Mangrove menyimpan kisah unik. Ekosistem ini hidup di wilayah berisiko. Tanaman penyusunnya tinggal di dua alam dengan satu kaki di darat dan satu lagi di laut. Kondisi ekstrem berhasil dilalui tanaman ini, mulai dari daerah panas kering, penuh lumpur hingga kadar tinggi yang dapat mematikan tanaman biasa dalam waktu beberapa jam. Namun, formasi hutan mangrove merupakan ekosistem paling produktif dan terumit secara biologis di muka Bumi.
Di kawasan Asia Tenggara, mangrove tumbuh subur. Dengan kemahiran beradaptasi, mangrove menyusun wilayah pesisir sekitar khatulistiwa yang kaya akan siraman sinar mentari. Ekosistem ini mengatur ekologi alam yang khas dan melindungi terumbu karang yang rapuh dari kehancuran. Kini, mangrove mengalami berbagai ancaman—akibat aktivitas pembangunan tanpa mengindahkan keseimbangan lingkungan.
Kehidupan ekosistem pesisir menjadi pilihan saya saat mengunjungi Taman Nasional Mu Ko Chumphon, kawasan pelestarian yang berada di Provinsi Chumphon—hari ketiga perjalanan darat saya berbingkai geowisata. Kawasan seluas 317 kilometer persegi ini menjadi rumah yang nyaman bagi berbagai jenis satwa dan tumbuhan. Sebelumnya, kawasan ini menyandang nama Taman Nasional Hat Sai Ri. Namun, pemerintah mengubah nama itu menjadi Mu Ko Chumphon sejak 1999.
Saya memang telah memantapkan hati untuk mengunjungi Teluk Thung Kha—dari sekian banyak pilihan destinasi di wilayah taman nasional—yang mencakup wilayah hutan, perbukitan, pesisir hingga kepulauan. Saya tertarik mengamati kawasan pesisir teluk yang menjadi ujung dari dua sungai: Khlong Sawi dan Khlong Sawi Thao. Dengan panjang garis pantai sekitar 22 kilometer, wilayah pasang surut teluk menjadi tempat hidup subur bagi ekosistem mangrove.!break!
Mengikuti jembatan kayu yang kokoh, saya melangkahkan kaki menuju jantung area mangrove. Saya mengagumi keseriusan pengelola dalam menyiapkan taman nasional sebagai tempat wisata yang menyenangkan sekaligus mendidik. Jembatan kayu ini sekaligus menjadi jalur interpretasi pengunjung terhadap ekosistem mangrove. Seiring hari yang semakin sore, saya mengayun langkah memasuki area hutan.
Terus memasuki bagian dalam hutan saya menjumpai dominasi Rhizophora sp. (bakau). Beradaptasi dengan jenis tanah dan wilayah pasang surut, buah bakau telah berkecambah dan mengeluarkan bakal akar napas sedari masih menempel di batang pohon. Begitu jatuh, buah bakau dapat langsung menancap di permukaan tanah. Ketika arus air laut membawa buah, maka bakal bakau akan tersangkut di akar tanaman lain.
Saya tidak berhenti menikmati ekosistem unik ini. Saya semakin masuk ke dalam mangrove Thung Kha. Derap langkah yang disusul oleh bunyi kayu yang berderit, menggema di sekeliling hutan. Untungnya, permukaan air sedang rendah, sehingga saya bisa menyaksikan ciri fisik tiap jenis tanaman mangrove secara jelas. Akar tunjang yang menjadi ciri mencolok bakau bersilangan. Sesekali tampak sejumlah biota yang menghuni wilayah kerap tergenang air laut pasang besar. Saya juga menemukan Avicennia sp. (api-api). Tanaman keluarga mangrove ini memikat mata dengan ciri akar napas berbentuk seperti paku. Bentuk akar yang beradaptasi ini seperti menyembul dari permukaan tanah. Selain itu, terdapat pula jenis Xylocarpus sp. (nyirih) yang tersebar di sekitar hutan. Tanaman ini mudah saya kenali lantaran memiliki akar papan yang memanjang.
Sepanjang menyusuri jembatan kayu, pengelola telah membangun berbagai papan informasi—berisikan pengetahuan ekosistem mangrove. Papan tersebut kebanyakan menggambarkan siklus hidup keluarga mangrove, mulai dari sewaktu pasang naik ketika bulan muda hingga saat pasang surut. Beberapa papan dilengkapi dengan permainan interaktif yang menghibur. Sejalan dengan prinsip-prinsip geowisata, pengelolaan seperti ini merupakan cara belajar yang sangat menyenangkan. Saya pun teringat akan kondisi di Indonesia. Beberapa kawasan mangrove memang telah dikelola dengan cara yang sama. Ujung-ujungnya, memberikan pengetahuan baru.
Mentari tenggelam bersamaan langkah saya meninggalkan kawasan hutan mangrove Thung Kha. Hati saya yang tertambat di sini seperti berontak. Maklum, saya masih ingin menyinggahi destinasi lainnya yang berdekatan dengan area pelestarian Mu Ko Chumphon. Saya harus melanjutkan perjalanan. Seraya menghibur diri, saya bergumam lirih, “Suatu saat saya akan kembali ke sini.”
Aktivitas Asyik lainnya:
Jangan lupa sambangi Ko Chorakhe—berada di sebelah utara taman nasional. Kita dapat berenang dan snorkeling di antara kecantikan pesona hayati bawah laut Ko Maltra—Berjarak kurang lebih 6,5 kilometer dari kantor pusat taman nasional, tempat ini menjadi surga bagi para penyelam. Ko Thong Lang—hamparan pasir putih akan selalu menggoda kita untuk menghabiskan waktu sembari menunggu waktu tenggelam matahari. Lainnya, terdapat akomodasi untuk rombongan pejalan, harga sekitar Rp1.500.000 – Rp3.000.000. Biaya masuk kawasan sekitar Rp40.000.
Rahasia Mengontrol Populasi Nyamuk: Aedes aegypti Jantan Tuli Tidak Bisa Kawin!
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR