Tak berapa lama, sekelompok turis Eropa masuk ke ruangan dan berceloteh dalam bahasa Prancis dan Jerman. Di akhir kunjungan, mereka menyodorkan nama dan tanggal kelahiran, untuk diukir dalam aksara lokal di atas lontar, berikut dewa, atau satwa hari kelahiran berdasarkan penanggalan Bali.
Sebelum pergi, saya sempat melihat tulisan yang tergantung di dinding kantor. Menurut catatan koleksi bertanggal 31 Mei 2011, jumlah buku berbahasa Belanda yang dikoleksi Gedong Kirtya: 8.490 buah. Naskah lontar yang pernah disalin: 7.211 buah (sejumlah 4.000-an naskah disalin ke dalam lontar, sisanya adalah salinan isi lontar di atas kertas ). Sesaat mata saya sempat terpaku pada jumlah lontar yang ada kini: 1.757.
Di Tanah Riau yang tersohor akan kecantikan naskah Melayu, Anna Soraya, Kepala Divisi Konservasi Perpustakaan Nasional, berniat melakukan pelestarian dan pendokumentasian naskah. Setelah melewati perjalanan panjang dan tiba di rumah penduduk, ia tercengang saat disuguhi kertas putih bertinta hitam: Lembaran fotokopi. Naskah asli berbahan dluwang (semacam kertas berbahan kulit kayu) telah dijual ke negeri tetangga, sang pemilik mengakui.
!break!
Tak hanya I Ketut Suharsana yang pilu kehilangan lontar-lontar koleksi Gedong Kirtya. Nusantara nan kaya akan ragam aksara dan naskah (karya berbentuk tulisan tangan dan berusia lebih dari setengah abad) kerap memikat negara lain. Perpindahan naskah-naskah kuno ke tangan bangsa Eropa sejak zaman penjajahan, atau naskah tua yang berleret apik di rak kaca museum negara tetangga, bukanlah cerita baru. Sementara di rumahnya sendiri, naskah yang bersolek ilustrasi warna-warni dan tulisan tangan berabad-abad usianya ini kadang tak lagi punya nilai di tangan sang empunya.
“Perdagangan naskah memang sudah ada sejak dulu. Naskah yang dijual sekarang ini sudah naskah kualitas nomor dua atau tiga dari segi isi dan keindahan ilustrasinya,” ujar Anna di ruang kantornya yang lapang. Ia juga berkisah tentang Babad Imam Bonjol yang berpindah tangan dengan nilai rupiah yang spektakuler ke negara tetangga.
Kala melakukan pelestarian dan dokumentasi, banyak suka duka yang ia lewati. Anna tak hanya menjumpai pemilik naskah yang tega merelakan naskah nenek moyangnya, tetapi juga pemilik yang amat melindungi naskahnya walau mereka tidak tahu pasti isi yang terkandung di dalamnya sehingga membuat para pelestari sulit melaksanakan tugasnya.
Para pemilik naskah juga sadar betul akan nilai ekonomis yang dikandung oleh lembaran-lembaran kuno ini di mata orang asing. Di tanah Aceh, Anna berjuang memenuhi tuntutan seorang istri almarhum pemilik pesantren yang menginginkan sebuah mesin cuci, sebagai syarat agar timnya bisa melakukan pelestarian dan pendokumentasian naskah. Namun mereka tak jua berhasil memotret isi naskah-naskah tersebut—hanya sampulnya dengan alasan mantra di dalamnya takut disalahgunakan. Beberapa bulan kemudian peneliti asing berhasil mendokumentasikan naskah-naskah tersebut.
Anna dan timnya tak sendiri dalam usahanya melestarikan atau memperbaiki naskah-naskah Nusantara. Di Palembang, mata Titik Pudjiastuti dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia berbinar saat sekarung kumpulan naskah kuno yang konon berusia ratusan tahun dibawa turun dari loteng sebuah masjid dan disorongkan ke hadapannya. Saat ikatan dibuka, saat itu pula hatinya luruh. Karya yang tak terperi nilainya itu menyerpih dilahap rayap. “Akhirnya kita hanya bisa menangis,” ujarnya pilu bercampur gemas.
!break!
Di tengah upaya penyelamatan, para pelestari juga berusaha menyadarkan penduduk akan nilai warisan ini sesungguhnya. Mereka memberi edukasi mengenai perawatan naskah agar warisan leluhur ini tetap terjaga. Bahan yang dijumpai sehari-hari seperti air kapur sirih, cengkeh, lada, atau tumbukan halus arang kayu bisa mencegah ngengat dan kelembapan.
Di tanah Khatulistiwa, seiring bertambahnya usia, semakin rendah pula daya tahan sebuah naskah terhadap kelembapan juga rayap. Budaya penyalinan naskah kuno bermedia kertas semakin pupus. Maknanya pun hanya segelintir orang yang paham. Namun di Pulau Dewata, tradisi penyalinan naskah serta pemahaman isinya masih terus berlangsung hingga saat ini.
Di rumahnya yang berudara sejuk di daerah Jasi, Karangasem, Bali, I Wayan Edi Wistara memamerkan sulitnya menuris di atas lontar saat ia baru mempelajarinya sekitar dua puluh tahun silam. Pengrupak atau pengutik, alat yang digunakan, dipegang dengan jari kanan hampir sama dengan cara memegang pensil, tetapi jempol kiri ikut memberikan penekanan. Kerumitan semakin bertambah mengingat lontar ini diukir pada dua sisinya.
“Penekanan harus benar agar cukup untuk menggores lontar namun tak cukup dalam untuk membuatnya berlubang,” jelas Wayan sambil menekuri lontar yang baru saja ia turisi.
Lontar yang ia kerjakan tak melulu disalinnya dari lontar lain. Kadang orang datang kepadanya untuk meminta agar bukunya disalinkan ke lembar lontar, layaknya kisah Bharatayuddha. Doa-doa dan upacara kecil dilaksanakan sebelum dan sesudah menuris lontar.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR