Di awal sejarah tanah air, pers Tionghoa muncul atas dasar kesadaran akan nasionalisme di kalangan keturunan Tionghoa di Indonesia.
Mereka awalnya membutuhkan tidak lebih dari sebuah terbitan yang dapat menjadi sarana iklan dagang. Menurut Leo Suryadinata, pakar yang mengkhususkan diri dengan penelitian seputar peranakan Tionghoa di Indonesia, pers Tionghoa diterbitkan oleh dan untuk kalangan terbatas saja pada awalnya.
Kata Leo juga, pers mulai berubah setelah revolusi pecah, Dr. Sun Yat Sen membuat China berubah dari kekaisaran menjadi republik pada tahun 1911. Saat itu juga, pers terdorong mengalami perkembangan di bidang sosial, bahkan politik. Pers Tionghoa dengan bahasa Melayu ini juga lahir karena pengaruh munculnya kaum terdidik pada masa itu. Pers Melayu-Tionghoa, bersama pers bumiputra, merupakan bagian dari pergerakan nasional yang aktif berjuang menentang kolonialisme Belanda.
Salah satu yang paling historis serta dikenal hingga sekarang adalah surat kabar Sin Po, surat kabar Tionghoa berbahasa Melayu yang mulai beredar sejak zaman Hindia-Belanda hingga tahun 1965. Pertama kali diterbitkan di Jakarta sebagai mingguan pada 1 Oktober 1910, Sin Po lantas beralih sebagai surat kabar harian dua tahun kemudian.
Meski berorientasi pada Tiongkok, Sin Po pun turut mendukung pergerakan Indonesia, kendati yang dilakukannya cenderung tidak frontal. Sin Po memelopori surat-surat kabar lain untuk menggunakan istilah "Indonesia" ketimbang sebutan lazim pada waktu itu: "Hindia Belanda".
Peran besar Sin Po yang tidak dapat dimungkiri adalah menjadi media pertama yang memuat teks lagu Indonesia Raya pada bulan November 1925. W.R. Soepratman, si pencipta lagu, saat itu merupakan salah satu jurnalis untuk Sin Po.
Selain Sin Po, sederetan surat kabar yang juga termasuk pers Melayu-Tionghoa pada era permulaan pergerakan nasional adalah Keng Po (Jakarta), Sin Tit Po (Surabaya), Tjahaja Timoer (Malang), Sin Djit Po (Surabaya), Soeara Poeblik (Surabaya), dan Soeara Semarang (Semarang).
KOMENTAR