berperilaku begitu tidak konsisten dan mengesalkan: senyum saat sarapan, menyebalkan saat makan malam; serius saat Senin, serampangan saat Sabtu. Selain kurang pengalaman secara umum, mereka juga masih belajar menggunakan jaringan baru otaknya. Stres, lelah, atau tantangan dapat mengacaukan fungsi otak mereka.
Grafik perkembangan yang lambat dan tidak merata yang terungkap oleh kajian pencitraan ini menawarkan penjelasan yang menarik tentang mengapa remaja melakukan hal bodoh: Mereka berbuat seperti itu karena otak mereka belum selesai tumbuh!
Pandangan ini, sebagaimana disebut oleh judul berbagai makalah ilmiah dan artikel populer tentang “otak remaja”, menggambarkan remaja sebagai “barang setengah jadi” yang “otak pra-matangnya” membuat sebagian orang bertanya-tanya, apakah mereka sedang dalam tahap yang “mirip dengan keterbelakangan mental.”
Namun, artikel yang sedang Anda baca ini menuturkan cerita ilmiah yang berbeda tentang otak remaja. Selama sekitar lima tahun terakhir, sementara teori barang-setengah-jadi menyebar dalam budaya kita, bidang kajian otak remaja sendiri belajar berpikir lebih kompleks. Beberapa peneliti mulai memandang temuan otak dan gen baru-baru ini dari sisi yang lebih cerah dan positif, yang sangat dipengaruhi oleh teori evolusi. Teori otak remaja yang dihasilkan—sebutlah teori remaja-adaptif—tidak menggambarkan remaja sebagai draf kasar, tetapi sebagai makhluk yang sangat peka dan mudah beradaptasi, yang otaknya sangat cocok untuk menghadapi tugas beralih dari rumah yang aman ke dunia yang rumit di luar.
Pandangan ini kemungkinan lebih mudah diterima kaum remaja. Lebih penting lagi, pandangan ini lebih sesuai dengan prinsip paling dasar dalam biologi, yaitu seleksi alam. Seleksi alam biasanya membabat sifat yang tidak bermanfaat. Jika masa remaja adalah kumpulan sifat tak bermanfaat—cemas, bodoh, gegabah; impulsif, egois, dan serampangan—bagaimana sifat-sifat itu bisa selamat dari seleksi alam? Seharusnya sifat-sifat itu tidak selamat.
Namun, sebenarnya, sifat-sifat yang merepotkan itu bukan sifat mendasar masa remaja; hanya saja, itulah yang paling kita perhatikan karena membuat kita kesal atau membahayakan anak-anak kita. Sebagaimana diungkapkan B. J. Casey, ilmuwan saraf, “Semakin kita memahami hal-hal yang membuat masa ini unik, masa remaja semakin terlihat sebagai masa yang sangat fungsional, bahkan adaptif. Memang inilah yang diperlukan agar manusia mampu menghadapi transisi hidup pada masa remaja.”
!break!
Untuk menemukan remaja adaptif di balik sifat pandir yang mengganggu itu, kita jangan melihat tindakan tertentu saja, seperti menuruni tangga dengan skateboard, atau berpacaran dengan orang bejat, tetapi lihatlah perilaku lebih luas yang mendasari tindakan seperti itu.
Mari kita mulai dengan kegemaran remaja mencari ketegangan. Kita semua menyukai hal baru yang mengasyikkan, tetapi pada masa remajalah kita paling menghargai hal-hal itu. Pada masa ini kita mencapai puncak pencarian sensasi, demikian disebut ilmuwan perilaku: memicu adrenalin.
Mencari sensasi belum tentu impulsif. Impulsivitas biasanya menurun sepanjang hidup, mulai sekitar usia 10, tetapi kesukaan pada ketegangan memuncak sekitar usia 15. Dan pencarian sensasi dapat menghasilkan perilaku positif: Keinginan berkenalan dengan orang baru, misalnya, dapat menciptakan lingkaran teman yang lebih luas, yang secara umum membuat kita lebih sehat, lebih bahagia, lebih aman, dan lebih sukses.
Sisi positif ini mungkin menjelaskan mengapa keterbukaan terhadap hal-hal baru tetap merupakan salah satu ciri-ciri dominan perkembangan remaja. Kesukaan pada hal baru secara langsung membuahkan pengalaman yang bermanfaat. Secara lebih umum, berburu sensasi memberi inspirasi yang dibutuhkan untuk “menjelajah ke luar rumah” dan ke wilayah baru.
Hal lain yang juga memuncak semasa remaja (dan mungkin yang paling membuat kesal orang tua) adalah mengambil risiko. Kita paling getol bermain dengan risiko pada masa remaja daripada pada masa lain. Ini terlihat di lab secara konsisten, yaitu remaja mengambil risiko lebih besar dalam berbagai eksperimen terkendali, yang melibatkan permainan kartu hingga simulasi mengemudi. Ini juga terlihat dalam kehidupan nyata, yaitu masa kira-kira usia 15 hingga 25 yang menampakkan puncak dalam beragam kegiatan berisiko. Sangat banyak anggota kelompok usia ini yang meninggal akibat hampir segala jenis kecelakaan (selain kecelakaan kerja). Sebagian besar penyalahgunaan obat atau alkohol jangka panjang dimulai semasa remaja, dan orang yang di kemudian hari minum alkohol secara bertanggung jawab pun biasanya minum berlebihan semasa remaja.
Apakah anak-anak ini sekadar bertindak bodoh? Itulah penjelasan yang konvensional: Mereka tidak berpikir, atau menurut model barang-setengah-jadi, otak mereka yang masih berkembang itu gagal melindungi mereka.
Namun, penjelasan ini tidak tepat. Seperti yang diingatkan Laurence Steinberg, psikolog perkembangan yang berspesialisasi di bidang masa remaja, bahkan remaja usia 14-17 tahun—pengambil risiko terbesar—menggunakan strategi kognitif dasar yang sama dengan orang dewasa, dan mereka biasanya memecahkan masalah dengan nalar sebaik orang dewasa. Bertentangan dengan keyakinan populer, mereka juga menyadari sepenuhnya bahwa mereka manusia fana. Dan, seperti orang dewasa, kata Steinberg, “remaja sebenarnya tidak meremehkan risiko.”
Jadi, jika remaja berpikir dan mampu mengenali risiko sebaik orang dewasa, mengapa mereka lebih cenderung mengambil risiko? Karena mereka menimbang risiko vs imbalan secara berbeda (lihat bagan, halaman 39): Dalam situasi ketika risiko dapat memberi imbalan yang diinginkan, mereka lebih menghargai imbalan itu daripada orang dewasa.
Permainan video yang digunakan Steinberg menggambarkan hal ini dengan jelas. Dalam permainan ini, pemain berusaha mengemudi melintasi kota dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Saat remaja menempuh jalur itu sendirian, dalam situasi ruang kosong yang disebut Steinberg sebagai situasi “tenang” secara emosional, mereka mengambil risiko setara dengan orang dewasa. Namun, jika ditambahkan unsur yang penting bagi remaja, situasi pun berubah. Dalam hal ini, Steinberg menambahkan teman: Saat ia membawa masuk teman-teman si remaja untuk menonton, si remaja lebih sering mengambil risiko dua kali lipat, mencoba menerobos lampu di tempat yang sebelumnya ia berhenti. Sementara itu, cara orang dewasa mengemudi tidak berbeda saat ada teman menonton.
Bagi Steinberg, ini menunjukkan dengan jelas bahwa pengambilan risiko muncul bukan akibat daya pikir lemah, tetapi akibat penilaian lebih tinggi terhadap imbalan.
“Mereka lebih sering mengambil risiko bukan karena tiba-tiba meremehkan risiko,” kata Steinberg, “melainkan karena mereka semakin mementingkan imbalan.”
Peneliti seperti Steinberg dan Casey meyakini bahwa pertimbangan risiko vs imbalan yang memihak risiko ini lolos seleksi alam karena, sepanjang perjalanan evolusi manusia, kemauan mengambil risiko pada masa kehidupan ini memberi keunggulan adaptasi. Kesuksesan sering kali mengharuskan kita keluar dari rumah dan memasuki situasi yang kurang aman. Jadi, daya tanggap terhadap imbalan itu mirip dengan keinginan memperoleh sensasi baru: Hal ini mendorong kita keluar rumah dan memasuki wilayah baru.
Sebagaimana disiratkan oleh permainan mengemudi Steinberg, remaja memiliki tanggapan yang kuat terhadap imbalan sosial. Baik teori fisiologi maupun evolusi menawarkan penjelasan untuk kecenderungan ini. Secara fisiologi, masa remaja merupakan puncak kepekaan otak terhadap dopamin, yaitu neurotransmiter yang tampaknya menyiapkan dan mengaktifkan jalur kesenangan, serta membantu mempelajari pola dan membuat keputusan. Ini turut menjelaskan kecepatan remaja belajar dan penerimaan luar biasa mereka terhadap imbalan—serta reaksinya yang kadang melodramatis terhadap kesuksesan atau kekalahan.
Otak remaja juga peka terhadap oksitosin, yaitu hormon saraf lain yang (antara lain) membuat koneksi sosial lebih memuaskan batin. Jaringan dan dinamika saraf yang terkait dengan imbalan secara umum dan interaksi sosial banyak yang tumpang tindih. Jika salah satunya aktif, biasanya yang satu lagi juga aktif. Jika kedua hal ini diaktifkan semasa remaja, efeknya dahsyat.
Ini turut menjelaskan ciri lain masa remaja: Mereka lebih suka bergaul dengan teman sebaya, lebih dari masa sebelum atau sesudahnya. Pada tingkat tertentu, keinginan memiliki teman sebaya semata-mata mengungkapkan ketertarikan umum remaja pada kebaruan di ranah sosial: Remaja menawari remaja lebih banyak kebaruan daripada keluarga sendiri yang sudah dikenal baik.
Namun, remaja tertarik pada teman sebaya karena alasan lain yang lebih kuat: berinvestasi di masa depan, bukan masa lalu. Kita memasuki dunia yang dibentuk oleh orang tua. Tetapi kita akan menjalani sebagian besar hidup kita, dan makmur (atau tidak) dalam dunia yang dipimpin dan dicipta-ulang oleh rekan seusia kita. Mengenal, memahami, dan membangun hubungan dengan mereka sangat berpengaruh pada kesuksesan. Tikus atau monyet yang pandai bergaul, misalnya, biasanya mendapat wilayah atau area bersarang terbaik, makanan dan minuman terbanyak, sekutu lebih banyak, dan kawin lebih sering dengan pasangan yang lebih baik dan sehat. Dan manusialah spesies yang pergaulannya paling rumit dan mendalam.
Ciri-ciri yang sangat khas manusia ini menjadikan hubungan sebaya bukan hanya hal sampingan, melainkan hal utama. Bahkan sebagian kajian pindaian otak menyiratkan bahwa reaksi otak kita pada pengucilan teman sebaya setara dengan reaksinya terhadap ancaman kesehatan fisik atau pasokan makanan. Dengan kata lain, pada tingkat saraf, kita memandang penolakan sosial sebagai ancaman keberadaan. Dengan mengetahui ini, mungkin kita lebih mudah memaklumi tangis histeris anak 13 tahun saat dibohongi temannya atau kemurungan anak 15 tahun yang tidak diundang ke pesta. Anak-anak ini! kita mengeluh. Mereka bereaksi terhadap naik-turun pergaulan seolah-olah nasib mereka tergantung pada itu! Mereka benar. Nasib mereka memang tergantung pada hal itu.
!break!
Ketegangan, kebaruan, risiko, pergaulan dengan teman sebaya. Sifat-sifat ini mungkin kelihatannya sekadar melakukan hal baru yang bodoh bersama teman-teman. Namun, jika diteliti lebih dalam, kita lihat bahwa sifat-sifat yang mendefinisikan masa remaja ini menjadikan kita lebih mudah beradaptasi, baik sebagai individu maupun sebagai spesies. Tentunya itulah sebabnya sifat-sifat ini, dengan definisi yang luas, tampaknya muncul dalam hampir semua budaya manusia, modern maupun suku tradisional. Sifat ini mungkin terpusat dan terungkap lebih gamblang dalam budaya Barat modern, yang remajanya begitu sering bergaul dengan sesamanya. Tetapi, para antropolog mendapati bahwa hampir semua budaya dunia mengakui masa remaja sebagai masa khas ketika remaja menyukai kebaruan, kegairahan, dan teman sebaya. Pengakuan yang hampir mengglobal ini membantah pemikiran bahwa hal ini adalah produk budaya.
Budaya jelas membentuk masa remaja. Budaya memengaruhi cara ekspresinya dan mungkin durasinya. Budaya dapat memperhebat perwujudannya. Namun, bukan budaya yang menciptakan masa remaja. Keunikan masa ini berasal dari gen dan proses perkembangan yang lolos seleksi alam selama lebih dari ribuan generasi karena memainkan peran penting selama masa peralihan yang krusial ini: menghasilkan makhluk yang siap secara optimal untuk meninggalkan rumah yang aman dan memasuki wilayah tak dikenal.
Pergerakan keluar dari rumah ini adalah hal tersulit yang dilakukan manusia, juga paling penting—bukan hanya bagi individu, melainkan juga bagi spesies yang telah menunjukkan kemampuan tanpa tanding dalam menguasai lingkungan baru yang menantang. Dalam istilah ilmiah, remaja memang menjengkelkan. Tetapi, mereka mungkin manusia yang paling mampu beradaptasi secara sempurna, dan memang semestinya begitu. Tanpa mereka, umat manusia mungkin tidak semudah itu menyebar ke seluruh planet.
Teori remaja-adaptif ini, meski akurat, mungkin sulit diterima—khususnya bagi orang tua yang menghadapi remaja dalam masa yang paling sulit, pembangkang, atau mengerikan. Mungkin kita merasa lebih tenang bahwa perilaku mencemaskan ini dapat ditafsirkan ulang sebagai tanda-tanda proses belajar suatu organisme menghadapi lingkungannya. Tetapi, seleksi alam tak mengenal ampun, dan kesalahan di masa remaja dapat membawa akibat yang tragis. Kita memang tidak menghadapi risiko terbunuh dalam pertempuran ritual atau dimakan macan, tetapi narkoba, alkohol, mengemudi, dan kejahatan memakan banyak korban. Putra saya masih hidup, walau tanpa mobil, di tempat kuliahnya. Namun, beberapa teman SMA-nya tewas dalam eksperimen mengemudinya. Anak-anak kita menerapkan keluwesan adaptif itu dalam berbagai risiko yang kecil tapi mengerikan.
Namun, kita tetap bisa dan berhasil membantu mereka. Penelitian menunjukkan bahwa saat orang tua berkomunikasi dan membimbing anak remajanya secara tegas tetapi tidak terlalu ikut campur, tetap akrab tetapi membiarkan mereka mandiri, anak-anak mereka pada umumnya lebih sukses dalam hidup. Remaja terutama ingin belajar dari teman, tetapi tidak seluruhnya. Pada tingkat tertentu dan pada saat tertentu (dan orang tualah yang harus menyadari kapan), remaja mengakui bahwa orang tua dapat memberi pelajaran yang baik—pengetahuan yang dihargai bukan karena kewenangan orang tua, tetapi karena berasal dari pergulatan orang tua sendiri saat berjuang memahami seluk-beluk dunia. Remaja menyadari dengan benar bahwa ia bukan hanya harus memahami dunia orang tuanya, tetapi juga dunia yang akan ia masuki.
Sementara itu, saat kesal menghadapi remaja, besarkanlah hati Anda dengan mengingat satu ciri terakhir otak remaja. Masa ini adalah masa panjang saat area otak depan yang berkembang belakangan ini masih luwes, saat mereka menjadi matang perlahan-lahan. Seperti yang disebutkan sebelumnya, area-area inilah yang terakhir membentuk selubung lemak mielin—materi putih otak—yang mempercepat transmisi sinyal saraf. Dan sekilas lalu ini seperti berita buruk: Jika kita memerlukan area-area ini untuk menunaikan tugas rumit memasuki dunia, mengapa area-area ini tidak tancap gas saat menghadapi tantangan yang paling besar?
Jawabannya, kecepatan otak diraih dengan mengorbankan keluwesan. Meski sangat mempercepat akson, selubung mielin juga menghambat pertumbuhan cabang akson baru. Menurut Douglas Fields, ilmuwan saraf NIH yang bertahun-tahun mempelajari mielin, “Itulah kenapa masa ketika suatu area otak membentuk mielin menjadi masa penting dalam belajar—perkabelan ditingkatkan, tetapi setelah proses itu selesai, perubahan lebih sulit terjadi.”
Masa terbaik untuk penyusunan ulang koneksi oleh pengalaman sangatlah spesifik bagi setiap area otak. Jadi, pusat-bahasa otak mendapat selubung paling banyak dalam 13 tahun pertama, yaitu saat anak-anak masih belajar bahasa. Selubung yang sempurna mengonsolidasikan hasil belajar itu—tetapi menjadikan pembelajaran selanjutnya, misalnya bahasa asing, lebih sulit diperoleh.
Gelombang perkembangan dari belakang ke depan yang lama dan lambat ini, yang baru selesai pada usia pertengahan 20-an, tampaknya merupakan adaptasi khas manusia. Mungkin menjadi salah satu yang paling berpengaruh bagi kita. Mungkin aneh bahwa manusia lambat pintar dalam hidup ini. Namun, jika kita menjadi bijak lebih awal, pada akhirnya kita menjadi lebih bodoh.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR