“Marseille adalah kota tertua di Prancis,” sang wali kota mulai menjelaskan. “Usianya sudah 2.600 tahun.” Sejenak saya mengira Gaudin akan berkata, sebagaimana kebiasaan warga Marseille, bahwa kota itu dibangun oleh warga Phoenix: “Marseille, putih, hangat, semarak; Marseille, adik Tyre dan Carthage, penerus kerajaan Mediteranea; Marseille, selalu makin muda saat usianya makin bertambah,” begitu yang ditulis Alexandre Dumas. Namun, Gaudin ingin menyampaikan hal lain.
!break!
“Ini kota pelabuhan,” ujar sang wali kota, “sehingga kami sudah terbiasa dikunjungi orang asing. Kotanya sendiri dihuni oleh berbagai lapisan penduduk, berdatangan dari mancanegara karena berlangsungnya peristiwa internasional.” Setelah 1915, misalnya, warga Armenia yang menghindari genosida di Turki mulai berdatangan. Pada 1930-an, warga Italia yang melarikan diri dari fasisme menetap di Marseille.
Setelah perang Dunia II, imigrasi Yahudi dari Amerika Utara dimulai. Dan pada 1962, setelah Prancis melepaskan kendali penjajahan atas Aljazair, Maroko, dan Tunisia (negara-negara Maghribi), berdatanganlah puluhan ribu pieds-noirs, atau kaki hitam, yang sebenarnya warga Prancis kulit putih yang meninggalkan Aljazair yang baru merdeka. Padahal, banyak yang sudah tinggal di sana selama beberapa generasi.
Pada waktu yang sama, “setelah dekolonisasi ‘Afrika hitam,’ dalam tanda petik,” begitu Gaudin menjelaskan, “dan kemerdekaan negara-negara Maghribi,” berangsur-angsur Marseille dipenuhi berbagai macam orang “issus de l’immigration”—akibat imigrasi. Bahkan saat wali kota mengatakannya, dia tampak kurang nyaman mengucapkan istilah halus “issus de l’immigration”, sehingga saya menanyakannya lebih jauh. “Artinya, sering kali generasi kakek dan nenek tetap tinggal di Aljazair, generasi orang tua datang kemari, dan para cucu menjadi warga negara Prancis, tetapi bernama belakang Arab,” kata Gaudin. Dengan kata lain, orang yang berkewarganegaraan Prancis karena lahir di sini tetap dipandang sebagai orang asing.
Namun, wali kota Marseille hanya bisa menerka berapa banyak warga kotanya—20, 25 persen?—yang termasuk issus de l’immigration. Dia tidak tahu berapa banyak yang keturunan Arab atau Afrika. Dia tidak tahu berapa banyak yang berasal dari keluarga Muslim. Sesuai dengan “nilai-nilai republik” Prancis—berpaham sekuler dan egaliter—dianggap melanggar hukum apabila pejabat pemerintah, termasuk pencatat sensus, mencatat ras, agama, atau suku bangsa warga negara.
Gereja dan negara bukan saja terpisah, tetapi agama bahkan dikesampingkan. Jika Anda warga Prancis, Anda orang Prancis: tidak kurang, tidak lebih, titik. Tetapi, Gaudin tahu bahwa untuk generasi kedua bahkan ketiga, asimilasi tidak selalu berlangsung mulus. Tantangan bagi kota mana pun yang penduduk imigrannya berjumlah besar bukanlah cara menangani gelombang imigran pertama, melainkan apakah anak cucu mereka berhasil atau gagal beradaptasi.
Gaudin dikenal suka secara diam-diam mencemoohkan “nilai-nilai republik” Prancis yang dibangga-banggakan itu. Mungkin dia tidak tahu berapa banyak warga kotanya yang Muslim, tetapi dia sadar bahwa dia harus mencari cara praktis untuk menyikapi mereka. Salah satu caranya adalah mengaburkan pandangan resmi pemerintah yang memisahkan negara dan gereja.
Pada 1990-an, balai kota merangkul para pemuka agama untuk membentuk Marseille Espérance, atau Harapan Marseille, gabungan antara pemuka agama Yahudi, Kristen, Buddha, dan Islam yang membantu memandu kota melalui berbagai krisis yang dipicu oleh konflik di dalam dan luar negeri selama dua dasawarsa terakhir. Kota madya bekerja sama dengan para pemuka agama untuk meredam kerusuhan di jalan.
Kota juga mendukung stasiun radio, permakaman, dan kelompok warga yang bernuansa agama. Kerja sama antara pemerintah dan pemuka agama ini mungkin bertentangan dengan kebijakan resmi, tetapi di Marseille, kepraktisanlah yang membuahkan hasil.
!break!
Gaudin menjelaskan bahwa pantai bukanlah satu-satunya tempat yang membuat warganya berbaur dengan mulus. “Segi positif lainnya bagi Marseille adalah bahwa kota ini dikelilingi rangkaian pegunungan.” Kaum imigran dan penghuni-lama belajar hidup rukun. Dalam waktu 30 tahun setelah perang Dunia II—les trente glorieuses, begitu istilahnya dalam bahasa Prancis—tatkala ekonomi negara yang tumbuh pesat memerlukan pekerja asing untuk pabrik, banyak kota di Prancis secara terburu-buru membangun kompleks perumahan imigran di pinggiran kota yang jaraknya jauh.
“Yang kami lakukan justru sebaliknya,” kata Gaudin. “Kami membangunnya di dalam kota.”
Pusat kota adalah “distrik yang dihuni oleh banyak sekali warga Afrika Utara,” kata Gaudin. Di jantung kota Marseille, di alun-alun Porte d’Aix, para pedagang Arab menjual banyak sekali gamis dan jilbab, kedai teh menyajikan camilan manis berlumur madu, dan biro perjalanan menawarkan perjalanan haji ke Mekkah.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR