Dunia Yunani Kuno dipenuhi dewa-dewa, yang dipimpin oleh dewa-dewa Olympus yang tinggi menjulang—Zeus, Hera, Apollo, Poseidon, Athena, dan raksasa mitologi lainnya. Selain pemujaan terhadap entitas ilahi penghuni Olympus ini terdapat ratusan kultus yang berfokus pada dewa dan pahlawan lokal.
Bangsa Yunani kuno berdoa kepada dewa-dewa ini demi alasan yang sama seperti kita berdoa pada masa kini: Demi kesehatan dan keamanan, demi kesejahteraan, demi panen yang berlimpah, demi keselamatan di laut. Seringnya mereka berdoa secara komunal, menyenangkan dewa-dewa gaib yang diyakini mengendalikan hidup lewat sesaji dan kurban.
Tetapi apa yang terjadi setelah kematian? Untuk menjawab hal ini, orang zaman dahulu memiliki Hades, dewa dunia bawah, saudara Zeus dan Poseidon. Tetapi Hades tidak memberi jaminan. Terselubung dalam kegelapan berkabut, terbatasi oleh kengerian terhadap Sungai Styx, ranah Hades adalah, seperti yang digambarkan penyair Homer, tempat “horor dekaden” yang dituju rakyat jelata—dan bahkan para pahlawan—setelah mereka meninggal.
Akhirnya, inilah yang menyebabkan orang Yunani untuk mengadopsi bentuk agama dan kultus baru. Tak lagi dipandang sebagai takdir yang muram, kehidupan akhirat menjadi lebih bersifat sebagai pencarian pribadi.
Berbagai kultus gaib, menjanjikan petunjuk atas apa yang akan terjadi setelah kematian. Ritual untuk dewa-dewa besar di pulau Samothrace Yunani berlangsung pada malam, dengan keredep api obor. Ritual ini tetap misterius sampai saat ini.
Pada abad keempat SM, muncul kultus-kultus yang mengklaim menawarkan penyucian para anggota baru dari noda kemanusiaan. Ketika, agama Kristen menjangkau dunia kuno, ritual tersebut ikut terbawa bersama sisa-sisa keyakinan lama: Penyucian manusia melalui ritual mistik, takdir berbeda menanti orang-orang yang sudah diinisiasi dan yang belum, serta penghormatan terhadap naskah-naskah sakral.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR