“Saya tidak ingin meneruskan usaha ibu saya ini!” Kalimat itu meluncur begitu saja dari sosok perempuan yang sedang duduk di hadapan saya. Sore itu ia mengenakan pakaian serba hijau. Wajahnya keras dengan mata yang tajam. “Karena saya sering dimarahi ibu ketika membantunya di rumah makan dulu.” Ia melanjutkan kalimat yang sempat tertahan tadi. Perempuan itu Desmawati namanya. Usianya telah lewat setengah abad. Saya baru saja menghabiskan sepiring nasi dengan sepotong rendang di Rumah Makan One Nan Lamo di bibir jalan raya yang padat yang mengarah ke satu kampus negeri terbesar di Sumatera Barat. Rumah makan ini adalah kepunyaannya.
Buk Beti, begitu ia biasa dipanggil, sedari kecil tumbuh di lingkungan yang kesehariannya dipenuhi oleh ragam masakan. Ibunya menjual nasi dan lauk pauk di kedai kecil di rumah mereka. Dulu sekali diwaktu kecil ia sering ke Pasar Raya di tengah Kota Padang untuk membeli bahan masakan. Ia juga melihat bagaimana One, panggilan ibunya, meramu bahan makanan itu di dapur mereka. Ia tak mengecap pendidikan yang tinggi.
Sebabnya?
“Untuak a sakola tinggi-tinggi kalau akhirnyo ka di dapua juo." Untuk apa sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya akan di dapur juga begitu kata One suatu kali kepadanya. Pesan yang pada masa dulu diterima begitu saja oleh mayoritas perempuan-perempuan Minang di kampung-kampung. Atas nama emansipasi, idiom itu menjadi lelucon bagi sebagian perempuan-perempuan Minang masa ini. Harusnya, gerakan kesetaraan itu tak merambat ke negeri matrilineal ini. Di sini, posisi perempuan sangat terhormat. Sebagai limpapeh, tiang utama, Rumah Gadang dan kunci harta pusaka di kaumnya.
Rumah makan itu tak terlalu besar. Lebarnya hanya selebar lapangan sepak takraw saja. Bangunannya memanjang ke belakang. Etalase makanan ada di bagian depan. Bagian dalam rumah makan ini dinding-dindingnya didominasi warna merah muda. Dapurnya terletak di belakang, berbatas langsung dengan tembok perumahan yang disewakan untuk mahasiswa. Kecamatan Pauh ini adalah salah satu daerah padat di Kota Padang. Kepadatan penduduknya disebabkan oleh mahasiswa-mahasiswa berbagai daerah yang kuliah di perguruan tinggi tertua di luar Pulau Jawa yang terletak di atas Bukit Karamuntiang. Tak heran jika rumah-rumah kos tumbuh dimana-mana. Dan Rumah Makan One Nan Lamo ini adalah salah satu rumah makan pertama yang ada di daerah ini. “Ibu mau ke dapur. Rendang sudah habis.” Ia berkata kepada saya. Tahun lalu terakhir kalinya saya melihat bagaimana rendang dibuat. Tepatnya sehari sebelum lebaran ketika saya di dapur bersama Ibu. Tak banyak pikir, saya menawarkan diri untuk turut ke dapur bersamanya.
Selama di perantauan, jarang sekali saya berada di ruang seperti ini. Dulu di kampung, sewaktu masih anak-anak saya sering menghabiskan waktu melihat kerja-kerja ibu di dapur. Tak jarang saya menjadi orang pertama yang merasakan masakan ibu, walau dengan cara mengambil diam-diam sekalipun. Sebab itulah ketika kaki saya menginjak dapur One Nan Lamo ini saya seperti sedang pulang ke rumah. Ada aroma ibu di ruang ini. Sepertinya Tan, kawan saya itu, pernah berada di sini sebelumnya. Entahlah, ia tak pernah mengatakan hal itu kepada saya.
Buk Beti tidak bekerja sendiri di dapur. Ada tiga perempuan lain yang membantu pekerjaannya. Meja-meja tempat bumbu masakan ditaruh di tengah dapur. Di sudut lain ada tungku dengan perapian dari kayu. Di atasnya kancah, kuali besar, sudah diisi dengan minyak. “Itu rempah-rempah untuk bumbu rendang.” Ibu Beti menyentak saya yang sedang berdiri menatap piring-piring yang berisi bermacam biji-biji kecil di dalamnya. Ada buah pala, bunga lawang, bawang, kulit manis, dan rempah-rempah lainnya. Rempah-rempah inilah yang membedakan rendang dengan masakan lainnya. Tidak hanya karena rasanya yang khas, tapi juga ragam bumbunya menyehatkan. Ini sebabnya rendang ramah di lidah semua orang.
Di dapur, Buk Beti memasukkan begitu saja bumbu-bumbu itu ke dalam kancah. “Tidak ditakar terlebih dahulu, Buk?” Saya bertanya kepadanya. “Memasak itu tentang perasaan bukan perkara takaran.” Ibu Beti menjawab dengan pengaduk di tangannya mengacau bumbu-bumbu yang baru saja ia masukkan. Pantas saja tak banyak laki-laki yang bisa memasak. Seorang perempuan lain di dapur itu mendekat ke tungku, ia melihat besar api di tengah tungku. Selain bumbu, juga teknik memasak yang dibalut dengan ‘perasaan’ itu, besar kecilnya api memang sangat mempengaruhi rendang yang sedang dimasak. Kekhasan rasa rendang juga berasal dari aroma kayu bakar yang berasal dari batang kayu manis. Rasa inilah yang tidak ditemui ketika ibu-ibu masa kini memasak rendang di atas kompor yang apinya berasal dari pembakaran minyak tanah ataupun gas. Terakhir, ia memasukkan potongan daging sapi ke dalam kuali. Hingga selesai nanti, rendang ini masih terus diaduk, dan tungku tak boleh ditinggalkan.
Randang, sebutan rendang dalam bahasa Minang, sebenarnya bukan nama sebuah makanan. Namun lebih kepada proses pembuatannya. Santan dan bumbu rempah dimasukkan terlebih dahulu ke dalam kuali. Tak lupa ditambahkan daun salam dan daun limau. Kemudian diaduk hingga bumbu-bumbu itu lesap satu sama lain. Setelah dirasa cukup, daging-daging dimasukkan. Lalu, proses mengacau dilanjutkan hingga santannya mengering dan potongan daging berubah hitam. Inilah proses marandang. Dan daging-daging itu bisa berasal daging sapi, kambing, kerbau, bahkan bisa diganti dengan telur dan lokan sekalipun. Oleh Orkes Kumbang Tjari di awal tahun 60-an, proses marandang ini digambarkan dengan puitis dalam lagunya yang berjudul Randang Darek. ‘Bagaluak-galuak karambia jo kukuran. Manyalo dagiang jo batu lado. Bacakak daun kunyik, garam, jo santan. Bagalimang jadi samba pusako.’
“Dalam adat Minangkabau, rendang memiliki posisinya tersendiri.” Pinto Anugrah, seorang sastrawan Sumatera Barat, pernah berkata kepada saya beberapa waktu lalu. Tidak akan lengkap satu prosesi pengangkatan seorang Datuk jika samba pusako, masakan adat di Minangkabau, tidak turut dipersembahkan. Samba pusako itu adalah rendang dan gulai kerbau. “Karena itu rendang stratanya berada di atas masakan lain di Minang ini.” Lanjut Pinto yang tahun lalu baru saja dikukuhkan sebagai Datuk Rajo Pangulu di kampungnya. Dari perkataan Pinto, saya menerka-nerka bahwa rendang ini sudah ada sejak lama. Bahkan dalam Hikayat Amir Hamzah yang tersohor itu pun proses marandang ini pernah diceritakan. ‘Buzurjumhur Hakim pun pergi ke kedai orang merendang daging kambing, lalu ia berkata; beri apalah daging kambing rendang ini barang segumpal’ begitu tertulis dalam hikayat yang lahir pada tengah abad ke-16 itu.
Kini, tak banyak perempuan-perempuan yang pintar memasak. Salah satu sebabnya, mereka sibuk mengurusi tugas kuliah yang dibawa pulang. Mereka pun acap melupakan belajar memasak. Sembari menemani Buk Beti memasak rendang, saya sempat menanyakan siapa yang akan melanjutkan usaha ini nantinya. Beberapa saat ia tak menjawab pertanyaan saya. Lalu, dia berujar, “Sepertinya tak ada.”
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR