Ada seribu spesies pohon dengan berbagai ukuran, banyak di antaranya tersambung oleh liana lebat. Di antara yang terpenting secara ekologi adalah pohon ara. Pohon ini berbuah sepanjang tahun, mencukupi kebutuhan banyak binatang sepanjang musim kemarau.
“Saya pernah melihat seratus monyet di satu pohon,” kata John Terborgh, pakar ekologi dari Duke University. “Pada malam yang terang oleh rembulan, kalau mereka lapar, mereka akan bangun pada pukul dua dini hari dan siap di pohon pada pukul empat.”
Terbogh dan rekan-rekannya mengelola Stasiun Biologi Cocha Cashu segera usai taman nasional ini ditetapkan pada 1973.
“Manú adalah salah satu dari beberapa tempat di wilayah tropis yang memberikan kesempatan untuk mengalami dan mempelajari biodiversitas yang masih asli,” ungkap Kent Redford, ahli ekologi di Archipelagi Consulting di Portland, Maine.
Dengan kekayaannya yang melimpah, Manú bukan Taman Firdaus yang tidak tersentuh. Tempat ini menyimpan banyak sejarah. Banyak suku dengan berbagai bahasa tinggal di sepanjang Sungai Manú, yang disebut Sungai Perumahan oleh salah satu suku akibat kepadatannya. Suku Inca dan penjajah Spanyol, gagal menaklukkan suku-suku yang telah menetap. Tetapi perdagangan dengan Inca menghubungkan mereka dengan wilayah yang lebih luas. Dan penyakit-penyakit yang dibawa orang Spanyol, yang telah membunuh tidak terhitung banyaknya penduduk asli, mulai menghubungkan mereka dengan dunia luar.
Pada 1890-an dunia ini sekali lagi terbalik. Harga karet untuk ban tengah menjulang. Para baron penguasa bisnis karet mempekerjakan penduduk asli Amazon untuk menyadap karet dan juga menyerang suku-suku lain untuk mencari budak. Seorang baron ambisius, Carlos Fermín Fitzcarrald, membuka Basin Manú untuk penyadapan karet.
Bersama pasukan Piro-nya, Fitzcarrald berupaya memperbudak suku-suku di sepanjang Manú. Ratusan orang tewas dalam perlawanan. Salah satu suku, Toyeri, nyaris tersapu bersih. Sebagian anggota pasukan Mascho-Piro tewas, dan sebagian lainnya diperkirakan kabur ke dalam hutan. Keturunan merekalah yang akhir-akhir ini membuat berita dengan keluar dari hutan dan berusaha menjalin kontak dengan dunia modern.
Singkatnya, dalam hal geografi politik Manú tidak bersifat purba maupun terisolasi. Wilayah itu telah lebih dari seabad terpengaruh oleh kekuatan ekonomi global, yang menjadikan inovasi teknologi dan permintaan konsumen di bagian dunia lain membentuk—dan kerap merusak—kehidupan mereka yang tinggal di dekat sumber daya alam yang berharga.
Setelah demam karet berlalu, sebagian besar orang Piro—yang sekarang biasa disebut Yine, dari bahasa mereka—pindah ke hilir Sungai Manú, dan akhirnya membangun perkam-pungan seperti Boca Manú dan Diamante di Sungai Alto Madre de Dios. Matsigenka menduduki wilayah-wilayah yang ditinggalkan oleh Piro. Mereka pindah dari barat dan selatan, mula-mula ke bagian hulu sungai yang terpencil, namun kemudian menempati pinggir sungai Manú yang terbengkalai, setelah banyak sekolah misionaris didirikan di sana pada 1960-an.
Di berbagai komunitas seperti Tayakome dan Yomibato, Suku Matsigenka kini tidak hanya memiliki sekolah tetapi juga klinik kesehatan dan pesawat-pesawat telepon satelit bersama. Dana amal yang baru-baru ini diterima dari Rainforest Flow digunakan untuk memasang sistem sanitasi dan pengolahan air yang mengalirkan air bersih ke hampir setiap rumah. Warga memburu, mengumpulkan, dan menumbuhkan bahan makanan mereka sendiri. Namun mereka juga memutar lagu-lagu pop Peru, hingga memadukam sandal Crocs palsu dan kaus bertulisan semacam “Palm Beach” dengan pakaian adat mereka. Orang Matsigenka yang tinggal di dekat hulu masih mengenakan kain tenunan tangan dan bertahan hidup tanpa uang atau peranti logam. Sedikit demi sedikit, mereka pindah ke desa-desa di pinggir sungai, mencari kapak dan perawatan medis.
Mereka juga memutar lagu-lagu pop Peru, hingga memadukam sandal Crocs palsu dan kaus bertulisan semacam “Palm Beach” dengan pakaian adat mereka.
Suku Mashco-Piro jauh lebih terisolasi. Sejak masa kejayaan karet berakhir, mereka mengasingkan diri, berburu dan mengumpulkan bahan makanan jauh di tengah hutan. Tetapi mereka menyadari keberadaan dunia luar, dan dalam lima tahun terakhir anggota-anggota salah satu kelompok mulai bermunculan di pinggir Alto Madre de Dios, tepat di luar taman nasional, memberi isyarat ke arah perahu-perahu di sungai untuk meminta makanan. Mereka mungkin tergusur ke luar oleh rongrongan industri pertambangan, gas alam, dan penebangan atau semakin berkurangnya jumlah peccary, makanan utama mereka.
Para turis dan penduduk setempat berderma kepada mereka, namun kadang-kadang hal ini berakhir tragis. Pada 2011 beberapa orang Mascho-Piro membunuh Nicolas “Shaco” Flores, seorang Matsigenka yang telah bertahun-tahun memberi mereka peralatan dan makanan. Pada 2015 mereka membunuh seorang pemuda di Desa Shipetiari.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR