Sejam kincir berputar, namum belum ada pengunjung. Badan Dedy mulai berkeringat lantaran pancaran panas mesin diesel. Uap solar menguar dan menempel di muka dan kemejanya. Jambulnya pun melayu. Biasanya dia membutuhkan 20 liter solar dalam seminggu. Namun “sejak di sini,” katanya bersungut, “melewati dua kali malam minggu, 20 liter pun belum habis.”
Bagi warga kampung, kincir dalam komidi keliling sudah cukup menghibur—juga murah—meskipun tak mampu menandingi kincir raksasa milik taman wisata ternama di pesisir Jakarta. Setidaknya, dari ketinggian kincir ini pengunjung bisa menyaksikan pemandangan arena taman komidi yang sumpek, seruas jalan tol Serpong-Pondok Indah, dan gubuk-gubuk buruh bangunan.
Selama liburan Natal dan Tahun Baru di Ciledug, omset kincir mencapai dua puluhan juta rupiah. Itu baru kincir, belum empat wahana lain. Kala itu, Ismail dan Nyak mendapatkan penghasilan bersih rata-rata delapan juta rupiah semalam. “Setiap tahun bisa membiayai anak yatim sekitar Rp40 juta rupiah,” ujar Nyak merona bahagia. “Dulu membiayai 100-200 anak yatim, sekarang sudah sampai 400 anak.”
Di sudut taman komidi, tampak putaran atraksi ombak, yang bersegi dua belas, berhenti sejenak. Bunga—memang nama sebenarnya—seorang pelajar kelas satu sekolah dasar berlari sambil menolak ajakan kakaknya yang masih di atas, “Tidak mau. Ngeri dan pusing!”
Penumpang duduk bersiap dengan hanya berpegangan pada besi sandaran. Enam awak berlari mendorong komidi yang berputar mirip gasing oleng itu. Semuanya tak bersepatu lantaran tanah becek dan licin.
Bak balerina yang diiringi musik berirama waltz The Blue Danube karya Johann Strauss II, para awak mengayun sembari bergelantungan di papan, menggoyang pinggul sembari kaki berayun. Ketika ombak mulai miring ke tanah, mereka melayang dengan kedua kaki membujur ke depan. Pantat mereka nyaris menyentuh tanah. Namun, ketika komidi ombak menaik lagi, mereka berlari dan mengayun dengan bergelantungan. Begitulah seterusnya.
!break!
Di tengah badai kekalutan penumpang ombak, seseorang berperawakan kurus dan lincah tiba-tiba menuju komidi itu. Lalu dia beratraksi dengan mengayun dari bawah tempat duduk ke tempat duduk lainnya. Belakangan saya baru tahu, namanya Roy asal Indramayu, Jawa Barat.
Saat bergelantungan, kepalanya nyaris membentur tanah. Namun, tampaknya itu bagian dari kejutan yang menghibur penumpang, maupun penonton. Dia jungkir balik di jari-jari komidi ombak, mirip penari striptis. Penumpang yang tadinya merasa ngeri, kini terhibur. Atraksi diakhirinya dengan melompat salto ke tanah becek. Semua orang bertepuk tangan merayakan gempita malam itu.
Sejatinya, Roy bukanlah bagian awak komidi ombak tadi. Dia bekerja di kios arena ketangkasan lempar gelang dan bola genit milik kakaknya di taman komidi keliling itu. Namun, beberapa tahun silam, dia memang pernah bekerja sebagai pendorong komidi ombak di Cipanas.
Dibandingkan komidi ombak, dia lebih menyukai pekerjaan yang sekarang. “Kalau bongkar-bongkar tidak seberat ombak.” Suatu malam tatkala gempita memuncak, seorang pembawa pesan secara mendadak yang meminta kepada rombongan komidi keliling milik Ismail dan Nyak untuk segera angkat kaki pada malam itu juga.
Seluruh awak dan pedagang pun resah. Mereka menghadapi sebuah alasan klise: kebutuhan lahan parkir karena besok pagi Wali Kota akan meresmikan proyek jalan bawah tanah tak jauh dari lokasi komidi keliling itu. Tatkala matahari terbit, sebagian wahana komidi sudah berpindah tempat ke lahan yang lebih sempit dan lebih becek di Karang Tengah.
Cahaya lampu deretan gedung perkantoran dan apartemen tampak jelas dari anjungan komidi roda-roda gila di Pondok Betung. Di dasar wahana, beberapa kali Nurdin terjatuh dari sepeda, namun bangkit lagi. Dia gugup menghadapi penampilan pertamanya. “Baru seminggu saya belajar,” ujarnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR