Elias Machipango Shuverireni mengangkat busur panah kayu palem panjang dan anak-anak panah bermata bambu tajamnya. Kami akan berburu monyet di Taman Nasional Manú—areal hutan yang dilindungi dan salah satu taman nasional dengan keanekaragaman hayati terkaya di dunia.
Perburuan ini legal. Elias adalah bagian dari kelompok penduduk asli Matsigenka, yang kurang dari seribu orang di antaranya menghuni taman, terutama di sepanjang tepi Sungai Manú dan cabang-cabangnya. Semua penghuni asli taman nasional—suku-suku pedalaman termasuk Matsigenka—berhak memanen tanaman dan memburu binatang untuk dimanfaatkan sendiri. Namun, mereka tidak bisa menjual hasil dari taman nasional tanpa izin khusus, begitu pula berburu menggunakan senjata api. Elias dan istrinya—orang Manú biasa menggunakan nama depan—menanam yucca, kapas, dan berbagai tumbuhan lainnya di lahan kecil di dekat Sungai Yomibato. Anak-anak mereka mengumpulkan buah-buahan dan tanaman obat. Elias menangkap ikan dan menebang pohon. Dia juga berburu, terutama monyet laba-laba dan monyet bulu wol—makanan favorit orang Matsigenka. Keduanya spesies terancam.
Jumlah penduduk Matsigenka terus bertambah, membuat khawatir beberapa ahli biologi yang mencintai taman nasional. Bagaimana jika populasi mereka berlipat ganda? Bagaimana jika mereka mulai menggunakan senjata api? Bisakah populasi monyet bertahan? Dan tanpa spesies-spesies itu, yang menebar biji buah-buahan sembari mengudap di seputar hutan, bagaimana hutan akan berubah?
Sementara hutan di luar taman nasional semakin tercerai-berai akibat penyulingan gas alam, pertambangan, dan penebangan hutan, perlindungan terhadap kawasan itu menjadi kian krusial. Apakah orang-orang yang menghuni taman nasional itu baik atau buruk bagi kawasan lestari tersebut? Apakah taman nasional baik bagi mereka?
Elias, 53, berambut hitam keriting dan bertatapan tajam. Dia mengenakan kaus sepak bola hijau, celana pendek, dan sandal yang terbuat dari ban bekas. Rumahnya adalah tempat terbuka dengan beberapa bangunan terbuka beratap daun palem. Kami melintasi ladangnya dan memasuki hutan pada November silam, ditemani oleh menantu lelakinya Martin, anak perempuannya Thalia, dan seorang cucu perempuan remajanya.
Thalia menyandang tas anyaman untuk menampung tumbuh-tumbuhan. Saya didampingi oleh Glenn Shepard, antropolog yang telah bekerja dan tinggal bersama Suku Matsigenka selama 30 tahun.
Setelah lima menit memasuki hutan kami mendengar jeritan monyet titi berperut merah. Para pemburu tidak memperlambat langkah; monyet titi adalah sasaran latihan para remaja. Lima menit kemudian kami mendengar keriuhan sekawanan monyet capuchin. Elias membiarkan mereka pergi. Dia menahan diri untuk mendapatkan sesuatu yang lebih poshini—lezat. Monyet-monyet telah merambah pohon ini, namun mereka sudah pergi. Satu jam berlalu. Akhirnya wajah Thalia berseri-seri. Osheto, dia berbisik—monyet laba-laba.
Akhirnya kami melihat mereka, melompat-lompat dengan kecepatan tinggi di antara pucuk-pucuk pepohonan yang rimbun, 20 hingga 30 meter di atas kepala kami. Perburuan dimulai—dan saya adalah satu-satunya orang yang tersandung akar, menubruk sulur-sulur tanaman merambat, terpeleset di kubangan lumpur, dan lari menyongsong semak-semak berduri dan sarang laba-laba sambil mewaspadai ular. Elias dan keluarganya lebih luwes, namun hutan ini sulit ditembus sekalipun oleh mereka. Memburu binatang di darat—peccary gemuk, semacam babi hutan, misalnya—sudah cukup merepotkan. Namun untuk meringkus seekor monyet laba-laba, seorang pemburu Matsigenka harus terlebih dahulu mengejarnya, kemudian memanah tegak lurus setinggi lebih dari bangunan bertingkat enam ke arah sasaran yang bergerak dengan gesit.
Elias memiliki beberapa obat alami untuk menambah peluangnya. Sekitar sehari sebelum berburu, dia biasanya menenggak ayahuasca, ramuan psikoaktif manjur yang membuatnya muntah. Khasiat ramuan itu adalah menyingkirkan pengaruh roh berbahaya darinya dan menghubungkannya dengan roh-roh yang mengendalikan buruannya. Agar bidikannya jitu, dia memeras cairan tumbuhan ke matanya. Selama perburuan, dia mengunyah rumput teki, atau piri-piri, yang mengandung jamur psikoaktif untuk membantu konsentrasi. Shepard, yang pernah mencicipinya, menyebutnya Ritalin hutan.
Elias berlari kencang, mengejar seekor monyet betina, membidik, dan melepaskan anak panah. Meleset. Seandainya dia menggunakan senjata api, monyet itu tentu sudah mati.
Tanpa senjata api, jalan raya, jual beli: Mungkin ada banyak orang di Manú, namun tempat itu rasanya begitu jauh. Rute paling populer menuju taman nasional melibatkan perjalanan mobil selama 10 jam menyusuri kaki Andes di jalan yang mendirikan bulu kuduk, diikuti oleh lima jam menumpang kano bermotor di Sungai Alto Madre de Dios menuju persimpangannya dengan Sungai Manú. Jalan masuk utama menuju taman nasional berada di dekat situ, namun untuk mengunjungi desa Elias dan desa-desa lainnya—yang membutuhkan izin dari pemerintah Peru—saya dan Shepard harus menumpang kano bermotor selama beberapa hari, menyusuri Manú dan cabang-cabangnya. Keterpencilan ini telah melindungi taman nasional dari penebang liar dan penambang, juga turis. Hanya ada beberapa ribu pengunjung taman nasional per tahun.
Taman nasional ini memiliki luas 17.163 kilometer persegi, mencakup seluruh daerah aliran Sungai Manú, dari padang rumput sepanjang hampir 4.000 meter di lereng timur Andes, turun ke hutan pegunungan yang berselimut lumut, hingga hutan hujan dataran rendah di wilayah terbarat Basin Amazon.
Tapir menguasai daratannya, makau merah memahkotai langitnya, dan ular mengaliri nadinya. Sembilan puluh dua spesies kelelawar merajai langit malam; 14 spesies primata mengayun pepohonan, disusul oleh elang-elang ganas dengan jangkauan sayap sepanjang dua meter. Kupu-kupu tampak di mana-mana: kesatria merah; morpho biru raksasa; sayap kaca transparan mungil. Dan di setiap permukaan, vertikal dan horizontal, semut merajalela.
Ada seribu spesies pohon dengan berbagai ukuran, banyak di antaranya tersambung oleh liana lebat. Di antara yang terpenting secara ekologi adalah pohon ara. Pohon ini berbuah sepanjang tahun, mencukupi kebutuhan banyak binatang sepanjang musim kemarau.
“Saya pernah melihat seratus monyet di satu pohon,” kata John Terborgh, pakar ekologi dari Duke University. “Pada malam yang terang oleh rembulan, kalau mereka lapar, mereka akan bangun pada pukul dua dini hari dan siap di pohon pada pukul empat.”
Terbogh dan rekan-rekannya mengelola Stasiun Biologi Cocha Cashu segera usai taman nasional ini ditetapkan pada 1973.
“Manú adalah salah satu dari beberapa tempat di wilayah tropis yang memberikan kesempatan untuk mengalami dan mempelajari biodiversitas yang masih asli,” ungkap Kent Redford, ahli ekologi di Archipelagi Consulting di Portland, Maine.
Dengan kekayaannya yang melimpah, Manú bukan Taman Firdaus yang tidak tersentuh. Tempat ini menyimpan banyak sejarah. Banyak suku dengan berbagai bahasa tinggal di sepanjang Sungai Manú, yang disebut Sungai Perumahan oleh salah satu suku akibat kepadatannya. Suku Inca dan penjajah Spanyol, gagal menaklukkan suku-suku yang telah menetap. Tetapi perdagangan dengan Inca menghubungkan mereka dengan wilayah yang lebih luas. Dan penyakit-penyakit yang dibawa orang Spanyol, yang telah membunuh tidak terhitung banyaknya penduduk asli, mulai menghubungkan mereka dengan dunia luar.
Pada 1890-an dunia ini sekali lagi terbalik. Harga karet untuk ban tengah menjulang. Para baron penguasa bisnis karet mempekerjakan penduduk asli Amazon untuk menyadap karet dan juga menyerang suku-suku lain untuk mencari budak. Seorang baron ambisius, Carlos Fermín Fitzcarrald, membuka Basin Manú untuk penyadapan karet.
Bersama pasukan Piro-nya, Fitzcarrald berupaya memperbudak suku-suku di sepanjang Manú. Ratusan orang tewas dalam perlawanan. Salah satu suku, Toyeri, nyaris tersapu bersih. Sebagian anggota pasukan Mascho-Piro tewas, dan sebagian lainnya diperkirakan kabur ke dalam hutan. Keturunan merekalah yang akhir-akhir ini membuat berita dengan keluar dari hutan dan berusaha menjalin kontak dengan dunia modern.
Singkatnya, dalam hal geografi politik Manú tidak bersifat purba maupun terisolasi. Wilayah itu telah lebih dari seabad terpengaruh oleh kekuatan ekonomi global, yang menjadikan inovasi teknologi dan permintaan konsumen di bagian dunia lain membentuk—dan kerap merusak—kehidupan mereka yang tinggal di dekat sumber daya alam yang berharga.
Setelah demam karet berlalu, sebagian besar orang Piro—yang sekarang biasa disebut Yine, dari bahasa mereka—pindah ke hilir Sungai Manú, dan akhirnya membangun perkam-pungan seperti Boca Manú dan Diamante di Sungai Alto Madre de Dios. Matsigenka menduduki wilayah-wilayah yang ditinggalkan oleh Piro. Mereka pindah dari barat dan selatan, mula-mula ke bagian hulu sungai yang terpencil, namun kemudian menempati pinggir sungai Manú yang terbengkalai, setelah banyak sekolah misionaris didirikan di sana pada 1960-an.
Di berbagai komunitas seperti Tayakome dan Yomibato, Suku Matsigenka kini tidak hanya memiliki sekolah tetapi juga klinik kesehatan dan pesawat-pesawat telepon satelit bersama. Dana amal yang baru-baru ini diterima dari Rainforest Flow digunakan untuk memasang sistem sanitasi dan pengolahan air yang mengalirkan air bersih ke hampir setiap rumah. Warga memburu, mengumpulkan, dan menumbuhkan bahan makanan mereka sendiri. Namun mereka juga memutar lagu-lagu pop Peru, hingga memadukam sandal Crocs palsu dan kaus bertulisan semacam “Palm Beach” dengan pakaian adat mereka. Orang Matsigenka yang tinggal di dekat hulu masih mengenakan kain tenunan tangan dan bertahan hidup tanpa uang atau peranti logam. Sedikit demi sedikit, mereka pindah ke desa-desa di pinggir sungai, mencari kapak dan perawatan medis.
Mereka juga memutar lagu-lagu pop Peru, hingga memadukam sandal Crocs palsu dan kaus bertulisan semacam “Palm Beach” dengan pakaian adat mereka.
Suku Mashco-Piro jauh lebih terisolasi. Sejak masa kejayaan karet berakhir, mereka mengasingkan diri, berburu dan mengumpulkan bahan makanan jauh di tengah hutan. Tetapi mereka menyadari keberadaan dunia luar, dan dalam lima tahun terakhir anggota-anggota salah satu kelompok mulai bermunculan di pinggir Alto Madre de Dios, tepat di luar taman nasional, memberi isyarat ke arah perahu-perahu di sungai untuk meminta makanan. Mereka mungkin tergusur ke luar oleh rongrongan industri pertambangan, gas alam, dan penebangan atau semakin berkurangnya jumlah peccary, makanan utama mereka.
Para turis dan penduduk setempat berderma kepada mereka, namun kadang-kadang hal ini berakhir tragis. Pada 2011 beberapa orang Mascho-Piro membunuh Nicolas “Shaco” Flores, seorang Matsigenka yang telah bertahun-tahun memberi mereka peralatan dan makanan. Pada 2015 mereka membunuh seorang pemuda di Desa Shipetiari.
Romel Ponciano adalah salah satu dari beberapa orang Yine dari desa-desa semacam Diamante yang bekerja untuk Kementrian Kebudayaan Peru dalam upaya membangun hubungan dengan kerabat mereka yang terisolasi. Dia dan rekan-rekannya bertugas di sebuah pos di Alto Madre de Dios, di seberang sungai tempat sekelompok Mashco-Piro kerap menampakkan diri.
Romel kesulitan menjalankan niatnya untuk membuat kontak dengan kelompok terisolasi itu. Mereka memintanya untuk menembakkan anak panah dan membuka baju. Mereka memeriksa mata dan mulutnya, mengendus-endus ketiaknya, meraba testikelnya—hanya untuk memastikan bahwa dia benar-benar saudara mereka. Romel butuh waktu untuk menyukai mereka—mereka menjulukinya Yotlu, yang berarti “berang-berang sungai kecil”—namun dia tidak pernah mengabaikan mereka. “Mungkin lima atau sepuluh tahun lagi mereka akan menjadi beradab seperti kami,” katanya. “Mereka masih akan tetap membawa panah untuk berburu, tetapi tidak untuk membunuh. Mereka membunuh karena takut.”
Para dokter yang pernah memeriksa orang-orang Mashco-Piro mengungkapkan bahwa sejauh ini keadaan terisolasi menjadikan mereka lebih sehat daripada penduduk asli yang telah menetap, yang berjuang melawan penyakit bawaan para pendatang, yaitu infeksi pernapasan yang membuat mereka terserang batuk dan bakteri dental yang menyebabkan gigi mereka tanggal. Tetapi keterpencilan juga mengakibatkan orang-orang Mascho-Piro hanya sedikit atau sama sekali tidak memiliki imunitas, sehingga penyakit yang disebabkan virus seperti campak dan demam kuning bisa dengan mudah merenggut nyawa mereka.
Ketika kami menikung bersama aliran sungai menuju Nomole, sekilas saya melihat sosok-sosok yang bergerak di pinggir sungai. Mereka menyalakan api, dan asap putih membubung. Demi keselamatan kami dan mereka, untuk melindungi mereka dari penyakit, kami tidak mencoba membuat kontak.
Di bawah bentang langit biru, dikelilingi oleh hutan rimba yang seakan tak berujung. Saya harus mengingatkan diri saya bahwa mereka se-sungguhnya pengungsi dari pembantaian. Trauma hingga generasi kelima dan keenam akibat demam karet, hidup sebagai pemburu-peramu sementara leluhur mereka bertani, mereka bukannya sama sekali tidak tersentuh. Mereka telah banyak tersentuh peradaban pada 1890-an.
Demam karet yang berdampak merusak segera diikuti demam berbagai sumber daya alam lainnya. Kayu, emas, gas alam—semuanya diangkut keluar dari hutan oleh warga setempat, yang dibayar murah. Manú tetap menjadi perkecualian hijau di ranah ekstraksi ini.
Tepat di luar batas barat laut taman nasional, terdapat jalur pipa gas dari ladang kaya Camisea, yang memproduksi hingga 34 juta meter kubik gas alam per hari dan berkontribusi besar bagi ekonomi Peru. Eksplorasi di wilayah tenggara yang baru-baru ini dilakukan dapat menggoda Peru untuk menyalurkan pipa melewati taman nasional dan menghubungkannya dengan jalur Camisea. Sebagian besar pengamat sependapat bahwa lokasi yang terpencil adalah pertahanan terbaik Manú. “Tempat ini dilindungi oleh kesulitan untuk mengaksesnya,” kata Ron Swaisgood, direktur saintifik Cocha Cashu. Tetapi, “penambangan emas dan minyak bumi mulai merusak area-area di sekitarnya. Sebagian kerusakan ini bisa berdampak buruk pada taman nasional.”
Jalan raya akan menambah kerusakan hutan, dan gubernur wilayah Madre de Dios, Luis Otsuka, tengah menggalakkan pembangunan jalan raya di sepanjang Alto Madre de Dios hingga Boca Manú. Desa Diamante terletak di sepanjang bakal jalan raya. Para penduduknya sangat bersemangat menyambut proyek ini, bahkan rela bekerja keras untuk mewujudkannya.
Ketika kami melewati Diamante dalam perjalanan keluar dari taman nasional, desa itu tampak sunyi. Rumah-rumah bercat cerah bergerombol di sepanjang sungai. Kami menemukan satu toko yang buka dan membeli bir, minuman dingin pertama kami sejak berminggu-minggu silam. Menjelang sore, para pria berbondong-bondong pulang ke desa, masing-masing memegang parang, punggung mereka basah oleh peluh. Di antara mereka terdapat kepala desa Edgar Morales. Dia menyampaikan bahwa para pria itu baru saja membuka jalan setapak bagi para petugas survei dari pemerintah agar mereka bisa mengumpulkan data yang diperlukan untuk mendapatkan persetujuan pembangunan jalan.
Warga Diamante, Morales menjelaskan, bertani pisang dan mengangkut panenannya dengan perahu untuk dijual di Boca Manú. Tetapi mereka tahu bahwa mereka bisa mendapatkan harga lebih tinggi di Cusco, dan secara umum mereka merasa ditipu. “Anak-anak kami yang bekerja keras menebang pohon tidak mendapatkan apa-apa,” kata Morales. “Kami memiliki lahan datar yang bagus di sini, dengan tanah berhumus yang subur. Kami bisa menanam pisang, pepaya, nanas, dan yucca untuk dijual di Cusco. Tak lama lagi, orang-orang di sini akan memiliki mobil sendiri. Sudah banyak yang memperingatkan kami bahwa orang-orang jahat akan datang dan merebut tanah kami, tapi ada 800 orang yang hidup di sini. Kami bisa membela diri kami sendiri.”
Kementerian Lingkungan Hidup Peru, yang mengelola taman nasional, beserta sebagian besar penduduk asli wilayah itu menentang pembangunan jalan, menurut direktur taman nasional John Florez. “Para kolonislah yang menuntut pembangunan jalan,” ujarnya. “Diamante adalah satu-satunya komunitas penduduk asli yang meminta jalan.”
Mauro Metaki, guru lulusan sekolah misi-onaris di Tayakome, menentang pembangun-an jalan dan frustrasi karena sebagian orang di komunitasnya mendukung. “Gubernur berbohong,” ujarnya. “Orang-orang itu bodoh karena memercayainya. Dia membuat mereka semua gembira dengan janji-janjinya tentang jalan raya yang akan menguntungkan mereka. Jalan itu akan menguntungkan dia dan teman-teman kulit putihnya, yang akan masuk hutan dan meng-ambil kayu, binatang, dan emas.”
John Terborgh, pakar ekologi dari Duke, telah bertahun-tahun menyampaikan harapannya agar orang-orang Matsigenka mau meninggalkan taman nasional—secara suka rela, dia menekankan—demi melestarikan alam liar dan kesempatan untuk memperbaiki ekonomi. “Apakah perlu ada permukiman permanen di dalam taman nasional?” tanyanya. “Tidak.”
Sebagian kaum muda Matsigenka mulai merantau, atau setidaknya berbolak-balik; sekolah lanjutan di dalam taman nasional ini terbatas. Samuel Shumarapague Mameria, mantan kepala suku Yomibato, berpendapat bahwa para pemuda yang merantau berubah. “Ketika mereka pulang kemari, mereka meneteskan getah tumbuhan ke mata dan makan piri-piri,” katanya. “Di hilir, mereka makan nasi dan bawang, dan kehilangan keahlian berburu. Kepala mereka dipenuhi buku dan pelajaran.” Sama halnya dengan para pemudi, ungkapnya, “setelah pulang dari perantauan di hilir, mereka menjadi terlalu malas untuk memintal kapas. Jiwa mereka hanya ingin membaca dan menulis. Jiwa dan raga mereka dipenuhi kertas.”
Sebagian pemuda yang merantau ke hilir menetap di sana, menjadi penebang kayu atau pekerjaan lain. “Banyak lelaki muda yang merantau untuk bekerja, meninggalkan istri dan anak-anak mereka, dan membentuk keluarga baru di luar,” kata ahli biologi Rob Williams.
Gambaran Matsigenka mengenai Manú, sebagaimana gambaran mereka tentang alam, mencakup diri mereka sendiri. Mereka memburu monyet, juga jaguar. Berbagai tumbuhan dan binatang yang dipandang penting memiliki roh dan daya, seperti manusia, dan tidak ada batasan yang jelas di antara mereka. Di Yomibato, saya mendengar cerita tentang seorang pria tua baik hati yang menjelma sebagai jaguar dan membunuhi ayam dan anjing. Akhirnya jaguar itu dipanah tepat di jantung dan dibakar agar rohnya tidak kembali lagi.
Orang-orang Matsigenka dan penduduk asli lainnya di dalam taman nasional tidak sekadar pemburu; secara de facto mereka adalah penjaga hutan bersenjata. Seandainya semua orang yang tinggal di dalam Manú merantau untuk mengejar pendidikan dan pekerjaan berupah, Shepard berpendapat, suku-suku lain akan masuk—dan mereka mungkin tidak akan mematuhi larangan penggunaan senjata api dan ekstraksi sumber daya alam komersial.
Saat ini Matsigenka bertindak sebagai sistem peringatan terpadu. Dengan permukiman di sepanjang sungai-sungai utama taman nasional, setiap penebang, penambang, atau petani coca yang bergerak ke dalam kawasan itu akan terlihat. Dengan panah mematikan, mereka—bersama Mashco-Piro—menjadi pengadang.
Dan, selama Matsigenka tidak menggunakan senjata api, menurut Shepard, kegiatan perburuan mereka tidak berbahaya. Mereka juga menemukan bahwa sekalipun populasi Matsigenka tumbuh pesat selama 50 tahun mendatang, kekurangan monyet laba-laba tidak akan mencapai 10 persen dari keseluruhan taman nasional—kecuali jika para pemburu menggunakan senjata api. Dengan senjata api mereka akan menyapu bersih hutan dari monyet hanya dengan berjalan kaki selama satu atau dua hari dari desa mereka.
Setelah lima jam berburu, Elias dan keluarganya masih mengamati pucuk-pucuk pepohonan, mencari monyet. Ketika menyusuri sebuah gigir, Elias menunjuk noda basah bekas kencing jaguar. “Itu baru,” katanya.
Tiba-tiba hutan seolah-olah meledak dengan jeritan ngeri. Sekawanan monyet bulu wol yang tidak terlihat oleh kami, hanya beberapa meter di bawah gigir, membunyikan alarm jaguar. Ku-cing besar itu berada di dekat kami. Saya terpaku dan merasakan siraman adrenalin. Elias dengan tenang duduk di sebatang kayu dan merogoh tas jaringnya. Dia mengeluarkan beberapa akar piri-piri dan mengunyahnya.
Setelah mendapatkan khasiatnya, dia menerjang semak-semak lebat. Dia berencana mendapatkan seekor monyet bulu wol dan juga seekor jaguar, jika bisa. Jaguar tidak hanya bersaing dengan orang Matsigenka dalam perburuan monyet; mereka juga memangsa anak-anak.
Sesaat kemudian hujan turun. Air tercurah dari langit dengan sangat deras. Beberapa menit kemudian Elias muncul dengan tangan kosong.
Di rumah, tidak ada daging monyet yang bisa diserahkannya kepada sang istri. Namun, ada seekor bayi monyet laba-laba tengah menghangatkan diri di dekat perapian. Orang Matsigenka gemar menjinakkan binatang hutan untuk dijadi-kan peliharaan. Monyet laba-laba yang berhasil mereka bunuh biasanya betina yang lamban akibat membawa bayi, dan mereka membawa bayi terlantar itu pulang. Setelah monyet-monyet itu besar, mereka dilepaskan kembali di hutan. Bayi monyet ini basah kuyup, seperti kami semua. Kami menghangatkan diri di dekat perapian bersamanya. Asap membubung ke atas pucuk-pucuk pohon pepaya dan melintasi Yomibato, memayungi hutan.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR