Nationalgeographic.co.id—Untuk pertama kalinya di dunia, para peneliti di Amerika serikat telah mengembangkan perangkat neuroprostetik yang berhasil menerjemahkan gelombang otak seorang pria lumpuh menjadi kalimat lengkap untuk bercakap-cakap. Laporan temuan ini telah terbit di New England Journal of Medicine pada 15 Juli 2021.
"Ini adalah tonggak teknologi penting bagi seseorang yang tidak dapat berkomunikasi secara alami," ujar David Moses, seorang insinyur pascadoktoral di University of California San Francisco (UCSF) yang menjadi salah satu penulis utama laporan studi tersebut.
"Ini menunjukkan potensi pendekatan ini untuk memberikan suara kepada orang-orang dengan kelumpuhan parah dan kehilangan kemampuan bicara," ujap Moses seperti dikutip dari AFP.
Temuan terobosan ini melibatkan seorang pria berusia 36 tahun yang mengalami stroke saat berusia 20 tahun yang membuatnya menderita anarthria. Anarthria adalah kondisi ketidakmampuan seseorang untuk berbicara dengan jelas, meskipun fungsi kognitifnya tetap utuh.
Setiap tahun, ribuan orang kehilangan kemampuan berbicara karena stroke, kecelakaan, atau penyakit.
Penelitian sebelumnya di bidang ini berfokus pada membaca gelombang otak melalui elektroda untuk mengembangkan prostetik mobilitas yang memungkinkan pengguna mengeja huruf. Pendekatan baru kali ini dimaksudkan untuk memungkinkan komunikasi yang lebih cepat dan organik.
Para peneliti UCSF sebelumnya telah menempatkan susunan elektroda pada pasien dengan bicara normal yang menjalani operasi otak. Susunan elektroda ini ditempatkan untuk memecahkan kode sinyal yang mengontrol saluran vokal, untuk mengekspresikan vokal dan konsonan. Selain itu, susunan elektroda ini juga mampu menganalisis pola untuk memprediksi kata.
Namun konsep tersebut belum dicobakan pada pasien lumpuh untuk membuktikan bahwa metode ini dapat memberikan manfaat klinis.
Baca Juga: Optogenetik: Terapi Mata Ini Mampu Memulihkan Penglihatan Orang Buta
Tim memutuskan untuk meluncurkan studi baru yang disebut Brain-Computer Interface Restoration of Arm and Voice (BRAV). Peserta pertama dalam studi ini meminta untuk disebut sebagai BRAVO1.
Sejak menderita stroke batang otak yang menghancurkan, BRAVO1 memiliki gerakan kepala, leher, dan anggota tubuh yang sangat terbatas. Ia kemudian berkomunikasi dengan menggunakan penunjuk yang terpasang pada topi baseball untuk menyodok huruf di layar.
Para peneliti bekerja bersama BRAVO1 untuk mengembangkan 50 kosa kata yang terdiri atas kata-kata penting untuk kehidupan sehari-harinya, seperti "air", "keluarga", dan "baik". BRAV01 kemudian juga menjalani pembedahan agar para peneliti bisa menanamkan elektroda berdensitas tinggi di atas korteks motorik bicaranya.
Selama beberapa bulan berikutnya, tim peneliti merekam aktivitas saraf BRAV01 saat ia mencoba mengucapkan 50 kata. Tim menggunakan kecerdasan buatan untuk membedakan pola halus dalam data dan mengikatnya dengan kata-kata.
Baca Juga: Tim MIT dan Harvard Ciptakan Masker yang Bisa Deteksi Infeksi COVID-19
Untuk menguji apakah itu berhasil, tim peneliti memberi dia kalimat yang dibangun dari kumpulan kosakata tersebut, dan merekam hasilnya di layar. Mereka kemudian mendorongnya dengan pertanyaan seperti "Bagaimana kabarmu hari ini?" dan "Apakah Anda ingin air?" yang dapat dia jawab dengan tanggapan seperti, "Saya sangat baik," dan "Tidak, saya tidak haus."
Sistem kecerdasan buatan itu mampu menerjemahkan hingga 18 kata per menit dengan akurasi rata-rata 75 persen. Adanya fungsi "koreksi otomatis" yang mirip dengan yang digunakan di telepon dalam sistem tersebut, berkontribusi pada kesuksesannya.
"Sepengetahuan kami, ini adalah demonstrasi pertama yang berhasil mendekodekan kata-kata penuh langsung dari aktivitas otak seseorang yang lumpuh dan tidak dapat berbicara," ucap Edward Chang, ahli bedah saraf dalam studi BRAVO1 ini.
Sebuah editorial yang menyertai laporan studi di New England Journal of Medicine tersebut memuji perkembangan teknologi tersebut sebagai "sebuah prestasi rekayasa saraf." Ini adalah sebuah harapan baru bagi orang-orang yang lumpuh agar bisa berbicara atau berkomunikasi dengan orang-orang lainnya dengan menggunakan gelombang otak mereka.
Baca Juga: Pertama Kalinya, Seorang Pasien Diketahui Terinfeksi Dua Varian Corona
Source | : | AFP |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR