Saat sekitar 7.000 orang asing yang terpesona pertama kali melihatnya di atas pentas di depan umum, dia belum menjadi paus—tetapi, sudah ada sesuatu yang mengagumkan dalam diri lelaki itu. Di dalam Stadion Luna Park, di pusat kota Buenos Aires, Argentina, umat Katolik Roma dan umat Kristen Injili berkumpul dalam sebuah acara ekumene.
Dari panggung, seorang pendeta meminta uskup agung kota itu naik dan mengucapkan beberapa patah kata. Meskipun seorang kardinal, dia tak mengenakan kalung salib, hanya kemeja pastor hitam dan blazer, seperti dirinya puluhan tahun silam, saat masih menjadi pastor biasa. Dia kurus, sudah berumur, berwajah sedih dan serius, dan pada saat itu sembilan tahun silam, sulit dibayangkan bahwa orang Argentina yang begitu bersahaja dan suram itu akan dikenal, di seluruh penjuru dunia, sebagai sosok yang cerah dan berkarisma.
Dia berbicara dalam bahasa ibunya, bahasa Spanyol. Dia berkata bahwa pembedaan tidak penting bagi Tuhan. “Betapa indahnya,” katanya, “bahwa kita bersaudara dapat bersatu, bahwa kita bersaudara dapat berdoa bersama. Betapa indahnya melihat tidak ada yang membicarakan sejarah aliran kepercayaanya—bahwa kita beragam tetapi kita ingin dan sudah mulai menjadi, keberagaman yang hidup damai.”
Dengan tangan mendepang, wajahnya tiba-tiba bersemangat, lalu dengan suara gemetar penuh perasaan, dia berseru kepada Tuhan: “Bapa, kami terpecah. Persatukanlah kami!”
Orang-orang yang mengenal uskup agung itu tercengang, karena raut wajahnya yang biasanya kaku membuatnya mendapat julukan seperti “Mona Lisa” dan “Carucha” (karena bergelambir seperti bulldog). Namun, apa yang akan dikenang dari hari itu, terjadi begitu dia berhenti berbicara. Perlahan-lahan tubuhnya turun hingga berlutut, di atas panggung—memohon hadirin mendoakan dirinya. Setelah terdiam kaget sejenak, mereka pun berdoa, dipimpin seorang pendeta Injili. Bayangan sang uskup agung berlutut di tengah orang-orang berstatus lebih rendah, postur memohon yang rendah hati sekaligus dahsyat, akan menghiasi sampul depan media di Argentina.
!break!Salah satu terbitan yang memajang foto itu adalah Cabildo, majalah yang dipandang sebagai suara umat Katolik ultrakonservatif di negara itu. Artikelnya disertai judul yang menggunakan kata benda yang menyentak: apóstata. Sang kardinal sebagai pengkhianat imannya.
Inilah Jorge Mario Bergoglio, yang kelak menjadi Paus Fransiskus.
“Saya benar-benar perlu mulai membuat perubahan sekarang juga,” kata Paus Fransiskus kepada beberapa teman Argentinanya suatu pagi, hanya dua bulan setelah 115 kardinal di konklaf Vatikan melambungkan dirinya dari orang yang relatif tidak dikenal menjadi paus. Bagi banyak pengamat—ada yang gembira, ada yang tidak nyaman—paus yang baru ini sepertinya sudah mengubah semua, sepertinya dalam semalam. Dia paus Amerika Latin pertama, paus Yesuit pertama, paus pertama yang setelah seribu tahun lebih bukanlah kelahiran Eropa, dan paus pertama yang mengambil nama Fransiskus, untuk menghormati Santo Fransiskus dari Assisi, pejuang kaum miskin.
Tak lama setelah pemilihannya pada 13 Maret 2013, sang pemimpin baru Gereja Katolik muncul di balkon Basilika Santo Petrus berpakaian putih-putih, tanpa mozeta merah tradisional tersampir di bahu, atau tanpa berkalung stola merah bersulam emas. Dia menyapa kerumunan yang bergemuruh di bawahnya dengan kesederhanaan yang menyengat: “Saudara-saudari, selamat malam.” Ketika pergi, dia berjalan melewati limusin yang menantinya dan naik ke bus yang mengangkut para kardinal yang baru saja menjadikannya pemimpin mereka.
Esok paginya sang paus membayar sendiri bon di hotel tempatnya menginap. Menolak apartemen paus tradisional di Istana Apostolik, dia memilih tinggal di rumah dua kamar di Casa Santa Marta, wisma tamu Vatikan. Dalam pertemuan pertamanya dengan pers internasional, dia mencanangkan ambisi utamanya: “Betapa saya menginginkan gereja yang miskin dan melayani kaum miskin.” Dan alih-alih merayakan Misa malam untuk Kamis Putih (memperingati Perjamuan Terakhir) di basilika dan membasuh kaki para pastor sebagaimana tradisi, dia berkhotbah di penjara remaja, tempat dia membasuh kaki selusin narapidana, termasuk perempuan dan Muslim, hal pertama bagi seorang paus. Ini semua terjadi pada bulan pertama sebagai uskup Roma.
!break!Namun, teman-teman berkebangsaan Argentina dari sang paus baru ini memahami yang dimaksudnya soal “perubahan.” Meski tindakannya yang kecil pun berdampak besar, lelaki yang mereka kenal tidak pernah puas hanya menampakkan simbol. Dia ingin Gereja Katolik membuat perubahan kekal dalam kehidupan manusia—menjadi, seperti yang sering dikatakannya, rumah sakit di medan perang, menerima semua orang yang terluka, di pihak mana pun mereka bertempur.
Paus Fransiskus adalah putra seorang akuntan yang keluarganya beremigrasi dari wilayah Piemonte di Italia barat laut. Bergoglio sudah menonjol sejak masuk ke seminari pada 1956 di usia 20, setelah bekerja sebagai teknisi lab dan sesaat sebagai tukang pukul di klub. Tak lama kemudian, dia memilih Serikat Yesus yang menuntut kecerdasan sebagai jalan menuju kepastoran. Semasa menjadi mahasiswa di Colegio Máximo de San José pada 1963, dia memiliki “ketajaman spiritual maupun keterampilan politik yang tinggi,” menurut salah seorang dosennya, Pastor Juan Carlos Scannone.
Dia mengajari anak-anak nakal, membasuh kaki narapidana, belajar di luar negeri. Dia menjadi rektor Colegio Máximo, juga pengunjung tetap perkampungan kumuh melarat di seluruh Buenos Aires. Dan dia mendaki hierarki Yesuit sambil mengarungi politik keruh pada era ketika hubungan Gereja Katolik bermasalah dengan Presiden Juan Perón, kemudian dengan kediktatoran militer. Dia tak disukai para senior Yesuit-nya, lalu diselamatkan dari pengasingan oleh seorang kardinal yang mengaguminya, kemudian menjadi uskup pada 1992, uskup agung pada 1998, dan kardinal pada 2001.
Bergoglio yang pemalu—menggambarkan diri sebagai callejero, atau pengembara jalanan—lebih suka berteman dengan kaum miskin daripada kaum berada. Kegemarannya sendiri tidak banyak: sastra, sepak bola, musik tango, dan pasta gnocchi. Meski sangat sederhana, ia makhluk kota, pengamat sosial yang tajam, dan dengan gayanya yang tenang, pemimpin alami. Dia juga pandai memanfaatkan momen—baik pada 2004, mengecam korupsi dalam pidato yang dihadiri presiden Argentina, atau di Luna Park pada 2006, turun berlutut. Seperti kata Pastor Carlos Accaputo, penasihat yang akrab dengan Bergoglio sejak bekerja untuknya pada 1992, “Menurut saya, Tuhan telah mempersiapkannya, sepanjang pelayanan kepastorannya, untuk saat ini.”
!break!Lebih dari itu, pemilihannya sebagai paus bukanlah kebetulan. Seperti yang dijelaskan penulis Roma, Massimo Franco, “Pemilihannya muncul dari trauma”—dari pengunduran diri mendadak dari paus yang menjabat, Benediktus XVI, dan dari menguatnya pendapat di kalangan kardinal progresif bahwa suasana pemikiran Takhta Suci yang kolot dan Eropa-sentris sedang menggerogoti Gereja Katolik dari dalam.
Saat duduk di ruang tamu apartemennya pagi itu, sang paus mengakui kepada teman-teman lamanya tentang tantangan menggentarkan yang menantinya. Kesemrawutan keuangan di Institute for the Works of Religion (yang secara tidak sopan dijuluki bank Vatikan). Ketamakan birokratis yang menggoda administrasi pusat, yang dinamai Kuria Roma. Terus terungkapnya kasus pastor paedofil yang dilindungi pejabat gereja dari keadilan.
Norberto Saracco, temannya yang pendeta Pantekosta dan cendekiawan, masih ingat dia mengungkapkan kekhawatirannya tentang keberanian sang paus. “Jorge, kita tahu kau tidak memakai rompi antipeluru,” katanya. “Di luar sana banyak orang gila.”
Fransiskus menjawab dengan tenang, “Tuhan menempatkan saya di sini. Dia akan menjaga saya.” Meskipun dia tidak pernah ingin menjadi paus, dia berkata bahwa begitu namanya disebutkan di konklaf, dia merasakan kedamaian yang besar. Dan meski dia mungkin akan menimbulkan kebencian yang besar, dia menenangkan teman-temannya, “Saya masih merasakan kedamaian itu.”
Saat Federico Wals, yang pernah menjadi asisten pers untuk Bergoglio, berkunjung ke Roma tahun lalu untuk menemui sang paus, dia mengunjungi dulu Pastor Federico Lombardi, pejabat komunikasi Vatikan yang memiliki tugas yang sama seperti Wals terdahulu, tetapi pada skala yang jauh lebih besar. “Jadi, Bapa,” tanya si orang Argentina, “bagaimana perasaan Anda tentang mantan atasan saya?” Berhasil tersenyum, Lombardi menjawab, “Bingung.”
!break!Lombardi pernah menjadi juru bicara Benediktus, yang sebelumnya bernama Joseph Ratzinger, seorang lelaki dengan ketelitian khas Jerman. Setelah bertemu dengan pemimpin negara, mantan paus itu biasanya datang dan menyampaikan ringkasan tajam dengan cepat. Lombardi bercerita dengan kerinduan yang terasa nyata: “Luar biasa. Benediktus begitu jelas. Dia biasa berkata, ‘Kami membicarakan hal-hal ini, saya sepakat dengan hal-hal ini, saya mendebat hal-hal lain, tujuan pertemuan kami berikutnya adalah ini’—dua menit dan saya memahami isi pertemuan tersebut. Dengan Fransiskus—‘Orang ini bijak; dia memiliki pengalaman menarik ini-ini-ini.’ ”
Terkekeh pasrah, Lombardi menambahkan, “Diplomasi bagi Fransiskus bukan soal strategi, melainkan, ‘Saya bertemu dengan orang ini, sekarang kami memiliki hubungan pribadi, mari kita berbuat baik bagi masyarakat dan gereja.’ ”
Juru bicara sang paus menceritakan etos baru Vatikan sambil duduk di ruang rapat kecil di gedung Radio Vatikan. Lombardi berpakaian pastor kusut selaras dengan raut bingung dan lelah di wajahnya. Baru saja kemarin, katanya, sang paus mengadakan pertemuan di Casa Santa Marta bersama 40 pemimpin Yahudi—dan kantor berita Vatikan baru mengetahuinya setelah acara. “Tidak ada yang tahu semua kegiatannya,” kata Lombardi. “Sekretaris pribadinya pun tidak tahu.
Penampilan paus baru ini, dengan arloji plastik dan sepatu ortopedis besar, yang sarapan di kantin Vatikan, membutuhkan pembiasaan. Juga selera humornya, yang sangat informal. Setelah dikunjungi di Casa Santa Marta oleh teman lama sesama orang Argentina, Uskup Agung Claudio Maria Celli, Paus Fransiskus bersikeras mengantar tamunya ke lift.
“Buat apa ini?” tanya Celli. “Mau memastikan aku benar-benar pergi?”
Tanpa ragu, sang paus menceletuk, “Dan memastikan kau tidak mengambil apa-apa.”
!break!Seperti banyak lembaga, Vatikan tidak mudah menerima perubahan, dan mencurigai orang yang hendak membawanya. Sejak abad ke-14, episentrum Katolik ini adalah negara-kota bertembok seluas 44,5 hektare di dalam kota Roma. Vatican City sudah lama menjadi magnet bagi wisatawan, berkat Kapel Sistina dan Basilika Santo Petrus. Tempat ini pun menjadi tujuan ziarah bagi 1,2 miliar penganut Katolik di bumi—yang berarti dunia datang ke sini dan bukan sebaliknya. Birokrasi diplomasinya, dengan kekhasan birokrasi, menghadiahi uskup yang disukai dengan jabatan empuk sementara menugaskan uskup yang kurang disukai ke wilayah dunia yang relatif suram. Selama berabad-abad kota ini selamat menghadapi penaklukan, wabah, kelaparan, fasisme, dan skandal. Temboknya bertahan.
Sekarang datang Paus Fransiskus, lelaki yang membenci tembok dan pernah berkata kepada seorang teman saat melewati Casa Rosada, kediaman presiden Argentina: “Bagaimana mereka bisa tahu keinginan rakyat jika membangun pagar di sekeliling diri mereka?” Dia ingin menjadi sosok yang disebut Franco, yang menulis buku tentang Paus Fransiskus dan Vatikan, sebagai “paus yang mudah didekati umatnya—suatu hal yang biasanya tak terjadi.” Membayangkan itu saja sepertinya sudah membuat pucat wajah buram Vatikan.
Para pejabat Vatikan masih berusaha menimbang-nimbang lelaki itu. Mereka mungkin tergoda untuk melihat reaksi tulus sang paus sebagai bukti bahwa dia makhluk yang dikuasai naluri murni. “Benar-benar spontan,” kata Lombardi tentang tindakan Paus Fransiskus yang menuai banyak komentar selama kunjungannya ke Timur Tengah—antara lain, memeluk seorang imam, Omar Abboud, dan seorang rabi, temannya Skorka, setelah berdoa bersama mereka di Tembok Barat. Tetapi sebenarnya, kata Skorka, “Saya membicarakan itu dengannya sebelum kami berangkat ke Tanah Suci—saya berkata, ‘Ini mimpi saya, berpelukan dengan Anda dan Omar di samping tembok.’”
Bahwa Paus Fransiskus sudah menyanggupi permintaan rabi itu sebelumnya, menyiratkan kesadaran bahwa setiap tindakan dan suku katanya akan dianalisa arti simbolisnya. Kehati-hatian seperti itu sangat sesuai dengan sosok Jorge Bergoglio yang dikenal teman-temannya, yang menepiskan pemikiran bahwa dia tak bersiasat. Mereka menggambarkannya sebagai “pemain catur,” yang “mengatur dengan sempurna” setiap hari yang dijalani, “memikirkan matang-matang setiap langkah yang hendak diambilnya.”
!break!Bahkan dalam perubahan gaya hidup yang tampak drastis, dia mau menyesuaikan diri secara wajar dengan realitas hidup di Vatikan. Dia sempat mengusulkan bahwa Garda Swiss-nya tidak perlu mengikutinya ke mana-mana, tetapi sejak itu pasrah dengan kehadiran mereka yang hampir tak pernah putus. Meski dia menolak mobil paus berlapis kaca antipeluru yang sering digunakan sejak upaya pembunuhan Paus Yohanes Paulus II pada 1981, dia menyadari bahwa dia tidak dapat lagi naik kereta bawah tanah dan membaur di kampung kumuh, yang terkenal sering dilakukannya di Buenos Aires.
Menurut teman-temannya, sebagai pemimpin Vatikan dan orang Argentina, dia merasa wajib menyambut presiden negaranya, Cristina Fernández de Kirchner, sekalipun dia menyadari bahwa sang presiden memanfaatkan kunjungan itu untuk meraih keuntungan politik. “Saat Bergoglio menyambut sang presiden dengan ramah, itu benar-benar karena belas kasihnya,” kata pendeta Injili dari Buenos Aires, Juan Pablo Bongarrá. “Presiden itu tidak layak menerimanya. Tetapi, demikianlah Tuhan mengasihi kita, dengan belas kasih murni.”
Meski tampak tenang, Paus Fransiskus tetap mendekati tanggung jawab barunya dengan keseriusan yang dilembutkan oleh kerendah-hatian khas dirinya. Seperti yang dikatakannya tahun lalu kepada mantan muridnya, penulis Argentina, Jorge Milia, “Saya mencari-cari di perpustakaan Benediktus, tetapi tidak berhasil menemukan buku petunjuk. Jadi, saya berusaha sebaik yang saya bisa.”
Dia, menurut media, seorang reformator. Radikal. Revolusioner. Dan dia juga bukan semua itu. Dampak yang ditimbulkannya sejauh ini tak mungkin luput dari perhatian, tak mungkin pula diukur. Fransiskus telah menyulut percik spiritual tak hanya di tengah umat Katolik, tetapi juga umat Kristiani lain, umat agama lain, dan bahkan orang tidak beragama. Seperti kata Skorka, “Dia tengah mengubah religiositas di seluruh dunia.” Sang pemimpin Gereja Katolik dipandang luas sebagai kabar baik untuk lembaga yang bertahun-tahun sebelum kedatangannya hanya mengenal kabar buruk.
Bagi sebagian pejabat, popularitas sang paus juga mengancam. Ini menegaskan mandat yang diberikan kepadanya oleh para kardinal yang menginginkan pemimpin yang dapat menanggalkan keberjarakan gereja dan mendekatkan diri pada pengikutnya secara spiritual. Salah seorangnya, Kardinal Peter Turkson dari Ghana, mengenang, “Menjelang konklaf, saat semua kardinal berkumpul, kami berbagi pandangan. Ada suasana tertentu: Mari kita usahakan perubahan. Suasana seperti itu terasa kuat di dalam.”
!break!“Kardinal Bergoglio tidak terlalu dikenal oleh orang-orang yang berkumpul di sana,” Turkson melanjutkan. “Tetapi, lalu dia berbicara—semacam manifesto darinya. Dia menasihati hadirin bahwa kami perlu memikirkan gereja yang menjangkau ke pinggiran—tidak hanya secara geografis tetapi ke pinggiran keberadaan manusia. Menurutnya, Injil mengajak kami semua untuk memiliki kepekaan seperti itu. Itulah sumbangsihnya. Dan itu membawa semacam kesegaran untuk pelaksanaan pelayanan pastoral, pengalaman yang berbeda dalam melayani umat Tuhan.”
Bagi orang seperti Turkson yang menginginkan perubahan, Fransiskus tidak mengecewakan. Dalam dua tahun dia menunjuk 39 kardinal, 24 di antaranya berasal dari luar Eropa. Sebelum menyampaikan pidato yang menyengat pada Desember lalu ketika dia menyebutkan satu per satu “penyakit” yang menjangkiti kuria (di antaranya, “membanggakan diri,” “bergunjing,” dan “laba duniawi”), sang paus menugasi sembilan kardinal—semua kecuali dua adalah orang luar di kuria—untuk mereformasi lembaga itu. Menyebut penganiayaan seksual di gereja sebagai “kultus asusila,” dia membentuk Pontifical Commission for the Protection fo Minors yang dipimpin Seán Patrick O’Malley, uskup agung Boston.
Untuk menjadikan keuangan Vatikan lebih transparan, sang paus mendatangkan mantan pemain rugbi yang tangguh, Kardinal George Pell dari Sydney, Australia, dan mengangkatnya sebagai pejabat pimpinan Sekretariat Ekonomi—jabatan yang menempatkan Pell sejajar dengan sekretaris negara. Di tengah semua penunjukan ini, sang paus melakukan tindakan yang menghormati pemerintahan lama: Dia mempertahankan jabatan Kardinal Gerhard Müller, orang garis keras yang ditunjuk oleh Paus Benediktus, sebagai kepala Kongregasi Ajaran Iman, yang menegakkan keyakinan gereja.
Tindakan seperti itu merupakan pertanda perubahan—tetapi sulit menentukan akan ke mana ujungnya nanti. Beberapa tindakannya menggiur kaum reformis maupun kaum Katolik yang lebih tradisional. Sinode Keluarga awal yang diadakan Fransiskus pada Oktober lalu tidak menghasilkan perubahan doktrin yang meluas, menenangkan kaum Katolik konservatif yang memang mencemaskan hal itu.
!break!Tetapi, sinode sebenarnya pada Oktober ini dapat membuahkan hasil yang berbeda. Soal penghapusan pelarangan Komuni bagi orang Katolik yang bercerai dan pernikahannya tidak dibatalkan, Scannone, teman dan mantan dosen sang paus, berkata, “Dia memberi tahu saya, ‘Saya ingin mendengar semua orang.’ Dia akan menunggu sampai sinode kedua, dan dia akan mendengar pendapat semua orang, tetapi dia jelas terbuka terhadap perubahan.”
Demikian pula, Saracco, sang pendeta Pantekosta, membahas dengan sang paus kemungkinan menghapuskan persyaratan kehidupan selibat untuk menjadi pastor. “Jika dia dapat bertahan terhadap tekanan gereja saat ini dan hasil Sinode Keluarga pada bulan Oktober,” katanya, “saya rasa setelah itu dia siap berbicara tentang selibat.” Ketika saya bertanya apakah sang paus mengatakan hal ini atau Saracco mengandalkan firasat, Saracco tersenyum penuh rahasia dan berkata, “Ini lebih dari sekadar intuisi.”
Namun, kata dan perbuatan sang paus kini bagaikan bercak tinta Rorschach yang dapat ditafsirkan pemirsanya sesuai keinginan masing-masing. Bagi lelaki yang kata dan kebiasaannya begitu sederhana, ini terkesan ironis.
Pada 2010, Yayo Grassi, pengusaha jasa boga di Washington, D.C., mengirim surel kepada mantan gurunya, sang uskup agung Buenos Aires. Grassi, seorang homoseksual, membaca bahwa mentor yang disayanginya mengecam undang-undang yang akan melegalkan pernikahan sesama jenis. “Selama ini Anda menjadi pemandu saya, terus menampakkan cakrawala baru bagi saya—Anda membentuk aspek pandangan saya yang paling progresif,” tulis Grassi. “Dan mendengar ini dari Anda sangatlah mengecewakan.”
!break!Sang uskup agung membalas melalui surel—meski tentu memberi draf dengan tulisan tangan kecil kepada sekretarisnya, karena Paus Fransiskus, saat itu maupun sekarang, belum pernah membuka Internet, menggunakan komputer, atau bahkan memiliki ponsel. Dalam tulisan awalnya, ia menyatakan bahwa dia menganggap serius kata-kata Grassi. Pendirian Gereja Katolik tentang pernikahan memang demikian. Tetapi, Bergoglio merasa sedih karena menyebabkan muridnya kecewa. Mantan maestrillo Grassi itu meyakinkannya bahwa media salah menafsirkan pendiriannya. Terutama, dalam pelayanannya sebagai pastor, tidak ada tempat bagi homofobia.
Korespondensi surel ini memberi gambaran sekilas tentang apa yang dapat, dan tidak dapat diharapkan dari kepausannya. Pada akhirnya, Bergoglio tidak meninggalkan pendiriannya yang menentang pernikahan sesama jenis, yang dipandangnya sebagai ancaman terhadap “identitas dan keselamatan keluarga: ayah, ibu, dan anak-anak.” Di antara belasan teman yang saya wawancarai, tidak ada yang meyakini bahwa Fransiskus akan menilai ulang pendirian gereja tentang masalah ini.
Hal yang kini memukau orang ramai di Lapangan Santo Petrus: putih menyilaukan dari pakaian pausnya, kini melambangkan kesederhanaan yang mudah didekati umatnya. Selain itu, ada pula kedekatannya dengan jalanan, yang diperkuat pandangan Yesuit yang mementingkan keterlibatan dengan masyarakat—el encuentro, pertemuan, kegiatan yang jelas jauh lebih berat daripada penerbitan doktrin yang tidak bersifat pribadi. Karena hal ini memerlukan keberanian merendahkan diri.
Itulah yang mendorong Bergoglio turun berlutut dan meminta doa ribuan orang Kristen Injili. Itulah yang menyebabkan air matanya berlinang saat mengunjungi perkampungan kumuh di Buenos Aires ketika seorang lelaki menyatakan dia tahu sang uskup agung adalah bagian dari masyarakat karena pernah melihatnya duduk di kursi belakang bus. Dan itulah yang mengguncang jutaan orang ketika dua tahun lalu, ketika dalam momen retorika kepausannya, Paus Fransiskus mengucapkan kata-kata sederhana dan mencengangkan, yang diucapkan sebagai pertanyaan lembut untuk menjawab pertanyaan soal pastor homoseksual: “Siapa saya sehingga berhak menghakimi?”
!break!Tampaknya inilah misi sang paus: menyulut revolusi di dalam Vatikan dan di luar temboknya, tanpa menjungkirbalikkan segudang ajaran yang sudah lama dianut. “Dia tidak akan mengubah doktrin,” kata de la Serna, teman Argentinanya, bersikeras. “Yang akan dilakukannya adalah mengambilkan gereja ke doktrin sejatinya—doktrin yang telah dilupakan gereja, yang menempatkan manusia kembali di pusatnya. Sudah terlalu lama gereja menempatkan dosa di pusat.”
Tetapi, lelaki yang memberi tahu teman-temannya bahwa dia perlu “mulai melakukan perubahan sekarang” tak punya banyak waktu. Komentarnya pada musim semi ini bahwa kepausannya mungkin hanya “empat atau lima tahun” tak mengejutkan teman-temannya, yang tahu bahwa dia ingin menjalani sisa hidupnya di kampung halaman. Tetapi, kata-kata itu tentu menenangkan golongan garis keras di Vatikan yang akan berupaya memperlambat upaya Fransiskus mereformasi gereja dan berharap bahwa penerusnya bukan lawan yang tangguh.
Tetap saja, revolusi ini, baik berhasil atau tidak, tetap lain dari yang lain, setidaknya karena dikerahkan dengan kegembiraan yang tak kenal lelah. Ketika uskup agung baru Buenos Aires, Kardinal Mario Poli, mengunjungi Kota Vatikan dan berkomentar kepada Fransiskus, betapa luar biasanya melihat temannya yang dulu muram kini selalu tersenyum, sang paus mempertimbangkan kata-kata itu dengan cermat, seperti biasa.
Lalu Fransiskus, pastinya sambil tersenyum, berkata, “Menjadi paus itu sangat menghibur.”
---
Fotografer Dave Yoder dan penulis Robert Draper bekerja sama menyusun buku National Geographic yang segera terbit, Pope Francis and the New Vatican.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR