Sejak Christian Guardino lahir, ibunya, Elizabeth, tahu mata anak itu tidak normal. Pupilnya sering bergetar dan meletik dan memutar masuk ke balik kelopak. Sebelah matanya juling. Saat disusui, Christian tidak memandang ibunya, tetapi menatap cahaya paling terang di dekatnya—lampu di dalam ruangan, matahari di luar. Meresahkan.
Dokter mata pertama yang memeriksa Christian kemudian dengan suram merujuk keluarga itu ke spesialis. Spesialis itu melakukan elektroretinogram (ERG), prosedur yang meletakkan sensor elektronik kecil pada mata untuk mengukur respons retina terhadap denyar cahaya. Retina yang sehat akan merespons dengan mengirim sinyal listrik melalui saraf optik yang menghasilkan, pada hasil cetak mesin ERG, lembah-dalam yang disusul oleh puncak tinggi. Hasil ERG Christian tidak begitu: hanya garis lekuk-lekuk.
Christian, kata dokter kepada Elizabeth, mengidap penyakit retina Leber congenital amaurosis (LCA). Penglihatan anak itu yang sudah buruk, tidak akan pernah membaik secara signifikan. Tidak ada obatnya. Anak itu hanya akan melihat sebagian kecil dunia dan akan berjalan, dengan tongkat.
Pada 2012, di usia 12 tahun, dia pertama kali datang ke klinik yang dikelola Scheie Eye Institute di University of Pennsylvania. Namun, Januari lalu dia berjalan di gedung utama institut itu tanpa tongkat. Sambil bercanda dan mengobrol, remaja itu berjalan mendahului sekelompok doktor, dokter, teknisi lab, dan saya, melintasi lobi terbuka.
“Wah!” katanya saat kami mendekati pintu keluar gedung—di hadapan kami ada pintu putar yang menggerakkan lidah raksasa. Ibunya berada agak belakang; pemuda itu sendirian. Christian tidak berhenti ataupun ragu. Dia melangkah ke bawah cahaya matahari.
Christian Guardino dapat melihat. Segala hal yang dulu menjadi rintangan—cahaya dan gelap, baja dan kaca, kini membuatnya girang.
“Sulit dipercaya, ya?” kata Elizabeth beberapa menit kemudian. Di depannya, Christian berjalan bersama Jean Bennett—lab dokter inilah, di University of Pennsylvania, yang membuat cairan berisi gen yang memberi penglihatan kepada si remaja. “Terjadinya begitu cepat,” kata Elizabeth. Hanya tiga hari setelah mata pertamanya diobati, Christian dapat melihat ibunya. Kata Elizabeth, menunjuk anaknya yang berjalan tanpa bantuan. “Ini seperti mukjizat.”
Mukjizat Christian diraih dengan susah payah. Ini buah hasil 20 tahun kerja tak kenal lelah dari Bennett dan rekan-rekannya, yang mengidentifikasi mutasi genetis yang melumpuhkan retina Christian, lalu berhasil memikirkan cara menyusupkan salinan gen yang bagus ke matanya. Bennett memulai uji coba terapi ini hanya berharap “bahwa kami dapat mendeteksi sedikit perbaikan.” Sembilan tahun kemudian dia tercengang bahwa terapi ini tampaknya sangat berhasil.
Bennett berhati-hati agar tidak membesar-besarkan pekerjaannya atau mengecilkan rintangan untuk mencapai kemajuan lebih jauh. Namun, melihat manfaat yang dialami Christian dan pasien lainnya sejauh ini, Bennett sedikit berharap bahwa pendekatan penggantian gen dasar ini bisa juga mengobati bentuk kebutaan lain. Dia dan rekan-rekannya meyakini bahwa variasi tekniknya mungkin tak lama lagi bisa membantu dokter menemukan dan memperbaiki cacat genetis serupa cukup dini—mungkin bahkan sejak di dalam rahim—untuk menyembuhkan atau mencegah kerusakan mata.
Mata Terancam Bahaya. Satu mata dapat terkena beberapa penyakit. Tiga penyakit yang umum dan dapat diobati terjadi di bagian depan mata. Saat ini belum ada obat untuk degenerasi makula terkait umur, yang terjadi di bagian belakang mata di dekat retina. Sumber: Vision Loss Expert Group, Silvio Paulo Mariotti, WHO, UNDP. (Manuel Canales, Staf NGM; Patricia Healy. Foto: Design Pics Inc, National Geographic Creative; Manipulasi oleh Staf NGM.)
Dalam dasawarsa terakhir, upaya di dua bidang lain, sel induk dan implan biomedis, atau “bionik,” juga telah memberi sedikit penglihatan bagi orang buta. Sel induk—sel dalam tahap awal perkembangan, sebelum terdiferensiasi menjadi unsur penyusun mata, otak, tangan, dan kaki—semakin menjanjikan untuk menggantikan atau memulihkan sel retina rusak yang mendasari banyak penyebab kebutaan. Dan generasi pertama retina bionik—mikrocip yang menggantikan sel retina rusak dengan mengumpulkan atau memperkuat cahaya—memberi penglihatan resolusi rendah kepada orang yang bertahun-tahun tidak bisa melihat apa-apa.
Berbagai kemajuan ini mendorong pembicaraan tentang sesuatu yang tak terbayangkan hanya 10 atau 20 tahun silam: Memberantas kebutaan manusia, dalam waktu dekat.
Apakah sebenarnya ini realistis? Sebagian pendukung dan penggalang dana berpendapat demikian. Pengusaha Sanford Greenberg, yang kehilangan penglihatan karena glaukoma saat kuliah, mendirikan End Blindness by 20/20, yang menawarkan tiga juta dolar dalam bentuk emas bagi orang yang paling besar sumbangsihnya dalam memberantas kebutaan sebelum tahun 2020. National Eye Institute sedang agresif mendanai penelitian mata dengan pendanaan besar. Prakarsa Vision 2020 dari World Health Organization dan International Agency for the Prevention of Blindness menyatakan target “menghapus kebutaan yang dapat dicegah selambatnya 2020.” Sementara itu, banyak berita media yang meliput kegiatan seperti yang dilakukan Bennett sepertinya menganggap bahwa kita pasti berhasil melakukan ini.
Namun, kata Henry Klassen, peneliti sel induk University of California, Irvine, “Ingin cepat menemukan cara menyembuhkan kasus tersulit? Silakan dicoba. Ini tidak gampang.”
Sebagian besar peneliti sependapat. Jean Bennett, misalnya, tahu bahwa terapi genetis yang memberi Christian penglihatan tergolong luar biasa karena merupakan pengecualian dalam sejarah panjang kekecewaan, kelambatan, bahkan bencana.
Bennett sudah sering melihat upaya terapi gen yang gagal. Dalam makalah belum lama ini, dengan dia menyebutkan daftar rintangan yang menciutkan hati dalam memperluas pendekatan terapi ini, bahkan untuk penyebab genetis lain dari LCA. Misalnya, gen yang dimasukkan ke mata Christian, yang dinamai RPE65, kebetulan muat di dalam virus modifikasi jinak yang digunakan Bennett untuk membawa gen itu ke dalam sel Christian—tetapi banyak gen lain penyebab LCA yang tak akan muat. Sebagian besar mutasi LCA berbahaya lainnya pun merusak mata jauh lebih dini, atau berdampak pada wilayah mata yang kurang cocok untuk penggantian gen, jadi tak bisa diobati dengan baik dengan virus ini.
Rintangan ini—dan rintangan serupa bagi sel induk dan implan bionik—tak akan runtuh dalam semalam. Sebagian besar kemajuan akan diperoleh sedikit demi sedikit dan dengan susah payah. Banyak obat mukjizat akan terbukti hanya bertahan sepintas.
Namun, tantangan memberantas kebutaan yang dapat diobati, berbeda lagi persoalannya.
Kira-kira satu di antara 200 orang di Bumi—39 juta manusia—tidak bisa melihat. Ada 246 juta lagi yang berpenglihatan lemah pada tingkat yang menyebabkan keterbatasan sedang atau berat. Kebutaan juga berdampak pada ratusan juta orang lagi, biasanya kerabat, yang khusus mendampingi orang tunanetra.
Melihat beban ini saja, sudah selayaknya kita mencari pengobatan baru. Namun, mata juga semakin diperhatikan karena merupakan tempat yang aman dan mudah diakses untuk menguji pengobatan yang mungkin dapat juga digunakan di bagian tubuh lain.
Kebutaan Secara Global Penyakit mata terutama merupakan masalah kaum miskin, dengan jurang lebar dalam hal pengobatan antara negara maju dan negara berkembang. Gangguan penglihatan, termasuk kebutaan, bukan sekadar masalah perorangan, melainkan masalah masyarakat yang dapat berdampak luas pada produktivitas ekonomi dan akses ke pendidikan. Sumber: Vision Loss Expert Group, Silvio Paolo Mariotti, WHO, UNDP. (Manuel Canales dan Matthew W. Chwastyk, Staf NGM; Patricia Healy)
Pertama-tama, peneliti dapat melihat langsung ke dalam mata untuk mengetahui masalahnya dan berhasil-tidaknya pengobatan. Demikian pula, pemilik mata dapat melihat (atau tidak) dari matanya itu, sehingga pengukuran fungsi organ dapat cepat diketahui. Mata juga memberi umpan balik seperti dilasi pupil atau aktivitas listrik di saraf optik. Peneliti yang melakukan pengobatan eksperimental pada satu mata biasanya dapat memanfaatkan mata satunya sebagai kontrol.
Mata juga tangguh. Di dalam mata, sistem kekebalan tubuh menahan diri sedemikian rupa sehingga mata memiliki “keistimewaan imun,” membiarkan kehadiran benda asing, yang mungkin menimbulkan infeksi merusak seandainya masuk ke organ tubuh lain. Berarti mencoba pengobatan di mata itu lebih aman, seperti terapi gen, yang mungkin mengacau seandainya diterapkan di bagian tubuh lain.
Para ilmuwan saraf senang menangani mata karena “mata adalah satu-satunya tempat kita bisa melihat otak tanpa perlu mengebor lubang,” seperti kata salah seorang kepada saya. Retina, yang terlihat melalui pupil, pada hakikatnya adalah mangkuk neuron yang terhubung ke otak melalui saraf optik; mata secara keseluruhan adalah “penonjolan otak,” yang terbentuk dalam proses perkembangan janin dengan cara menjulur keluar dari otak. Seperti mata, otak menikmati keistimewaan imun, jadi pengobatan yang berhasil di mata mungkin mudah diterapkan pada otak atau sumsum tulang belakang.
Kelebihan-kelebihan ini semakin penting karena strategi eksperimen yang kini berfokus pada mata dapat melandasi pengobatan masa depan untuk keseluruhan tubuh manusia. Terapi gen menawarkan kemungkinan memperbaiki gen cacat yang menyebabkan berbagai macam penyakit. Sel induk menawarkan kemungkinan mengganti struktur jaringan; implan bionik dapat menggantikan organ yang mulai rusak. Sekarang mata bukan hanya jendela potensi—dan juga keterbatasan—berbagai pendekatan terapi.
Bayangkan gambar hitam-putih dengan kontras tinggi, resolusi rendah, berkedip-kedip. Seperti itulah yang dilihat Rhian Lewis dengan mata bioniknya. Lewis, 50, dari Cardiff, Wales, mengidap penyakit retinitis pigmentosa, yaitu fotoreseptor mati akibat defisiensi gen dan penglihatan meredup dari sisi luar. Seiring waktu, terowongan penglihatan itu semakin menciut habis.
Kondisi ini menimpa Lewis saat kecil. Saat masih merangkak, dia tidak mau masuk ke lorong gelap. Namun, dia berhasil menyelesaikan sekolah dan kuliah; menjadi bartender; lalu, sementara mata kanannya rusak sepenuhnya, bekerja 20 tahun di toko buku dan alat tulis dengan menghafal setiap bagian toko dan belajar membedakan pena dengan meraba. Sejak toko itu tutup, dia lebih sering di rumah membesarkan anak kembarnya, yang kini menginjak akhir masa remaja.
Pada Juni 2015 wanita ini datang ke Rumah Sakit Mata Oxford, berbaring di meja, terbius oleh anestesi, dan 10 jam kemudian, terbangun dengan mata bionik. Dalam “operasi paling kompleks yang pernah saya lakukan,” kata dokter bedah Robert MacLaren, tim Oxford menyisipkan di antara lapisan-lapisan halus retina Lewis sebuah mikrocip sebesar bintik yang berisi 1.600 fotodiode mungil. Uji coba klinis MacLaren ini menelaah apakah cip ini, yang dinamai Alpha, dapat menggantikan fotoreseptor mati di pusat retina Lewis dengan menerjemahkan cahaya menjadi denyar listrik yang akan disampaikan oleh jaringan saraf yang ada ke otak.
Saat dokter menyalakan alat itu, kata Lewis kepada saya November lalu, “Saya tertegun. Tiba-tiba—ya Tuhan—ada sesuatu.”
Tetapi apa? Otaknya tak menafsirkan sinyal listrik dari cip itu sebagai benda atau pemandangan, tetapi sebagai denyar dan pendar yang sangat kontras. “Bukan gambar,” katanya, “hanya kesadaran bahwa ada perbedaan.”
Sejak itu dia belajar menafsirkan denyar cahaya ini sebagai penglihatan. Ini termasuk pelatihan formal di lab MacLaren katanya sambil tertawa. “Saya membencinya.” Tetapi, hasilnya mulai terasa. Dia belajar mengenali satu pola denyar sebagai manusia, pola lain sebagai pohon. Dia semakin mampu membedakan kontras dalam kegiatan menakutkan yang disebutnya “uji 50 rona kelabu” (sebenarnya hanya tujuh). Pada pekan sebelum saya berkunjung, dia berjalan-jalan di Oxford bersama tim MacLaren dan menemukan bahwa dia dapat membedakan, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, jendela gedung dengan temboknya.
Namun, kemajuan seperti ini lambat, dan Lewis masih mengerjakan hampir semua hal dengan indra peraba dan penglihatan meredup di sebelah matanya yang masih berfungsi. Menggunakan mata bioniknya terlalu melelahkan; biasanya dia matikan.
Keterbatasan seperti ini wajar pada purwarupa awal, kata Eberhart Zrenner, dokter bedah mata Jerman yang mulai mengembangkan Alpha lebih dari 20 tahun silam. “Tujuannya memang bukan memperoleh penglihatan penuh,” katanya, “melainkan meningkatkan kemampuan pasien untuk mengenali benda dan bermanuver.” Alpha berhasil melakukan itu. Zrenner bercerita ada pasien yang dapat membaca lagi namanya sendiri; pasien lain pertama kali memandang wajah tunangannya “dan melihat bahwa wajah itu sedang tertawa.” Hampir setengah dari 29 pasien yang mendapat implan versi lama yang mirip, katanya, merasakan implan itu bermanfaat.
Meremajakan Retina Aktivitas di otak yang berkaitan dengan penglihatan dapat mencapai hampir setengahnya. Kerusakan di lapisan retina, yang menangkap cahaya dan mengirim sinyal, dapat menyebabkan kebutaan yang saat ini tak dapat diobati. Namun, prognosis ini dapat berubah jika pengobatan retina yang sedang diuji ternyata efektif. Sumber: marks S. Humayun, University of Southern California; Henry Klassen, University of California; Irvine; Robert Maclaren, University of Oxford; Jean Bennet, University of Pennsylvania. (Manuel Canales, Staf NGM; Patricia Healy; Seni: Emily M. Eng)
Lewis juga merasa implan matanya bermanfaat. Andaipun implan ini tidak berkembang lebih jauh, katanya, gambar dari cip yang sering sulit ditafsirkan itu semacam mukjizat—terang yang menggantikan gelap. Dia memperkirakan bahwa ketika mata kirinya kelak rusak total, mata bionik ini, atau mungkin versi selanjutnya, akan membantunya melakukan hal yang dapat dilakukan sekarang.
“Motivasi saya adalah anak-anak,” katanya, yang keduanya dapat melihat dengan baik sekarang, tetapi berisiko tinggi terkena retinitis pigmentosa. “Apa pun yang bisa saya lakukan kini akan membantu orang lain nanti.”
Menurut MacLaren, proyek implan ini memberi beberapa pelajaran berharga. Pertama-tama, proyek ini menunjukkan bahwa fotodiode dapat menggantikan fotoreseptor alami dan itu langkah besar. Alat ini juga menunjukkan bahwa pasien dapat belajar menafsirkan stimulus visual dalam bentuk baru. Selain itu, kata MacLaren, implan menunjukkan bahwa “masih ada potensi penglihatan setelah fotoreseptor rusak, karena saraf lain masih utuh. Saya tak mengira bahwa hal ini dapat diperlihatkan.”
Menurut MacLaren, pelajaran yang dipetik ini sudah memicu kemajuan di dua area canggih lain: terapi gen dan sel induk.
Di California, tim mata sedang melakukan uji coba sel induk yang berevolusi hampir langsung dari sebuah implan. Salah seorang pemimpinnya adalah Mark Humayun.
Proyek besar pertamanya adalah ikut menciptakan Argus II, yang pada awal 2010-an menjadi implan retina pertama yang dipasarkan. Seperti Alpha dari Zrenner, Argus menggunakan susunan elektrode yang disematkan di belakang retina. Namun, susunan yang hanya berisi 60 elektrode ini bukan mengumpulkan cahaya, melainkan menarik sinyal dari kamera kecil yang terpasang di kacamata, yang mengirimnya melalui unit prosesor yang dibawa di sabuk atau tas. Banyaknya peralatan ini menimbulkan keterbatasan dan tuntutan yang lebih kaku daripada Alpha. Selain itu, dengan menggunakan kamera eksternal, ini berarti bahwa Argus, tidak seperti Alpha, tidak dapat memanfaatkan gerakan kecil bola mata, yang disebut mikrosakade, yang memegang peran misterius tapi penting dalam penglihatan.
Andaipun implan ini tidak berkembang lebih jauh, katanya, gambar dari cip yang sering sulit ditafsirkan itu semacam mukjizat—terang yang menggantikan gelap.
Namun, pemasangan implan ini di dalam retina turut menginspirasi perangkat sel induk yang sedang dikembangkan Humayun. Dia dan rekan penyelidik utamanya, Dennis Clegg, ahli biologi sel induk di University of California, Santa Barbara menyebutnya patch, semacam tampal. Alas tampal ini, adalah lembar tipis yang bentuknya mirip huruf d ini tetapi dua kali lebih besar. Pada bintik ini Clegg menebarkan 120.000 sel yang diturunkan dari sel induk embrio.
Humayun dan Clegg bermaksud menggunakan tampal ini untuk mengobati degenerasi makula terkait umur (AMD). Buta akibat AMD terjadinya kebalikan dengan retinitis pigmentosa: Ada bintik kabur yang mengeruhkan bagian tengah penglihatan, lalu menggelap dan meluas sampai akhirnya pasien menjadi buta fungsional. Ini penyebab paling umum untuk kebutaan tak terobati, sampai lima persen dari semua kebutaan.
AMD disebabkan oleh pembusukan sel di lapisan paling belakang mata, epitel pigmen retina (RPE). RPE memberi dukungan penting bagi lapisan fotoreseptor yang terletak persis di depannya. Humayun dan Clegg berharap sel RPE turunan sel-induk pada tampal akan menggantikan sel RPE yang rusak itu.
Dalam percobaan hewan yang dilakukan Humayun dan Clegg, integrasi paling efektif antara sel dan lapisan fotoreseptor terjadi apabila sel dimasukkan melalui tampal yang ditempatkan dengan baik.
Uji cobanya baru saja dimulai dan akan berakhir sebelum 2018. Jika berhasil metode ini dapat bermanfaat dalam mengobati AMD dan bentuk kebutaan lainnya. Humayun dan Clegg juga mungkin bisa memetik pelajaran tentang cara menggabungkan sel seperti itu ke dalam struktur biologis pada organ lain, merintis jalan bagi implan tampal-sel lainnya.
Potensi sel induk yang belum termanfaatkan juga menarik minat pihak lain yang berburu obat kebutaan, termasuk Henry Klassen dari University of California, Irvine. Klassen sudah 30 tahun mempelajari cara memanipulasi sel progenitor—mantan sel induk yang sudah mulai berubah menjadi jenis sel tertentu—agar mengganti atau merehabilitasi sel retina rusak. Setelah menggunakan sel progenitor retina untuk memperbaiki penglihatan tikus, celurut, kucing, anjing, dan babi, dia mengujinya pada manusia yang mengidap retinitis pigmentosa tingkat lanjut.
Dokter bedah menggunakan jarum untuk dengan cepat menyuntik mata dengan setengah hingga tiga juta sel progenitor yang direncanakan memegang beberapa peran dalam menyelamatkan retina yang rusak. Sebagian pasien retinitis pigmentosa yang menjalani prosedur ini kini dapat melihat jauh lebih banyak cahaya dan bentuk. Kristin Macdonald, warga California berumur 50-an yang hampir buta total akibat retinitis pigmentosa, mendapat pengobatan itu untuk sebelah matanya pada Juni 2015. Kini dia lebih mampu melihat perabotnya, van di seberang jalan, dan di kolam renang, “rona pucat”—pantulan warna biru pirus air, yang dulu hitam-putih. Klassen berharap kemajuan ini akan membuktikan pemikirannya bahwa jika kita mengirim sel yang tepat ke tempat yang tepat, sel itu akan tahu harus berbuat apa.
Dokter bedah mata Namibia Helena Ndume bercerita tentang lelaki yang, setelah pernah hampir menabrak gajah, berterima kasih kepada Ndume setelah pengobatan karena kini dia dapat melihat hewan berkeliaran; tentang perempuan yang, di usia 46 tahun, akhirnya bisa melihat putra kecilnya.
Ndume mengumpulkan banyak kisah seperti itu selama 20 tahun karena dia juga bereksperimen untuk memberantas kebutaan. Temuan eksperimen itu sangat gamblang di satu sisi: Selama dua dasawarsa, sekitar 30.000 pasien mendapat pengobatan, dan sekitar 30.000 dapat melihat. Namun, bukan ini yang diuji Ndume. Dia ingin menguji apakah manusia mau menyampaikannya ke orang yang memerlukannya.
Katarak adalah penyebab separuh kebutaan di bumi. Di dunia berkembang, pengidap katarak biasanya menjadi buta. Perawatannya sederhana: Taruh dokter dan pasien di satu ruangan, luangkan waktu 15-20 menit untuk mengganti lensa alami yang keruh dengan lensa buatan yang bening, lakukan pemeriksaan pascaoperasi. Di negara berkembang, biaya pengobatan berkisar antara 200 ribu hingga 1,3 juta rupiah Namun, hanya mencapai segelintir orang yang memerlukannya.
Bekerja sama dengan pemerintah Namibia dan pemerintah Afrika lainnya dan organisasi nirlaba SEE International, Ndume menyelenggarakan “perkemahan katarak.” Ndume dan dokter bedah lainnya mengoperasi hingga 500 orang per minggu. Tahun lalu PBB memuji “sumbangsih bagi umat manusia” dengan menganugerahkan Penghargaan Nelson Mandela yang pertama.
Ini salah satu penyebab mantan bintang NBA Dikembe Mutombo membangun rumah sakit di kota kelahirannya, Kinshasa, Republik Demokratik Kongo.
Penghormatan yang tepat bagi seseorang yang 41 tahun yang lalu, ketika masih berusia 15 tahun, meninggalkan kegelapan jenis lain saat dia lari dari apartheid yang diberlakukan pemerintah Afrika Selatan pada Namibia. Bersama tiga teman, dia berhasil sampai ke perkemahan di Angola yang dikelola oleh gerakan perlawanan Namibia bernama SWAPO; menghindari patroli helikopter musuh sampai akhirnya selamat tiba di Zambia; memberi tahu SWAPO bahwa dia ingin bersekolah busana tetapi malah dikirim ke sekolah kedokteran di Leipzig, Jerman; dan di sana menikah dengan rekan senegara yang tak lama kemudian tewas di Angola. Dia melahirkan anak mereka sendirian, menyelesaikan kuliah oftalmologi, bersukacita ketika Namibia meraih kemerdekaan pada 1990, dan pulang selamanya pada 1996 bersama tekad membantu kaum tunanetra.kisah ndume favorit saya adalah tentang perempuan yang diobatinya pada tahun pertama perkemahan, di sebuah klinik di Rundu, di perbatasan utara Namibia. Ada lebih dari 200 pasien yang mendaftar. Hanya 82 yang datang, karena begitu banyak yang takut membayangkan matanya disayat.
Saat Ndume mengadakan perkemahan di Rundu tahun berikutnya, perempuan itu datang. “Hasil bumi saya banyak sekarang!” Dia menarik Ndume ke pintu klinik.
“Saya mengajak teman,” katanya. Di luar ada puluhan orang yang bersemangat dibedah. “Mereka berbicara seolah operasi itu mukjizat,” kata perempuan itu.
Ndume mengoperasi ratusan orang pekan itu. Seperti kata rekannya Sven Obholzer, para pasien “masuk sambil memegang bahu orang di depannya, lalu keluar berjalan sendiri.”
Namun, meski sudah ada upaya dari Ndume dan pihak lain, sekitar 20 juta orang di seluruh dunia masih buta akibat katarak. Kalau diobati semua, kita bisa menyembuhkan separuh dari semua kebutaan. Namun, untuk mewujudkan itu, perlu prasarana permanen agar pengobatan itu dilakukan secara rutin. Ini salah satu penyebab mantan bintang NBA Dikembe Mutombo membangun rumah sakit di kota kelahirannya, Kinshasa, Republik Demokratik Kongo. Saat berkunjung ke sana, meski hanya dijadwalkan untuk lima hari, dia menambah menjadi tujuh hari, melakukan lebih dari seratus operasi, dan meninggalkan daftar tunggu yang berisi ratusan orang.
“Penyakit lain ini, degenerasi makula, retinitis pigmentosa, tak ada apa-apanya dibanding katarak.” Ndume tak bermaksud bahwa semua kondisi tersebut tak penting. Menurutnya, tantangan terbesar bukan hanya menemukan obat, tetapi juga menyampaikannya.
Saat saya menjadi pengamat dalam salah satu operasi, pemandangan itu mengganggu: Mata terbuka lebar, karena kelopaknya ditahan spekulum oftalmus. Namun, mata tak menyadari baja yang menyayat di korneanya.
Setelah menyadari hal itu, saya lebih mudah menyaksikan operasi. Saya tahu bahwa obat biusnya akan segera habis dan setelahnya mata itu dapat melihat dengan jernih.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR