Di haluan KLM Lady Denok, Michael, juru mesin, menggenggam handy talkie (HT). Matanya berusaha fokus ke bawah lambung kapal, menembus laut yang berubah jadi hitam oleh malam. Tubuh si Lady bergetar, diikuti pecah laut di ujung haluan.
“Yak… si Bongkok (panggilan mesra para ABK untuk jangkar) sudah mulai terlihat, ganti,” katanya seiring pinisi yang mulai beringsut meninggalkan Teluk Lalong dan hamparan cahaya kota Luwuk, Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah. Jam menunjukkan angka 23.45 WITA. Berarti lebih cepat 15 menit dari waktu yang direncanakan. Dimulailah perjalanan 5 hari memburu gerhana matahari.
“Lady Denok ini kapal wisata yang keseluruhannya milik orang Indonesia. Biasanya pinisi wisata milik asing atau kerjasama dengan asing,” kata I Gede Sumendra, Cruise Director KLM Lady Denok. Malam itu, kami menuju kesunyian Pulau Peling, kira-kira 4 jam perjalanan dengan kecepatan 4 knot.
Awalnya kapal seberat 114 ton dengan panjang 28 meter ini mengapung tenang. Lantas datang gelombang agak tinggi sekitar 2 jam selepas dari Teluk Lalong. Dini hari itu, sembilan ABK terjaga. Setengah sadar, saya merasakan tempat tidur terguncang dan tenang kembali menjelang fajar, seolah laut tak pernah bergejolak.
Pagi belumlah usai. Matahari baru saja keluar dari tempat peristirahatannya. Namun kami harus berpindah ke pulau lain.
“Kita cari pulau lain saja, karena kemungkinan Pulau Peling tertutup awan,” kata Lapana, Kapten KLM Lady Denok. Lapana adalah laki-laki 50 tahun, bertubuh liat, melaut dari kecil. Pada masa mudanya, ia membawa kapal kopra dari Luwuk ke Surabaya. Dengan laut, ia berkawan akrab.
Menjelang pukul 07.00 WITA, speedboat mengantar kami ke sebuah pantai yang memungkinkan melihat matahari tanpa terhalang, sementara pinisi menautkan jangkar di permukaan air yang lebih dalam. Gede menyebutnya sebagai Pulau Balantak, tepatnya salah satu pantai di Kecamatan Balantak, Kabupaten Banggai, masih satu kabupaten dengan Teluk Lalong. Pantai ini berada di sisi timur laut Pulau Sulawesi.
Tak banyak orang yang datang ke tempat itu, kecuali anak-anak yang mengaku dari desa dekat pantai. Mereka datang mengendarai sepeda dan sepeda motor untuk melihat gerhana matahari. Menarik melihat tingkah laku anak usia SD ini. Rupanya mereka sudah mendapatkan pengetahuan dari gurunya untuk tidak secara langsung melihat gerhana matahari. Salah satu dari mereka memberanikan diri meminjam kacamata gerhana kami, lantas mengenakannya bergantian.
Keriuhan terjadi ketika matahari tertutup bulan, pada pukul 8.48 WITA. Pantai temaram, tidak gelap total seperti bayangan saya sebelumnya. Laut berubah warna jadi kelabu, namun masih menyisakan kilauan sinar matahari. Keindahan itu berlangsung dalam hitungan detik, sampai kemudian korona pecah sangat menyilaukan. Konon peristiwa ini hanya bisa berulang ratusan tahun yang akan datang.
Saatnya menikmati kekayaan hayati pulau ini. Begitulah keinginan saya selepas menyaksikan gerhana matahari. Salah satunya mengais jejak maleo senkawor atau maleo, burung endemik Sulawesi dan Pulau Buton.
“Di sini dulu sering terlihat maleo, jalan-jalan di pasir,” kata Gede sambil mendekatkan speedboat ke tempat kami berdiri. Gede, yang akan menemani kami selama 5 hari pelayaran ini juga seorang penyelam yang merantau dari Bali dan sudah tinggal lebih dari 20 tahun di Luwuk. Sampai kami meninggalkan pantai itu, tak ada satu pun burung, apalagi maleo terlihat.
Memang sejak puluhan tahun lalu, populasi Maleo di alam liar terus menurun. Bahkan menurut data IUCN, kini populasinya berkisar 12.000 -21.000 ekor. Wajar untuk berjumpa dengannya, tak semudah kita menemukan papan nama “Jangan Membeli Telur Maleo” di Bandara Syukuran Aminuddin, Luwuk.
Tak berhasil menemukan maleo, Gede mencoba beberapa titik lokasi penyelaman di sepanjang jalur yang akan dilalui pinisi. Ia berharap bisa menemukan titik selam menarik, termasuk merekam aktivitas ikan kardinal banggai, satwa laut yang hanya dijumpai di Kepulauan Banggai. Ikan ini biasanya berenang secara berkelompok di terumbu karang. Terkadang menyamar di antara bulu babi. “Di sini banyak spot diving yang belum banyak diselami. Saya juga baru survei,” kata Gede.
Sementara itu, pinisi mulai bergerak lagi ke arah Selatan dari perairan Balantak, menuju Pulau Peposo dan Pulau Lesampuang, kepulauan dalam wilayah administratif Kabupaten Banggai Kepulauan. Betapa indahnya menyusuri pulau-pulaunya, yang bahkan global positioning system (GPS) pun menyerah. Terbukti alat yang ada di ruang kemudi tersebut kerap mengeluarkan tanda “tidak ada sinyal” dan tak mampu “menyebutkan nama” pulau-pulau tersebut.
Siang itu, kecepatan rata-rata kapal 9-11 knot. Kemudian para ABK berikat kepala segitiga ala busana tradisional Bugis itu membentangkan layar. “Layar yang ada di sini jarang dipakai. Kapal ini digerakkan dengan mesin,” kata Lapana.
Tapi pinisi tanpa layar terbentang rasanya kurang afdol. Ibarat tarian tanpa musik, bukan?
Sungguh menakjubkan perjalanan ini. Langit bergulung awan serupa kapas. Pinisi yang saya tumpangi melenggang laksana bidadari dengan segala keanggunannya. Kami pun bertemu pelangi yang melengkung setengah lingkaran, dengan warna berlapis tak mudah pudar.
Tak hanya pelangi, bahkan 6 ekor lumba-lumba pun seolah menyambut kedatangan kami. Mereka berenang beriringan, sesekali melompat melewati kanan dan kiri haluan. Lumba-lumba terlihat sebagai makhluk yang selalu bergembira di laut lepas. “Kami para pelaut percaya, kalau melaut diikuti lumba-lumba, maka pelayaran itu akan selamat,” kata Gede sambil menunjuk ke arah haluan.
Usai terpesona oleh rombongan lumba-lumba, mendekatlah sebuah sampan dengan seorang lelaki berdiri tegak mendayungnya. Muatannya, bubu (perangkap ikan dari bambu) yang kosong dan 4 ekor gurita berukuran besar. Ia menunjukkan hasil buruannya dan menawarkan untuk kami bawa secara cuma-cuma. Bagi para pelaut, memberi beberapa ekor ikan sama dengan mengucapkan “Apa Kabar” pada orang yang baru dikenal.
Tak banyak pemandangan bawah laut yang saya lihat di dekat Pulau Peposo, kecuali Gede yang menyelam agak jauh dari garis pantai. Ia menemukan spot diving dengan banyak sekali jenis ikan. “Ribuan!” serunya.
Beberapa sisi tampak hamparan lamun yang menjadi makanan favorit duyung. Sementara sisi yang lain, Gede menemukan blue black tiger fish dalam jumlah yang sangat banyak dan juga karang lunak dengan warna memikat. Sementara, saya cukup menikmati pemandangan di atas air. Ada dua pulau berdekatan, yang satu ditumbuhi dengan kelapa. Sedangkan pulau satunya dilingkupi tumbuhan heterogen, dari ragam jenis bakau hingga tanaman merambat. Juga rumah panggung menghadap laut menjadi pemandangan gugusan Pulau Peposo.
Rumah panggung ini jadi tempat persinggahan nelayan. Bagi nelayan, istilah singgah bukan hanya beberapa jam seperti yang saya lakukan. Persinggahan nelayan bisa berarti minggu bahkan bulan. Bukan hal garib, jika banyak perabotan memasak di rumah panggung itu. Saya bertemu nelayan yang singgah. Bule, nelayan berusia di atas 60 tahun berkulit mengilap khas orang-orang laut. “Saya mencari kerang. Silakan kalau mau ambil. Saya tinggal di sini, kadang sampai 3 bulan,” katanya sambil menumpuk kerang sebesar telapak tangan.
Pulau Lesampuang menampilkan wajah berbeda. Saya mengunjunginya di hari ke-4 sembari menuju perjalanan pulang. Dari jauh, pulau berpasir putih itu tampak mengapung sendirian, cantik, dan memikat. Aroma ikan bakar mengambang bercampur aroma asin air laut. Saat saya mendekat, ternyata bukan ikan, melainkan teripang yang tengah dipanggang nelayan yang sedang singgah. Mereka menanak nasi dengan ketel sembari memanggang teripang untuk makan siang di gubuk menghadap laut.
Puluhan meter dari garis pantai, tampak hamparan terumbu karang. Bintang laut beraneka warna tampak di dasar pasir. Saya menemukan bintang laut biru, chocolate chip sea star, dan juga jenis linckia lain berwarna krem. Salah seorang penumpang pinisi yang mendayung kayak takjub melihat banyak bintang laut tersebar. Ragu ia menyentuhnya. Hari itu adalah pengalaman pertamanya, menyentuh bintang laut.
Beberapa orang tampak mencari keong segitiga yang terselip di antara pasir untuk dikonsumsi. Saya menjumpai dua perempuan mengambil keong dengan tangannya. Dan, dalam beberapa jam saja, sudah mendapatkan dua keranjang besar penuh keong.
Gede memilih sisi agak jauh. Ternyata setelah hamparan karang, terdapat tebing. Di tempat ini warna laut berubah drastis dari hijau toska menjadi biru gelap. Di tebing itu Gede menyelam. Ia menemukan banyak ikan karang dan dinding yang dipenuhi pemandangan terumbu karang nan indah.
Selama 25 tahun jadi penyelam, Gede mengakui sepanjang Selat Peling masih sedikit yang telah ia selami. Baginya, setiap spot diving adalah lembaran baru yang selalu menampilkan kisah berbeda. Sebagaimana rute KLM Lady Denok yang mencari titik-titik penyelaman luar biasa, untuk dikisahkan kembali agar dikenal lebih luas oleh masyarakat. Kali ini giliran saya yang menceritakannya.
--------
TITIK KARTITIANI menggemari tema budaya dan lingkungan hidup. Salah seorang pendiri www.theactualstyle.com dan www.foksijatim.com. Kisahnya “Keindahan Pulau yang Terbuang” terbit di majalah ini pada edisi Maret.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR