Nationalgeographic.co.id—Tim ilmuwan dari University of Vienna, Austria berhasil menemukan jejak wanita purba yang hidup 25.000 tahun yang lalu, selama zaman es terakhir dari hasil menganalisis lumpur gua. Temuan tersebut merupakan sebuah pencapaian signifikan bahwa identifikasi populasi manusia purba ternyata dapat dilakukan tanpa harus menganalisis kerangkanya.
Lumpur tersebut telah terkubur di dasar gua selama ribuan tahun. Dan analisis lumpur tersebut menghasilkan genom manusia purba dari populasi tak dikenal. Penelitian ini telah dipublikasikan di Current Biology.
Sampel tersebut juga menghasilkan DNA dari spesies serigala dan bison. Tim ilmuwan internasional kemudian dapat menempatkannya dalam konteks sejarah populasi mereka.
"Hasil ini memberikan wawasan baru pada sejarah genetik Pleistosen Akhir dari ketiga spesies ini dan menunjukan bahwa pengurutan [DNA] dari endapan lumpur dapat menghasilkan informasi genom tentang manusia purba dan hubunga filogenetik, meski tanpa metode pengayaan target," tulis tim peneliti dalam laporan mereka, seperti dilansir Eurekalert.
Seperti diketahui, selama ini pemulihan DNA purba biasanya sangat bergantung pada kerangka dan keberuntungan. Pertama, kita butuh kerangka yang mampu bertahan hingga ribuan tahun dan tetap dapat melestarikan kandungan DNA di dalamnya.
Selanjutnya, kita harus menemukannya dan memulihkan materi genetik yang terdapat di kerangka tersebut untuk dilakukan pengurutan DNA. Sebuah pekerjaan melelahkan untuk mengisi celah dalam sejarah evolusi, tidak hanya manusia tapi juga kehidupan lainnya.
Namun, banyak situs arkeologi memiliki lebih banyak bukti penggunaan peninggalan hominid -makhluk mirip manusia- daripada kerangka. Gua Satsurblia di Georgia adalah satu situs tersebut. Gua tersebut telah digunakan oleh manusia purba selama ribuan tahun. Ada banyak artefak seperti alat-alat batu yang bertahan selama ribuan tahun dibandingkan kerangka hominidnya.
Baca Juga: Gua Meksiko Berusia 30.000 Tahun yang Berada di Wilayah Kartel Narkoba
Meski demikian, hingga saat ini hanya ada satu genom individu dari situs tersebut yang pernah diurutkan. DNA tersebut milik manusia yang hidup 15.000 tahun yang lalu.
Oleh karena itu, DNA lingkungan yang dapat terawetkan dalam sedimen, nampak seperti cara terbaik untuk mempelajari lebih lanjut tentang masa lalu. DNA yang tersimpan seperti di kotoran, atau fragmen tulang yang telah hancur menjadi debu.
Pada penelitian tersebut, tim ilmuwan yang dipimpin oleh ahli biologi evolusi Pere Gelabert dan arkeolog Ron Pinhasi pergi mencari DNA lingkungan di gua Satsurblia. Tim kemudian memperoleh enam sampel tanah dan dengan hati-hati menyaringnya, mencari jejak materi genetik.
Tim kemudian menemukannya dalam bentuk DNA mitokondria, terpecah-pecah dan tidak lengkap. Tapi setelah disatukan dengan susah payah, cukup untuk menghasilkan informasi baru tentang populasi yang pernah menghuni wilayah tersebut.
Baca Juga: Mengenal Gua Theopetra Yunani, Jadi Bangunan Tertua di Dunia
Diketahui, DNA tersebut adalah wanita. Meski hanya sebagian kecil dari genom yang ditemukan, tetapi para peneliti dapat menyimpulkan bahwa dia adalah anggota dari kelompok hominid yang sebelumnya tidak diketahui. Kelompok itu sekarang sudah punah, tetapi berkontribusi pada populasi saat ini di Eropa dan Asia.
Selanjutnya, genom serigala yang ditemukan di sana juga menunjukan garis keturunan yang sebelumnya tidak diketahui, yang sudah punah. Menurut peneliti, populasi serigala berubah dan terbentuk kembali secara signifikan pada akhir zaman es terakhir, sekitar 11.000 tahun yang lalu.
Sementara DNA mitokondria bison dalam sampel tersebut, dapat diidentifikasi mirip dengan bison yang hidup di zaman sekarang. Para peneliti menemukan bahwa genomnya terkait lebih erat dengan bison Eropa dan Eurasia dibandingkan bison Amerika Utara.
Namun, tidak diketahui pasti apakah ketiga spesies itu hidup bersama di dalam gua. Peneliti mengaku sulit untuk mempersempit waktu pasti zaman hidupnya ketiga makhluk tersebut.
Baca Juga: Lukisan Gua Bergambar Jari-Jari Tak Lengkap: Diamputasi atau Ditekuk?
Studi DNA lingkungan, menurut peneliti juga masih memiliki beberapa keterbatasan yang signifikan. Seperti sifat fragmentrasi dari setiap materi genetik yang diambil, dan kemungkinan kontaminasi yang tinggi.
Namun, temuan tersebut telah menunjukan bahwa berkat teknologi yang murah dan mudah diakses, lumpur bisa menjadi sampel yang jauh lebih terbuka daripada yang telah diyakini sebelumnya.
"Hasil kami menunjukan bahwa unbiased shotgun sequencing dari DNA purba pada sedimen dapat menghasilkan data genom yang luas dan informatif tentang leluhur beberapa taksa," tulis peneliti.
Penelitian tersebut, menurut peneliti juga mungkin membuka arah baru untuk studi seluruh ekosistem. "Termasuk interaksi antara spesies yang berbeda dan aspek praktik manusia yang terkait dengan pemanfaatan hewan atau tumbuhan."
Baca Juga: Lebih Dari Setengah Abad Penemuan, Jejak Kaki di Atap Gua Terungkap
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Source | : | Science Alert,current biology |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR