Sinyal ponsel dengan sempurna menjangkau dasar Sungai Yangtze, walaupun hanya Huang Dejian dan segelintir orang yang tahu. Sebagai direktur White Crane Ridge Underwater Museum yang baru dibuka, hari itu ponselnya kerap berdering di kedalaman 40 meter.
Museum itu adalah pemandangan teraneh di Fuling—pengunjung dapat masuk melalui eskalator berselubung tabung baja sepanjang 90 meter, bak sedotan raksasa yang dicelupkan ke air keruh Yangtze. “Ini museum termahal di wilayah Tiga Ngarai,” ujar Huang, menjawab panggilan di teleponnya lagi. Nada deringnya adalah suara wanita yang mengulang-ulang frasa “Jia you—ayo, ayo, ayo, ayo, ayo!”
Terakhir kalinya saya berjumpa dengan Huang, seluruh dataran ini masih kering, museum senilai Rp330 miliar itu belum berdiri, dan Waduk Tiga Ngarai masih dibangun hingga 450 kilometer ke hilir. Saya tinggal di Fuling sejak 1996 hingga 1998, ketika menjadi relawan Korps Perdamaian di sebuah perguruan tinggi lokal.
Ketika itu populasi di sana sekitar 200.000, kecil untuk standar Cina. Sebagian besar warga sangat mendukung didirikannya bendungan, meskipun mereka tidak banyak membicarakannya. Pembangunan dijadwalkan selesai pada 2009, bagaikan berabad-abad di tempat yang telah mengalami begitu banyak peristiwa.
Era reformasi di Cina dimulai pada 1978. Tetapi, baru pada pertengahan 1990-an gagasan tentang pasar bebas mulai memunculkan dampak besar di kota-kota kecil semacam Fuling. Penduduk setempat harus menghadapi perubahan luar biasa: penghentian pekerjaan atas penunjukan pemerintah, privatisasi perumahan mendadak.
Ketika itu, White Crane Ridge memberi saya sudut pandang berbeda tentang waktu. Garis batu pasir hanya tampak pada musim dingin, saat permukaan air turun. Pada masa lampau, musim surut berbahaya bagi para nakhoda, sehingga seseorang membuat ukiran dua ekor ikan di sisi gigir. Ukiran itu berfungsi sebagai tolok ukur bagi para nakhoda, agar mereka dapat mengantisipasi bukit-bukit pasir dan arus deras.
Para penduduk setempat menganggap patung ikan batu tersebut sebagai perlambang nasib baik, dan sudah menjadi tradisi di sana untuk memperingati ulang tahunnya dengan mengukir pesan. Tanggal terawal yang terukir di sana adalah 763 SM, masa kejayaan dinasti Tang, dan hingga saat ini, lebih dari 30.000 karakter telah menghiasi batu pasir. Kaligrafinya menawan, dan pesan-pesannya bersajak: “Air sungai undur diri. Ikan batu menampakkan diri. Tahun depan panenan ‘kan membanjiri.”
Pada 1990-an, harga tiket masuk ke gigir adalah tiga yuan, sekitar Rp3.500, mencakup ongkos menumpang sampan ringkih yang didayung oleh seorang nelayan di luar musim. Huang Dejian biasa duduk di gigir selama berjam-jam, mengenakan mantel panjang hibahan Tentara Pembebasan Rakyat. Dia akan memperhatikan permukaan air dan bertutur tentang ukiran ikan yang termasyhur.
Waktu berjalan dengan cara berbeda di sungai. Yangtze tetap berpegang pada siklusnya, kendati kehidupan di sepanjang tepinya senantiasa maju bersama garis sejarah dan kemajuan. Dan kedua jenis waktu, alam dan manusia, bersimpangan di White Crane Ridge setiap tahun.
Air sungai surut; kata-kata muncul; pesan dan tanggal berbaris rapi di permukaan batu. Kemudian musim semi hadir melelehkan salju, permukaan air naik, dan seluruh sejarah itu akan menghilang kembali di sungai yang tak lekang oleh waktu.
!break!
Kini bendungan sudah ditutup, dan permukaan Yangtze tidak pernah lagi serendah dahulu. Untuk mengamankan Fuling dari ketinggian permukaan air reservoar, dibangunlah parit dengan panjang lebih dari 60 kilometer dan tinggi hampir 60 meter di sekelilingnya.
White Crane Ridge Museum berdiri di sisi dinding beton raksasa itu. Hari ini, Huang Dejian membawa saya ke galeri bawah air, memperlihatkan sisi gigir yang berada di bawah air dari balik jendela-jendela bulat. Pemandangan itu bagaikan mimpi: saya mengenali tempat-tempat yang pernah saya injak dan ukiran-ukiran yang pernah saya sentuh.
Tetapi, kata-kata yang sudah saya kenal baik sekalipun seolah-olah memiliki makna baru: “Pilar Batu di Tengah Sungai,” “Sungai Mengalir Abadi.” Apa makna tulisan-tulisan itu setelah 40 meter di bawah permukaan air?
Huang Dejian tersenyum ketika saya menanyakan apakah dia pernah merasa kehilangan. Selain menjawab telepon yang tak henti-hentinya berdering, dia juga harus bergantian menemui saya dan kru film dari China Central Television.
“Mereka tidak bisa melakukan ini di Waduk Aswan di Mesir,” katanya, menjelaskan bahwa pemerintah Mesir harus memindahkan berbagai relik sebelum kebanjiran. “Ini membuat saya bangga. Tidak ada perasaan kehilangan saat saya kemari; saya merasa berhasil. Kami mampu membangun Waduk Tiga Ngarai dan juga sukses melindungi White Crane Ridge.” Kemudian Huang mohon diri untuk menemui kru televisi, lalu seruan modern terdengar dari ponselnya: “Ayo, ayo, ayo, ayo, ayo!”
Fuling terletak di persimpangan antara Sungai Yangtze dan Sungai Wu, dan pada pertengahan 1990-an masih sangat sunyi dan terpencil. Tidak ada jalan raya atau jalur kereta api di sana. Dibutuhkan waktu tujuh jam untuk menumpang feri Yangtze menuju Chongqing, kota besar terdekat dari sana.
Orang asing merupakan pemandangan aneh di sana—setiap saya makan siang di kota, pernah sampai 30 orang memandangi saya. Hanya ada sebuah eskalator, sebuah kelab malam, dan tidak ada lampu lalu lintas di sana. Tidak seorang pun kenalan saya memiliki mobil.
Ketika itu, masa pendidikan di Fuling Teacher College hanya tiga tahun, menjadikan posisinya nyaris terbawah di antara perguruan tinggi lainnya di Cina. Tetapi, murid-murid saya bersyukur karena memperoleh kesempatan untuk belajar. Hampir semua mahasiswa di sana berasal dari perdesaan dengan tradisi pendidikan rendah; bahkan banyak yang memiliki orang tua buta huruf.
Tetap saja, mereka mengambil jurusan Bahasa Inggris—langkah luar biasa di sebuah negara yang tertutup selama sebagian besar abad ke-20. Esai mereka bertutur tentang kemuraman dan kemiskinan, tetapi juga tentang harapan besar: “Kampung halaman saya tidak terkenal karena bukan tempat asal benda, hasil bumi, dan orang terkenal, dan juga tidak ada pemandangan yang terkenal. Kampung halaman saya kekurangan orang yang punya keahlian… Saya akan menjadi guru, dan akan sebisa mungkin mendidik banyak orang agar memiliki keahlian.”
!break!
“Ada pepatah lama di Cina: ‘Semiskin-miskinnya si majikan, si anjing akan tetap mencintainya; seburuk-buruknya si ibu, si anak akan tetap mencintainya.’ Itulah perasaan kami. Saat ini kami bekerja keras, dan kelak suatu saat kami akan melakukan apa pun yang kami bisa untuk negeri ini.”
Saya belajar banyak dari murid-murid saya, termasuk makna menjadi penduduk desa. Sejak itu, sekitar 155 juta jiwa telah bermigrasi ke berbagai kota, dan murid-murid saya menuliskan pandangan mengharukan tentang para kerabat mereka yang berjuang menghadapi masa transisi. Saya juga belajar mengenai kompleksitas kemiskinan di Cina.
Murid-murid saya hanya punya sedikit uang, tetapi mereka optimistis dan memiliki kesempatan. Waduk Tiga Ngarai tidak akan berdiri di negara yang benar-benar miskin—Beijing melaporkan bahwa total investasi untuk pembangunannya adalah Rp320 triliun, walaupun banyak yang memperkirakan bahwa biayanya jauh lebih tinggi.
Namun, kenangan soal kemiskinan mempermudah penduduk setempat menerima pembangunan waduk. Saya pun mengerti mengapa mereka menginginkan kemajuan, apa pun caranya. Setelah menyelesaikan tugas dari Korps Perdamaian, saya kembali ke rumah orang tua saya di Missouri dan mencoba mencatat pengalaman saya di Fuling.
Saya berhasil menyelesaikan manuskrip setebal 400 halaman—saya memberinya judul River Town—dan mengirimkannya ke sejumlah agen dan penerbit, namun hampir semuanya memberikan penolakan. Pada 1990-an, Cina belum menarik perhatian sebagian besar penduduk Amerika.
Salah seorang editor berterus terang, “Kami pikir tidak ada yang ingin membaca buku tentang Cina.” Tetapi saya akhirnya mendapatkan penerbit, dan ketika itulah saya mulai mengkhawatirkan tanggapan warga Fuling terhadap buku saya.
Orang Cina dikenal sangat sensitif terhadap penggambaran negeri mereka oleh orang asing. Saya mengirim sebuah manuskrip kepada seorang mahasiswi bernama Emily, dan sebagian besar responsnya positif. Tetapi, kadang-kadang dia menyampaikan kekecewaan: “Menurut saya tidak seorang pun akan menyukai Kota Fuling setelah membaca kisah Anda. Tetapi saya tidak bisa menyanggah, karena semua yang Anda tulis merupakan fakta. Saya berharap kota itu akan lebih menarik seiring waktu.”
Saya ingin menampilkan kepedulian saya terhadap Fuling, namun juga harus jujur tentang polusi, waduk, dan masalah-masalah yang terkadang saya hadapi sebagai orang asing di sana. Akhirnya, saya menerima kemungkinan bahwa saya tidak akan diterima lagi di sana. Tetapi, saya tidak pernah membayangkan betapa cepatnya tempat itu berubah.
!break!
Ketika River Town diterbitkan pada awal 2001, jalan raya pertama di Fuling telah selesai dibangun, dan feri Yangtze kian terlupakan. Dua jalan raya baru lainnya mengikuti, bersama tiga jalur kereta. Berkat proyek Tiga Ngarai, sejumlah besar dana pemerintah mengalir ke Fuling, bersama para migran dari kota-kota sungai dari wilayah lebih rendah yang harus digusur. (Kabarnya, lebih dari 1,4 juta jiwa harus dipindahkan).
Dalam satu dasawarsa, populasi Fuling nyaris berlipat ganda, dan kampus berubah menjadi institusi empat tahun dengan gedung dan nama baru, Yangtze Normal University. Jumlah mahasiswanya membengkak dari 2.000 menjadi lebih dari 17.000, menjadi bagian dari ekspansi besar-besaran Cina di bidang pendidikan tinggi.
Sementara itu, orang Amerika mulai memiliki pandangan baru tentang Cina, dan River Town secara mengejutkan menjadi buku laris. Saya mendengar bahwa buku ini diterjemahkan secara tidak resmi di Fuling dan dibagikan secara terbatas kepada para kader Partai Komunis. Tetapi, saya tidak pernah mengetahui reaksi pemerintah terhadap buku ini.
Inilah pertama kalinya saya kembali ke Fuling setelah lebih dari lima tahun, dan pertama kalinya pula saya diundang menemui seorang pejabat tinggi. Di kantor Pemerintah Daerah Fuling, saya menunggu Wakil Direktur Liu Kangzhong. Sebelumnya saya harus menemui delapan orang ajudannya. Upaya saya untuk berbasa-basi sia-sia saja.
Akhirnya, salah seorang kader berdeham. Dia berkata, “Sudahkah buku Anda laku satu juta kopi?” Pertanyaan itu tidak saya duga, namun jawabannya mudah: Belum. “Apakah ada rencana untuk memfilmkannya?” Kuungkapkan bahwa kemungkinan itu pernah dibahas, namun tidak ada kelanjutannya. “Akan sulit untuk memfilmkan buku itu,” katanya. “Fuling sudah benar-benar berubah dari saat Anda tinggal di sini. Mereka tidak akan menemukan lokasi-lokasi yang menggambarkan masa itu.”
Semua orang berdiri ketika Wakil Direktur Liu tiba. Lalu, pejabat itu merentetkan statistik yang hanya bisa didengar di Cina. Dalam lima tahun terakhir, PDB Fuling meningkat rata-rata 20 persen per tahun, dan pemerintah kota berencana untuk menambah 300.000 penduduk pada 2015. Sebuah wilayah industri baru telah menarik lebih dari 36 firma asing untuk berinvestasi. Seluruh taksi dan bus setempat kini menggunakan bahan bakar gas alam untuk mengurangi polusi.
“Kami sudah membuka mata,” ujar Liu. “Ketika saya masih bersekolah pada 1970-an, kami tidak bisa berkomunikasi dengan orang luar. Cina sudah cukup lama menjadi negara terbuka, dan kami bisa merasakan pendapat orang asing. Saya sudah membaca beberapa buku Anda.”
Dia melanjutkan, “Terima kasih karena telah memberi kami xuanchuan.” Kata itu memiliki beberapa padanan; kadang-kadang artinya “publisitas,” dan kadang-kadang “propaganda.” Wakil Direktur Liu tersenyum dan berkata, “Fuling adalah contoh kota Cina yang pantas diketahui oleh orang Amerika.”
!break!
Sebagai penulis, saya tidak menghendaki perubahan, tetapi Fuling mengingatkan saya bahwa kata-kata berubah secepat kilat. Makna turut berubah bersama usia dan sudut pandang—sama halnya dengan White Crane Ridge, dengan tulisan-tulisan yang maknanya berubah saat dilihat dari museum bawah air.
Kini siapa pun yang membaca River Town mafhum bahwa Cina telah menjadi kekuatan baru di bidang ekonomi dan Waduk Tiga Ngarai telah selesai dibangun, dan ini mengubah cerita. Saya tidak akan pernah mengetahui pendapat penduduk Fuling pada 1998 tentang buku saya karena mereka juga telah berubah.
Masyarakat urban Cina kini memiliki kepercayaan diri baru; dunia luar tidak terasa sejauh dan semengancam dahulu. Saking pesatnya kehidupan berjalan, masa 1990-an terasa sekuno foto hitam putih. Baru-baru ini saya mendapatkan surel dari Emily: “Seiring waktu, segala sesuatu di bukumu menjadi menawan, termasuk bunga-bunga lusuh dan layu.”
Pada suatu malam, saya makan bersama Huang Xiao-qiang, istrinya, Feng Xiaoqin, dan keluarga mereka, yang dahulu memiliki restoran mi kesukaan saya. Pada 1998, Huang memperoleh surat izin mengemudi dan menyampaikan harapannya untuk membeli sebuah mobil kelak, sesuatu yang sepertinya mustahil dengan pendapatan keluarganya yang terbatas.
Tetapi, malam ini dia menjemput saya di hotel menggunakan sedan BYD hitam baru buatan Cina. Setelah makan malam, dia berkeras untuk mengantar saya pulang ke hotel. “Di bukumu kau katakan bahwa impian terbesarku adalah memiliki mobil,” kata Huang. “Dan ini adalah mobil ketigaku!”
Saya menanyakan impian terbesarnya saat ini. “Tidak ada lagi yang benar-benar kubutuhkan,” akhirnya dia menjawab. “Memiliki mobil adalah impian besarku. Semua yang penting sudah kami miliki sekarang.”
Cobalah tinggal di Cina, dan Anda akan menyadari bagaimana Beijing dan Shanghai menciptakan pandangan terlampau optimistis tentang negeri ini. Tetapi, inilah pertama kalinya saya berpikir bahwa Fuling pun mendatangkan reaksi sama. Kota ini berada di bawah yurisdiksi Kota Madya Chongqing, yang memperoleh anggaran lebih besar dari wilayah lainnya karena bendungan.
!break!
Ketika saya berkunjung, pejabat tertinggi di sana adalah Bo Xilai, yang dikenal berkat ambisi nasionalnya. Bersama kepala polisinya, Wang Lijun, Bo secara terang-terangan berupaya memberantas kriminalitas dan korupsi di jajaran kepolisian. Sebagai bagian dari proyek ini, kota-kota seperti Fuling wajib mendirikan pos-pos polisi terbuka, tempat para petugas berjaga sepanjang waktu.
Ini bukan gagasan baru, tetapi terasa revolusioner di China. Di beberapa pos yang saya kunjungi, para petugas sibuk menangani berbagai macam masalah yang dahulu kerap pecah semacam perkelahian jalanan. Ke mana pun saya pergi, orang-orang membicarakan reformasi Bo, dan saya menyadari bahwa baru kali ini di Cina saya bertemu dengan orang-orang yang berpendapat sangat positif tentang pemerintah mereka.
Namun, Anda tidak perlu beranjak jauh untuk mendengar kisah lain. Kemiskinan dan keterpencilan bukan lagi ciri khas Fuling, tetapi kota-kota kecil dan desa-desa masih menghadapi tantangan ini. Sebagian besar mantan murid saya tinggal di daerah semacam itu, mengajar bahasa Inggris di SMP dan SMA.
Surat-surat mereka mengingatkan saya tentang panjangnya langkah yang masih harus diambil oleh Cina: “Pak Hessler yang baik, maaf karena saya harus menyampaikan kabar buruk. Kota saya bernama Yihe di Kabupaten Kaixian di Chongqing.
Dua hari yang lalu, petir menyambar sekolah istri saya di desa. Tujuh orang murid kehilangan nyawa dan 44 orang terluka… Dahulu ada penangkal petir… tetapi sekolah tidak mampu menanggung biayanya.”
“Ibu salah seorang murid saya sudah sepuluh tahun bekerja [di sebuah pabrik] di Guangdong, dan [kembali] ke Luzhou bulan lalu. Dia menjadi korban penipuan kartu ATM… Dia kehilangan 45.000 yuan [lebih dari Rp68 juta]. Uang itu adalah tabungannya selama sepuluh tahun terakhir. Dia ingin menggunakannya untuk membangun rumah baru dan membiayai anak-anaknya kuliah… Dia pulang dan menangis berhari-hari, lalu dua hari kemudian menelan racun tikus dan meninggal di ranjangnya. Sayang sekali. Sulit untuk membayangkan makna 45.000 yuan bagi seorang wanita desa.”
Selama kunjungan saya, sekitar 15 orang mantan murid kembali ke Fuling untuk sebuah reuni dadakan. Beberapa dari mereka tinggal di kota-kota pesisir yang tengah berkembang, dan salah satunya berdagang di India. Seorang lagi dipenjara karena korupsi.
William Jefferson Foster, anak desa miskin yang mengganti namanya dengan nama Inggris nan berat, dapat hidup makmur dengan mengajar Bahasa Inggris kepada anak-anak pemilik pabrik kaya di timur. Emily kini bekerja di sebuah sekolah dasar di Fuling, dan dia bercerita tentang sepupunya, jebolan SMA yang dahulu tinggal di kantor saya di kampus.
!break!
Saat itu dia bekerja sebagai tukang kebun. Kemudian dia terjun ke dunia konstruksi, menjadi kontraktor, lalu mendalami bisnis perumahan; dan kini dia memiliki aset senilai lebih dari Rp152 miliar.
Pola pikir baru seperti itu lebih mengesankan saya daripada perubahan material. Saya berkesempatan menjadi dosen tamu pada suatu malam, dan dalam sesi tanya-jawab, seorang mahasiswa baru berdiri dan bertanya, “Apakah menurut Anda Cina akan dapat mengalahkan Amerika Serikat di bidang demokrasi dan kebebasan?” Ketika saya masih mengajar di sana, tidak seorang pun berani menanyakan hal semacam itu secara terbuka. Saya menjawab secara demokratis namun jujur. “Itu tergantung padamu dan generasimu.”
Saya juga mendapati bahwa masyarakat Cina yang berpendidikan sepertinya jauh lebih tertarik untuk menganalisis lingkungan mereka. Emily memberi tahu saya bahwa sepupunya mungkin kaya, tetapi uang tidak berhasil membahagiakannya.William dan istrinya baru-baru ini memutuskan untuk melanggar kebijakan “keluarga berencana” dengan hamil anak kedua.
Dia mengambil keputusan ini setelah menghadiri upacara penguburan seorang pria yang hanya memiliki seorang anak. “Saya harus bantu anaknya memanggul peti,” kata William. “Itu membuat saya memikirkan apa jadinya jika kami meninggal dan putri saya jadi sebatang kara. Sebaiknya dia punya saudara.”
Teman sekelasnya Mo Money—seorang lagi pemuda miskin yang mengganti namanya dengan nama Inggris mencolok—hidup sejahtera sebagai guru di sebuah sekolah elite di Chongqing. Namun, tekanan besar kehidupan urban Cina membuatnya bimbang.
“Kehidupan ini sangat kompetitif,” katanya. “Menurut saya, ini tahap istimewa bagi Cina. Orang Cina mungkin pernah mengkritik negara-negara lain saat melalui tahap ini—ada sangat banyak kritik pedas terhadap kapitalis Amerika dahulu, tetapi kini kami melalui hal yang sama.”
Dari Fuling saya memperoleh tumpangan ke Yangtze bersama seorang mahasiswa bernama Jimmy dengan SUV barunya. Kami melewati Kota Yunyang dan Fengjie yang telah ditata ulang, lalu tiba di Wushan baru. Situs kota tua Wushan terletak di tepi Yangtze, dan tempat-tempat yang baru saja dibangun terlihat mewah.
Tetapi, wilayah ini longsor selama beberapa tahun terakhir. Murid-murid saya secara berkala menyampaikan kabar buruk: “Banjir telah merendam sekolah kami, bahkan menjangkau ruang kelas di lantai dua. Banjir bandang sudah dua kali melanda sebelum ini. Kini semakin banyak yang meragukan proyek Tiga Ngarai. Sejak bendungan itu berdiri, Chongqing dan Sichuan menjadi arena bencana alam.”
“Saya ingin mengabarkan bahwa keluarga saya akan pindah akibat proyek Tiga Ngarai. Tetapi, saya tidak tahu ke mana penduduk desa kami akan pindah…orang-orang di sini tahu bahwa tanah longsorlah penyebabnya, namun pemerintah berkilah bahwa ini semua demi masa depan yang lebih baik.”
!break!
Beberapa saat usai kunjungan saya, Dewan Pemerintah Pusat Cina secara mengejutkan mengeluarkan pernyataan blak-blakan. Bahwa bendungan telah “menyebabkan beberapa masalah pelik dalam hal perlindungan lingkungan, pencegahan bahaya geologis, dan kesejahteraan masyarakat yang direlokasi.”
Dewan menegaskan bahwa langkah-langkah pengamanan telah diambil, tetapi ini mengingatkan bahwa pembangunan Waduk Tiga Ngarai belum sepenuhnya dan tidak akan pernah selesai.
Pada Maret 2012, skandal terbesar di Cina dalam puluhan tahun terakhir meledak di Chongqing. Bo Xilai dan Wang Lijun, yang semula sangat dipuja-puja, mendadak didepak dari Partai Komunis dan dituduh melakukan serangkaian kejahatan spektakuler.
Wang divonis bersalah untuk empat pelanggaran, termasuk penyalahgunaan jabatan dan penerimaan suap. Bo dituduh telah melakukan sederet panjang pelanggaran, dari “menerima suap berjumlah besar” hingga “hubungan seksual yang tidak senonoh,” menurut sumber resmi pemerintah.
Seorang murid saya mengakui bahwa ketika skandal ini pertama kali terungkap, laporan pendahuluan memastikan bahwa jabatan Wang akan diturunkan menjadi penanggung jawab pendidikan di kota madya. Para guru di sekolahnya di Chongqing sontak khawatir.
Selama bertahun-tahun mereka mengambil keuntungan dari uang makan siang siswa, dan kini mereka takut Wang akan membersihkan sekolah-sekolah. Sepengetahuan murid saya, korupsi sudah menjadi endemi di semua jajaran, tetapi paling tidak Bo dan Wang berani membuat perubahan.
“Wang memberi rakyat kesan aman dan Bo menghadirkan harapan,” tulisnya. “Mereka tidak sempurna, tetapi mereka benar-benar mengambil tindakan.”
Akhirnya jabatan Wang tidak jadi diturunkan; dia malah dipenjara selama 15 tahun. Murid saya menyampaikan kabar terbaru tentang uang makan siang haram: “Kami memperoleh uang ekstra saat Wang dipastikan tidak akan kembali.”
!break!
Perhentian terakhir saya adalah Wushan, tempat saya untuk pertama kalinya dalam delapan tahun menghubungi sebuah nomor. Saya tidak mengira akan berhasil: Di tempat-tempat yang mengalami perubahan pesat, tidak ada yang menyimpan satu nomor telepon dalam waktu lama.
Tetapi, Huang Zongming menjawab, dan sesaat kemudian saya sudah duduk di perahunya. Zongming dan saudaranya Zonggou adalah nelayan. Saya menyaksikan mereka pindah dari rumah mereka pada Juni 2003, ketika pembangunan waduk tahap pertama selesai.
Sepanjang pekan itu, air Yangtze membanjiri seluruh wilayah mereka, dan saya yakin kehidupan kedua bersaudara itu akan sepenuhnya berubah. Namun, kini saya mendapati bahwa hanya merekalah kenalan saya yang tetap sama. Pemerintah memberi mereka rumah baru di tepi Sungai Daning, anak Sungai Yangtze, tetapi keduanya lebih memilih tidur di perahu mereka, seperti yang telah mereka lakukan seumur hidup.
Hari ini perahu mereka mengarungi Daning. Jeram-jeram Daning dangkal pada kunjungan terakhir saya; kini menjadi bagian sungai yang tenang berkedalaman lebih dari 90 meter. Saya menanyakan pendapat Zongming tentang bendungan. Katanya, “Dahulu sungai justru lebih bagus.”
Hanya itu yang dikatakannya—analisis paling sederhana yang pernah saya dengar. Kedua bersaudara itu mengatakan bahwa ikan masih banyak di hulu, yang jeramnya dangkal dan deras. Kami mengarah ke sana. Saya membayangkan satu pesan terakhir: Cuaca ‘kan sempurna, ikan melimpah ruah. Sungai mengalir selamanya.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR