Menurut MacLaren, pelajaran yang dipetik ini sudah memicu kemajuan di dua area canggih lain: terapi gen dan sel induk.
Di California, tim mata sedang melakukan uji coba sel induk yang berevolusi hampir langsung dari sebuah implan. Salah seorang pemimpinnya adalah Mark Humayun.
Proyek besar pertamanya adalah ikut menciptakan Argus II, yang pada awal 2010-an menjadi implan retina pertama yang dipasarkan. Seperti Alpha dari Zrenner, Argus menggunakan susunan elektrode yang disematkan di belakang retina. Namun, susunan yang hanya berisi 60 elektrode ini bukan mengumpulkan cahaya, melainkan menarik sinyal dari kamera kecil yang terpasang di kacamata, yang mengirimnya melalui unit prosesor yang dibawa di sabuk atau tas. Banyaknya peralatan ini menimbulkan keterbatasan dan tuntutan yang lebih kaku daripada Alpha. Selain itu, dengan menggunakan kamera eksternal, ini berarti bahwa Argus, tidak seperti Alpha, tidak dapat memanfaatkan gerakan kecil bola mata, yang disebut mikrosakade, yang memegang peran misterius tapi penting dalam penglihatan.
Andaipun implan ini tidak berkembang lebih jauh, katanya, gambar dari cip yang sering sulit ditafsirkan itu semacam mukjizat—terang yang menggantikan gelap.
Namun, pemasangan implan ini di dalam retina turut menginspirasi perangkat sel induk yang sedang dikembangkan Humayun. Dia dan rekan penyelidik utamanya, Dennis Clegg, ahli biologi sel induk di University of California, Santa Barbara menyebutnya patch, semacam tampal. Alas tampal ini, adalah lembar tipis yang bentuknya mirip huruf d ini tetapi dua kali lebih besar. Pada bintik ini Clegg menebarkan 120.000 sel yang diturunkan dari sel induk embrio.
Humayun dan Clegg bermaksud menggunakan tampal ini untuk mengobati degenerasi makula terkait umur (AMD). Buta akibat AMD terjadinya kebalikan dengan retinitis pigmentosa: Ada bintik kabur yang mengeruhkan bagian tengah penglihatan, lalu menggelap dan meluas sampai akhirnya pasien menjadi buta fungsional. Ini penyebab paling umum untuk kebutaan tak terobati, sampai lima persen dari semua kebutaan.
AMD disebabkan oleh pembusukan sel di lapisan paling belakang mata, epitel pigmen retina (RPE). RPE memberi dukungan penting bagi lapisan fotoreseptor yang terletak persis di depannya. Humayun dan Clegg berharap sel RPE turunan sel-induk pada tampal akan menggantikan sel RPE yang rusak itu.
Dalam percobaan hewan yang dilakukan Humayun dan Clegg, integrasi paling efektif antara sel dan lapisan fotoreseptor terjadi apabila sel dimasukkan melalui tampal yang ditempatkan dengan baik.
Uji cobanya baru saja dimulai dan akan berakhir sebelum 2018. Jika berhasil metode ini dapat bermanfaat dalam mengobati AMD dan bentuk kebutaan lainnya. Humayun dan Clegg juga mungkin bisa memetik pelajaran tentang cara menggabungkan sel seperti itu ke dalam struktur biologis pada organ lain, merintis jalan bagi implan tampal-sel lainnya.
Potensi sel induk yang belum termanfaatkan juga menarik minat pihak lain yang berburu obat kebutaan, termasuk Henry Klassen dari University of California, Irvine. Klassen sudah 30 tahun mempelajari cara memanipulasi sel progenitor—mantan sel induk yang sudah mulai berubah menjadi jenis sel tertentu—agar mengganti atau merehabilitasi sel retina rusak. Setelah menggunakan sel progenitor retina untuk memperbaiki penglihatan tikus, celurut, kucing, anjing, dan babi, dia mengujinya pada manusia yang mengidap retinitis pigmentosa tingkat lanjut.
Dokter bedah menggunakan jarum untuk dengan cepat menyuntik mata dengan setengah hingga tiga juta sel progenitor yang direncanakan memegang beberapa peran dalam menyelamatkan retina yang rusak. Sebagian pasien retinitis pigmentosa yang menjalani prosedur ini kini dapat melihat jauh lebih banyak cahaya dan bentuk. Kristin Macdonald, warga California berumur 50-an yang hampir buta total akibat retinitis pigmentosa, mendapat pengobatan itu untuk sebelah matanya pada Juni 2015. Kini dia lebih mampu melihat perabotnya, van di seberang jalan, dan di kolam renang, “rona pucat”—pantulan warna biru pirus air, yang dulu hitam-putih. Klassen berharap kemajuan ini akan membuktikan pemikirannya bahwa jika kita mengirim sel yang tepat ke tempat yang tepat, sel itu akan tahu harus berbuat apa.
Dokter bedah mata Namibia Helena Ndume bercerita tentang lelaki yang, setelah pernah hampir menabrak gajah, berterima kasih kepada Ndume setelah pengobatan karena kini dia dapat melihat hewan berkeliaran; tentang perempuan yang, di usia 46 tahun, akhirnya bisa melihat putra kecilnya.
Ndume mengumpulkan banyak kisah seperti itu selama 20 tahun karena dia juga bereksperimen untuk memberantas kebutaan. Temuan eksperimen itu sangat gamblang di satu sisi: Selama dua dasawarsa, sekitar 30.000 pasien mendapat pengobatan, dan sekitar 30.000 dapat melihat. Namun, bukan ini yang diuji Ndume. Dia ingin menguji apakah manusia mau menyampaikannya ke orang yang memerlukannya.
Katarak adalah penyebab separuh kebutaan di bumi. Di dunia berkembang, pengidap katarak biasanya menjadi buta. Perawatannya sederhana: Taruh dokter dan pasien di satu ruangan, luangkan waktu 15-20 menit untuk mengganti lensa alami yang keruh dengan lensa buatan yang bening, lakukan pemeriksaan pascaoperasi. Di negara berkembang, biaya pengobatan berkisar antara 200 ribu hingga 1,3 juta rupiah Namun, hanya mencapai segelintir orang yang memerlukannya.
Bekerja sama dengan pemerintah Namibia dan pemerintah Afrika lainnya dan organisasi nirlaba SEE International, Ndume menyelenggarakan “perkemahan katarak.” Ndume dan dokter bedah lainnya mengoperasi hingga 500 orang per minggu. Tahun lalu PBB memuji “sumbangsih bagi umat manusia” dengan menganugerahkan Penghargaan Nelson Mandela yang pertama.
Ini salah satu penyebab mantan bintang NBA Dikembe Mutombo membangun rumah sakit di kota kelahirannya, Kinshasa, Republik Demokratik Kongo.
Penghormatan yang tepat bagi seseorang yang 41 tahun yang lalu, ketika masih berusia 15 tahun, meninggalkan kegelapan jenis lain saat dia lari dari apartheid yang diberlakukan pemerintah Afrika Selatan pada Namibia. Bersama tiga teman, dia berhasil sampai ke perkemahan di Angola yang dikelola oleh gerakan perlawanan Namibia bernama SWAPO; menghindari patroli helikopter musuh sampai akhirnya selamat tiba di Zambia; memberi tahu SWAPO bahwa dia ingin bersekolah busana tetapi malah dikirim ke sekolah kedokteran di Leipzig, Jerman; dan di sana menikah dengan rekan senegara yang tak lama kemudian tewas di Angola. Dia melahirkan anak mereka sendirian, menyelesaikan kuliah oftalmologi, bersukacita ketika Namibia meraih kemerdekaan pada 1990, dan pulang selamanya pada 1996 bersama tekad membantu kaum tunanetra.kisah ndume favorit saya adalah tentang perempuan yang diobatinya pada tahun pertama perkemahan, di sebuah klinik di Rundu, di perbatasan utara Namibia. Ada lebih dari 200 pasien yang mendaftar. Hanya 82 yang datang, karena begitu banyak yang takut membayangkan matanya disayat.
Saat Ndume mengadakan perkemahan di Rundu tahun berikutnya, perempuan itu datang. “Hasil bumi saya banyak sekarang!” Dia menarik Ndume ke pintu klinik.
“Saya mengajak teman,” katanya. Di luar ada puluhan orang yang bersemangat dibedah. “Mereka berbicara seolah operasi itu mukjizat,” kata perempuan itu.
Ndume mengoperasi ratusan orang pekan itu. Seperti kata rekannya Sven Obholzer, para pasien “masuk sambil memegang bahu orang di depannya, lalu keluar berjalan sendiri.”
Namun, meski sudah ada upaya dari Ndume dan pihak lain, sekitar 20 juta orang di seluruh dunia masih buta akibat katarak. Kalau diobati semua, kita bisa menyembuhkan separuh dari semua kebutaan. Namun, untuk mewujudkan itu, perlu prasarana permanen agar pengobatan itu dilakukan secara rutin. Ini salah satu penyebab mantan bintang NBA Dikembe Mutombo membangun rumah sakit di kota kelahirannya, Kinshasa, Republik Demokratik Kongo. Saat berkunjung ke sana, meski hanya dijadwalkan untuk lima hari, dia menambah menjadi tujuh hari, melakukan lebih dari seratus operasi, dan meninggalkan daftar tunggu yang berisi ratusan orang.
“Penyakit lain ini, degenerasi makula, retinitis pigmentosa, tak ada apa-apanya dibanding katarak.” Ndume tak bermaksud bahwa semua kondisi tersebut tak penting. Menurutnya, tantangan terbesar bukan hanya menemukan obat, tetapi juga menyampaikannya.
Saat saya menjadi pengamat dalam salah satu operasi, pemandangan itu mengganggu: Mata terbuka lebar, karena kelopaknya ditahan spekulum oftalmus. Namun, mata tak menyadari baja yang menyayat di korneanya.
Setelah menyadari hal itu, saya lebih mudah menyaksikan operasi. Saya tahu bahwa obat biusnya akan segera habis dan setelahnya mata itu dapat melihat dengan jernih.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR