Temuan awal National Institute of Geophysics and Volcanolog (INGV) di Italia menunjukkan bahwa gempa bermagnitude 9 yang terjadi di Jepang, Jumat (11/3/2011), mengakibatkan pergerseran sumbu Bumi sekitar 25 sentimeter.
Menanggapi temuan ini, beberapa pakar pun meyakinkan bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang normal dan tidak perlu dikhawatirkan. "Dua puluh lima sentimeter itu tampak besar kalau terlihat pada penggaris. Namun, kalau Anda melihat pada skala Bumi keseluruhan, itu pastinya sangat kecil," kata geolog Universitas Torronto, Andrew Miall, seperti dilansir web National Post Kanada. Berpengaruh pasti, namun, menurutnya, tidak akan terlalu dirasakan. Ia mengibaratkan perubahan satu detik dalam 24 jam.
Pendapat yang sama dikatakan ahli astrofisika asal Indonesia yang bekerja di Max Planck Institute for Astronomy, Johny Setiawan. Ia mengatakan, sumbu Bumi memang tidak stabil. Pergeseran sumbu Bumi, menurutnya, memang sesuatu yang normal terjadi. "Bumi, kan, bagian luarnya terdiri dari lempengan-lempengan. Kalau lempengannya bergeser, sumbunya juga bergeser karena distribusi materi dan titik beratnya juga bergeser," katanya, saat dihubungi Kompas.com.
Ia menjelaskan, fenomena tersebut mungkin dapat diumpamakan Bumi tampak seperti gasing yang berputar dan kadang sumbunya berubah setiap waktu. Gerak perubahan sumbu Bumi disebut Gerak Presesi dan beberapa penyebabnya adalah gravitasi Bulan dan Matahari. Secara kebetulan, bulan saat ini juga sedang bergerak ke posisi perigee atau jarak terdekat dengan Bumi yang akan terjadi 19 Maret 2011 nanti sehingga distribusi massa di permukaan Bumi juga akan berubah. (Yunanto Wiji Utomo)
REKOMENDASI HARI INI
Kekeringan Ekstrem yang Menjadi Awal Kehancuran Dinasti Ming Tiongkok
KOMENTAR