Pagi itu semua kru telah melakukan persiapan terakhir penerbangan pesawat Trike Aquilla milik Taman Nasional Wakatobi dari bandara Betoambari Bau-Bau menuju bandara Matahora Wanci. Pengecekan mesin dan penambahan tangki bahan bakar telah dilakukan pada malam sebelumnya oleh seorang mekanik. Posisi sayap juga telah disetel pada kecepatan maksimal dan bahan bakar telah diisi penuh, cukup untuk empat jam penerbangan. Berdasarkan estimasi dari GPS waktu tempuh hanya sekitar 1,5 jam saja.
Matahari pagi mulai muncul disertai awan tebal yang bergelayutan di sisi timur. Arah pointer GPS juga menunjuk ke arah timur untuk menuju ke Wanci. Sungguh awal yang kurang bagus karena kondisi cuaca yang mendung. Setelah selesai test flight pilot memutuskan untuk langsung terbang menuju Wanci.
Awan tebal menyambut di ketinggian 500 feet, pesawat pun dipacu naik terus untuk menghindari awan itu. Pesawat juga harus terbang meliuk-liuk karena menghindari hadangan awan dan mencari celah-celahnya. Namun kadang awan-awan itu harus ditembus karena tidak memungkinkan untuk dihindari. Ketika itu gumpalan uap air mengelilingi pesawat dan yang terlihat hanya warna putih. Sensasi ini tentu saja tidak dapat diperoleh dari dalam kabin pesawat komersil.
Ketinggian maksimal yang dicapai dalam penerbangan ini sekitar 5.000 feet. Pesawat tidak bisa terbang dengan kecepatan maksimal karena melawan angin dari depan yang cukup kencang. Kecepatan yang hanya setengah dari kecepatan yang telah diperkirakan membuat perjalanan pesawat ini menjadi lebih lama.
Beberapa lama setelah lepas dari daratan Pulau Buton, samar-samar mulai terlihat daratan Pulau Kapota menyusul kemudian Pulau Wangi-wangi. Pulau terbesar dari gugusan empat pulau yang membentuk nama Wakatobi ini menjadi pintu masuk utama bagi pengunjung yang datang. Tambahkan Kaledupa, Tomia, dan Binongko jadilah Wakatobi, sumbangan dua kata awal tiap nama pulau. Dahulu lebih dikenal sebagai kepulauan Tukang Besi.
Sebelum mendarat di bandara Betoambari di sisi utara pulau Wangi-wangi, pesawat ini sempat terbang rendah di sekitar pesisir. Perairan dangkal yang ditumbuhi lamun tampak mencolok memisahkan kelamnya lautan dan rimbunnya pepohonan di daratan. Terlihat pemukiman nan padat menyesaki pinggir pantai. Dari atas dapat disaksikan juga kolam-kolam berwarna biru di sekitaran Wanci. Pada saat surut kolam itu tidak terpengaruh karena terhalangi pasir atau batu karang. Ekosistem yang sirkulasi airnya cenderung diam ini disebut laguna (lagoon).!break!
Belum banyak yang menyelami blue hole ini yang susunan karangnya berbeda dengan karang di tepi pulau. Responnya terhadap fenomena alam seperti pemutihan karang (coral bleaching) cenderung lebih cepat, karena ketika terjadi kenaikan suhu air laut, suhu air dalam laguna kecil cenderung lebih tinggi. Bagi kepentingan sains, karakteristik ini menjadi penting untuk diperhatikan.
Kawasan konservasi seluas 1.390.000 ha ini memiliki kekayaan 750 jenis terumbu karang dari 850 jenis di dunia. Puluhan dive spot bisa dinikmati penyelam di area yang termasuk kawasan segitiga karang dunia ini. Apabila pengunjung belum bisa menggunakan peralatan scuba (self contained underwater breathing apparatus) masih dapat menyaksikan warna-warni kehidupan laut dengan snorkeling. Alat yang dibutuhkan hanyalah masker, snorkel, dan fin (kaki katak). Pada kedalaman 2-5 kita dapat menyapa ikan nan cantik meliuk di antara karang yang sehat.
Tiga persen wilayah daratan Wakatobi dihuni oleh 9 masyarakat adat antara lain Wanci, Mandati, Liya, Kapota, Kaledupa, Waha, Tongano, Timu, dan Mbeda-beda. Selain itu juga terdapat masyarakat pendatang yaitu Bajo dan Cia-cia dari etnis Buton. Kehidupan mereka sangat tergantung pada kekayaan lautan sehingga pengembangan hasil laut yang lestari dan pariwisata berkelanjutan diutamakan.
Karena ketergantungannya dengan alam, muncullah kearifan dalam pemanfaatannya. Suku Bajo yang dikenal sebagai pelaut ulung mengenal istilah “Pamali” untuk hal-hal yang dilarang, semacam sistem ‘tabu’. Misalnya dilarang membuang sampah seperti kulit jeruk nipis, sisa bumbu dan sampah lainnya ke laut. Ikan yang masih kecil juga dilarang ditangkap sebelum mencapai ukuran yang layak dikonsumsi. Ada ketakutan yang dirasakan bila mereka melanggarnya karena akan mendapatkan “bala” atau nasib buruk. Misalnya badai, gelombang besar, dan hujan deras atau bahkan mereka tidak akan mendapatkan ikan. Pulang membawa tangan kosong.
Kearifan lokal yang tumbuh di suku Bajo ini sejalan dengan upaya konservasi yang melindungi kekayaan laut di kawasan yang 97 persennya berupa lautan. Program konservasi yang telah diterapkan sejak penujukkan Wakatobi menjadi taman nasional tahun 1996 kemudian dilirik oleh UNESCO melalui program Man and Biosfer. Program ini memberi perhatian pada ekosistem darat dan laut yang menerapkan kerjasama konservasi keanekaragaman hayati dengan pengembangan sosial ekonomi serta memelihara nilai budaya.
Setelah diusulkan dikaji secara mendalam oleh para ahli maka pada bulan Juli 2012, taman nasional ini resmi dinobatkan sebagai Cagar Biosfer. Bolehlah kita bangga Wakatobi bisa menjadi perhatian 165 negara anggota jaringan cagar biosfer dunia. Proses pengukuhan ini tentunya tidak dalam waktu singkat, ada upaya serius dan konsisten dari pengelola kawasan. Menjadi cagar biosfer yang ke delapan di Indonesia membuktikan pengelolaan kawasan dengan prinsip konservasi dan pembangunan berkelanjutan dapat berjalan serasi.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR