Ada 55 jenis rangkong yang tersebar di permukaan bumi. Namun bagi Alan Kemp, peneliti asal AS yang tergila-tila pada rangkong sejak 1970-an, Rhinoplax vigil yang hidup di Sumatra dan Kalimantan meninggalkan kesan yang mendalam. Ia menggambarkan pertemuannya dengan satwa ini di tengah Pulau Borneo dalam tulisan pembuka bab pertama bukunya The Hornbills, yang terbit pada 1995.
Suara rangkong yang memiliki nama lokal enggang gading, memang mampu menyihir siapa pun yang mendengarnya. Vokalisasi kung… kung… kung… yang semakin lama bertempo semakin cepat dan diakhiri dengan suara bagaikan tawa yang lirih membahana di tengah hutan, mampu membuat saya merinding setiap kali mendengarnya. Suara ini bisa terdengar dua hingga tiga kilometer jauhnya di dalam hutan. Kemp menamainya maniacal laughter, dan Yoki, panggilan akrab Yok Yok, menyebut suara ini sebagai ketawa setan.
!break!
Di balik pesonanya, wilayah hutan yang kian menyempit menjadi suatu ancaman yang amat serius bagi rangkong. Dalam satu tahun, rata-rata sepasang enggang gading menghasilkan satu anak. Dalam rentang umurnya yang mencapai sepuluh tahun, burung ini matang kelamin pada usia sekitar tiga tahun. Jika diasumsikan bahwa waktu efektif berkembang biak adalah tujuh tahun, artinya sepasang rangkong hanya menghasilkan tujuh anak seumur hidupnya.
Namun, ada faktor pembatas yang sangat mutlak. Yaitu ketersediaan pohon sarang. Burung bertubuh besar ini harus mencari pohon berlubang yang memiliki minimal diameter 50 sentimeter, sekitar sepelukan orang dewasa yang tentunya ada di hutan primer, dan biasanya sangat rapuh karena usia.
“Jika ia tak menemukan sarang, fase memiliki anak ini akan terlewatkan,” kata Yoki yang tak sungkan menirukan suara rangkong di dalam kafe, di perjumpaan pertama kami pada 2009. Lantas, dengan semakin menyusutnya hutan primer di Indonesia, ke mana lagi rangkong akan mencari sarang?
Yang menjadi lebih celaka, lanjut Yoki, kita tak tahu populasi rangkong di alam. Ia membandingkan hal ini dengan riset rangkong di Thailand yang paling maju dan memiliki studi populasi yang sangat baik, dipimpin oleh Pilai Poonswad, wanita berusia 67 tahun yang masih aktif hingga kini. Sekarang Yoki sedang mencoba memperkirakan populasi satwa ini baik di Sumatra, maupun Kalimantan. Akhirnya, sasaran di masa mendatang adalah memperbarui status rangkong Indonesia dalam daftar IUCN.
Di kalimantan, walau tak semua suku memiliki pandangan khusus terhadap burung ini, rangkong memiliki kedekatan dengan budaya Dayak. Tak mengherankan pula jika enggang gading yang disebut penduduk setempat dengan nama tingaang ini ditahbiskan menjadi simbol Provinsi Kalimantan Barat.
“Orang Dayak dari subsuku Kenyah mengagungkan enggang sebagai simbol alam atas, atau alam dewata. Manifestasi penghormatan masyarakat Dayak terhadap enggang itu dapat dilihat dalam tari Kancet Lasan. Ia adalah potret nyata bagi terciptanya harmonisasi antara manusia dengan alam,” ungkap Faizal Amin.
Bagi masyarakat Dayak suku Taman dan Kayan, burung enggang dianggap sebagai burung tunggangan Dewata yang mengantarkan arwah ke Bukit Lumut, papar Faizal, seorang dosen STAIN Pontianak yang pernah melakukan penelitian manuskrip klasik tentang tradisi berhuma komunitas Dayak.
Bagi Martinus Nanang, dosen sosio-antropologi di Universitas Mulawarman, Samarinda, yang terlahir ke dalam komunitas Dayak Benuaq di Kutai Barat, Kalimantan Timur, simbol enggang bermakna kekuasaan, karena “enggang selalu berada di tempat yang paling tinggi. Terbang tinggi dan hinggap di pohon yang tinggi,” ungkapnya.
Selain itu, menurutnya bagi orang Dayak, bulu enggang yang berwarna hitam dan putih adalah simbol dari keindahan. “Enggang sangat populer dan penting bagi suku-suku yang tergolong kelompok Kayan: Bahau, Kayan, dan Kenyah,” lanjutnya, walau ia tak menampik kemungkinan bahwa mungkin tak hanya kelompok tersebut yang mengagungkan enggang.
Selain itu, enggang juga merupakan lambang kesetiaan karena tak akan mencari pasangan lain dalam hidupnya, bahkan setelah ditinggal mati.
!break!
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR