Nationalgeographic.co.id - Claudius Ptolemeus lewat bukunya yang dipublikasikan sekitar tahun 150, Geographia, menggambarkan adanya kawasan yang berada sangat jauh di timur dari Yunani. Dia menyebut kawasan itu sebagai Argyre, atau negeri besi.
Dalam buku itu, Argyre tidak jauh dari semenanjung Malaya dan kawasan yang bernama Barus di Sumatera. Banyak dari para sejarawan mencari tahu keberadaan negeri yang dimaksud, dan menemukan kerajaan tertua di Nusantara: Salakanagara.
Peneliti peningalan kuno dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran Undang Ahmad Darsa, menulis makalah Kropak 406; Carita Parahyangan dan Fragmen Carita Parahyangan tahun 2004. Melalui tulisannya di Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga, Darsa memperkirakan bahwa Ptolemeus bisa jadi sempat mengunjungi Salakanagara.
Kita selama ini mengenal bahwa kerajaan awal di Indonesia, yakni Kutai di Kalimantan Timur (350-1605), dan Tarumanagara di Jawa bagian barat (358-669). Lantas, bagaimana dengan Salakanagara?
Pangeran Wangsakerta dari Kesultanan Cirebon menyusun naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara dalam 26 jilid pada sekitar 1677 dan 1698. Naskah itu menyebut Kudungga dan Aswawarman sebagai raja Kutai di masa lalu.
Menurut naskah itu, Aswawarman adalah menantu Kudungga, bukan anaknya. Nama Aswawarman yang namanya berunsur bahasa Sansekerta disebutkan berasal dari Salakanagara--yang merupakan kerajaan 'perintis' Tarumanagara, dan putra dari Raja Dewawarman VIII.
"Jika kebenaran naskah itu dapat dipercaya, akan dapat diketahui bahwa banyak sekali hal dalam sejarah kita yang selama ini belum jelas, dalam naskah itu diuraikan dengan jelas," tulis arkeolog Universitas Indonesia Ayatrohaedi, dalam bukunya Sundakala.
"Nama kerajaan di Kutai itu, misalnya, disebutkan Bakulapura, sedangkan nama dua orang tokohnya, yaitu Kudungga dan Awaswarman segamaiana kita kenal dalam prasasti, juga ditemukan dalam naskah itu."
Naskah itu juga menyebutkan nama beberapa kerajaan sebelum Tarumanaegara, seperti Salakanagara, Jayasinghapura, Agrabinta, dan Hujungkulwan. Ayatrohaedi memperkirakan beberapa nama ini pada loksai sekarang, seperti Agrabinta adalah kerajaan kecil di Cianjur Selatan yang terdapat nama daerah yang serupa, dan Jayasinghapura adalah Jasinga di Kabupaten Bogor.
Baca Juga: Di Balik Kuasa Kesultanan Banten dalam Perniagaan Mancanegara
Baca Juga: Surawisesa Beri Portugis Sunda Kelapa, Pajajaran Dihajar Demak-Cirebon
Tertulis, Salakanagara memiliki raja pertama bernama Dewawarman yang berasal dari India, dan sebelumnya menjadi duta untuk India di Pulau Jawa. Dia kemudian menikahi Pwahaci Larasati, putri kepala daerah setempat, Aki Tirem atau Sang Aki Luhurmulya.
"Ternyata, Aki Tirem leluhurnya berasal dari "seberang", yaitu Suwarnabhumi (Sumatera), sedangkan nenek-moyangnya berasal dari India," tulis Ayatrohaedi. Naskah itu menyebut garis leluhur Aki Tirem itu yang berangsur-angsur dari kakek, buyut, piut, dan selanjutnya.
Nama kakeknya adalah Ki Srengga, buyutnya beranama Nay Sariti Warawiri, piutnya Sang Aki Bajupakel, selanjutnya Aki Bungkul--yang pindah dari Suwarnabhumi ke Jawa Barat bagian selatan).
Nama-nama selanjutnya adalah Ki Pawang Sawer, Datuk Pawang Marga, Ki Bagang dari Suwarnabhumi utara, Datuk Waling, Datuk banda, dan Nesan (tinggal di Langkasuka (kini bagian dari Malaysia dan Thailand. Nesan ini adalah pendatang dari Yawana, sebuah negeri dari abad ke-5 SM-2 Masehi di barat India.
Setelah menjadi menantu Aki Tirem, Dewawarman memiliki nama nobat Prabhu Dharmalikapala Dewawarman Haji Raksagapurasagara. Ayatrohaedi menulis, "Nama Raksagapurasagara ini 'menyengat', mengingat gunung yang terdapat di Pulau Panaitan, tempat ditemukan sejumlah arca Siwa dan Ganesa, bernama Raksa."
Salakanagara pada masa jayanya menjadi 'gapura' maritim karena meliputi Jawa Barat, dan pulau-pulau kecil di Selat Sunda. Semua kapal yang melintasi perairan itu harus singgah ke Salakanagara untuk memberikan upeti atau persembahan kepada Dewawarman.
Baca Juga: Menguak Sisa Kerajaan Pananjung, Kuasa yang Hilang di Pangandaran
Dewawarman I yang menikahi Pwahaci larasit ini lahirlah beberapa anak, salah satunya adalah Dewawarman II (bergelar Sang Prabhu Digwijayakasa Dewawarman). Dewawarman I ini berkuasa selama 38 tahun (130-68), dan sesuai dengan berita Tiongkok dari tahun 132 yang menyebut Pien yang diperkirakan lafal untuk namanya, Ayatrohaedi berpendapat.
Selanjutnya pada masa kekuasaan Dewawarman VIII (berkuasa 340-363), kerajaan Salakanagara berubah nama menjadi Tarumanagara. Dia juga memindahkan pusat kekuasaannya ke Jayasinghapura yang sudah menjadi kota besar.
Pergantian nama ini juga mempengaruhi sistem untuk memulai menulis nama raja-rajanya di prasasti. Nama-nama seperti Rajadhirajaguru atau Jayasingawarman Gurudharmapurusa, yang merupakan raja pertama Tarumanagara sendiri adalah menantu dari Dewawarman VIII.
Baca Juga: Mencerna Kembali Pesan Banjir dari Leluhur Jakarta
Terdapat berbagai titik temu antara naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara dengan ragam prasasti peninggalan Tarumanagara. Prasasti Tugu memuat banyak informasi nama dan gelar raja-raja Tarumanagara awal, meski tak bertanggal.
Para ahli memperkirakan prasasti itu berasal dari abad ke-5, yang juga tidak bertentangan dengan menurut penanggalan naskah.
"Jika berita naskah itu dapat dipecaya, sekali lagi, berarti terjemahan Purbatjaraka mengenai Prasasti Tugu itu pada bagian yang berbunyi rajadhirajena sebagai 'oleh maharasa yang mulia' harus diubah menjadi 'oleh Rajadhiraja," terang Ayatrohaedi mengenai penyamaan nama dalam naskah dan prasasti.
"Jika bertia naskah itu dapat dipercaya, berarti kita harus banyak merombak atau mengubah pandangan dan pendapat kita mengenai kisah sejarah kita di masa lampau," ia menambahkan. "Karena berita naskah itu berbeda dengan pandangan tafsiran kita selama ini."
Baca Juga: Budaya Panji di Tatar Sunda, Meresap Ranah Islam dan Filosofis
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR