Nationalgeographic.co.id—Naskah Wangsakerta, khususnya Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara menyajikan sejarah yang lengkap, walau isinya kontroversial. Seperti apa isinya?
Bagaimana negeri kita menulis cerita tentang sejarah? Kebudayaan awal kita mengenal kebiasaan tulis dan tutur untuk mengungkap asal-usulnya. Sering kali, narasinya pun berbalut dengan mitos, sehingga isinya harus dikaji lebih lanjut oleh para peneliti.
Tahun 1970-an, para ahli sejarah dan budaya terkejut dengan penemuan Naskah Wangsakerta. Lantaran, isinya yang begitu detail dan rinci menceritakan sejarah Nusantara, dari peradaban purba hingga masa kerajaan Islam. Penelitian akan naskah itu masih berjalan hingga kini.
Salah satunya dalam buku Sundakala: Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" Cirebon (2005) karya mendiang Ayatrohaedi, filolog Universitas Indonesia.
Dia menjabarkan, Wangsakerta adalah nama pangeran yang pernah berkuasa di paruh akhir abad ke-17, tetapi jarang orang yang mengenalisnya sebagai sosok yang pernah hidup.
Perihal naskah, sang pangeran tidak menulis sendirian. Inisiasi penulisan itu muncul pada menjelang meninggalnya Panembahan Girilaya sebelum 1677, untuk menyusun kisah kerajaan-kerajaan Nusantara. Hingga akhirnya, penyusunannya dilakukan lewat 'panitia' yang diketuai Wangsakerta.
Panitia ini terdiri dari lima penasehat agama, Islam dari Arab, Siwa dari India, Wisnu dari Jawa Timur, Buddha dari Jawa Tengah, dan Konghucu dari Semarang. Ada pula para pelaksana di bawah mereka yang terdiri tujuh orang jaksa pepitu Cirebon, untuk mengadakan musyawarah rancangan.
"Rupanya, prakarsa untuk menyelenggarakan musayawarah itu memperoleh sambutan hangat dari berbagai daerah," tulis Ayatrohaedi. "Karena banyaknya, kemudian mereka dibagi-bagi ke dalam lima sangga (kelompok)."
Kelima sangga itu terdiri dari para ahli dari hampir seluruh daerah di Nusantara, sampai kawasan terpencil. Saking banyaknya, jika ingin melihat rinciannya dapat dilihat dalam buku Ayatrohaedi.
Panitia juga bekerja atas tanggung jawab berdasarkan tugas yang diberikan oleh tiga sultan Pulau Jawa, yakni Panembahan Girilaya Cirebon, Sultan Ageng Tirtayasa Banten, dan Sultan Amangkurat Mataram. Dukungan dari kerajaan luar juga diberikan, karena adanya kepentingan politik di dalamnya.
Baca Juga: Di Balik Kuasa Kesultanan Banten dalam Perniagaan Mancanegara
Bahkan para peserta, ada juga peninjau dari Mesir, Arab, India, Srilangka, Benggala, Campa, Tiongkok, dan Hujungmedini (semenanjung Malayu). Kelompok ini tidak punya hak suara, tapi berperan untuk mengabarkan surat perjanjian antar kerajaan Nusantara ini kepada VOC Belanda.
Para panitia ini berhasil memustakan 1.700 naskah, lengkap dengan semua jilidnya, seperti Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara dan salinan kitab-kitab hukum Majapahit. Yang paling banyak adalah Rangkaian carita, katha, dan itihasa dengan 286 jilid, dan Pustaka Agama Islam karya Pangeran Manis dengan 300 jilid.
"Menurut pengakuan Wangsakerta, tugas itu ternyata sangat berat dan banyak dukanya disebabkan oleh seringnya terjadi beda pendapat dan pertengkaran di antara para utuisan itu jika membicarakan daerah masing-masing," ungkap Ayatrohaedi.
Karena pertengkaran itu, terpaksalah Wangsakerta dalam penulisan mengambil cara yang baik untuk mendamaikan segala pihak. Maka, untuk penulisan Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara sebagai hasil penelitian lintas kerajaan, membutuhkan waktu pengumpulan bukti ke daerah-daerah.
Naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara membutuhkan waktu penyusunan antara 1677 hingga 1685.
Namun hasil jadi dari naskah itu, justru mengejutkan peneliti masa kini, papar Ayatrohaedi. Kejutan itu adalah pembagian zaman yang dimulai dari pencatatan era purba, sampai masa pencatatan mereka.
Mereka menulis meliputi masa dari 1.000.000 tahun Sebelum Saka (SS), kemudian disambung dengan masa awal sejarah Nusantara lewat pembagian yuga (babak). Lima yuga pertama meliputi masa purba, dan yang keenam disebut masa kejayaan dan kekuasaan para raja hingga pemeinrahan Sultan Agung di Mataram.
Baca Juga: Menguak Sisa Kerajaan Pananjung, Kuasa yang Hilang di Pangandaran
Pada masa 1.000.000 hingga 600.000 SS, Nusantara berisi makhluk manusia yang menyerupai setengah hewan. Di waktu yang sama, ada juga makhluk yang menyerupai kera tingal di pepohonan, gua, gunung, dan pinggir sungai, yang suka membunuh sesama tanpa senjata.
Cukup menarik penjelasan tentang manusia yang menyerupai kera telah ditulis pada abad ke-17 akhir. Mengingat pengetahuan manusia setengah kera, atau manusia purba seperti itu baru mulai diungkap lewat Teori Evolusi yang dicetus Charles Darwin dari Inggris, dua abad setelahnya.
Selanjutnya, antara 750.000 hingga 300.000 tahun SS, hidup satwapurusa yang berjalan seperti manusia berkulit merah kehitaman, dan lebih terampil. Mereka sudah dapat membuat alat dari tulang dan batu, tetapi masih kasar.
"Ada yang menyebut makhluk sudah berjalan seperti manusia itu dengan nama butapurusa 'manusia setengah raksasa'. Makhluk itu tinggal di dalam gua-gua di kaki gunung, tetapi kemudian punah karena dibunuh orang-orang yang datang dari benya sebelah utara," Ayatrohaedi mengutip dan menerjemahkan naskah itu.
Sekitar 50.000 hingga 25.000 SS, hiduplah para raksasa kecil yang memiliki senjata dari batu, tetapi tidak bagus kualitasnya, dan turut punah. Mereka disebut wananapurusa.
Baca Juga: Surawisesa Beri Portugis Sunda Kelapa, Pajajaran Dihajar Demak-Cirebon
Naskah itu menulis, orang-orang dari utara itu kemudian menyebar ke seluruh Nusantara seperti Sumatera, Jawa, Bali, Sulawesi, dan pulau-pulau lain sekitar 20.000 SS. Tubuhnya sama kecil dengan pribumi yang sudah ada. Tetapi pribumi tidak punah, karena hidup berdampingan dengan pendatang dari utara.
Pada yuga kelima terjadi perpindahan bagnsa dari utara dalam beberapa gelombang. Panitia Wangsakerta menanggalinya dari 10.000 SS hingga 200 SS. mereka datang dengan alasan yang bermacam-macam, mulai dari lari dari perang, hingga mencari pekerjaan dan tanah subur untuk kehidupan.
"Di antara para pendatang itu, ada yang berasal dari daerah yawan, Syangka, Champa, dan India Selatan. Mereka disebut sebagai orang yang banyak ilmunya [...] dan mulai berdatangan sejak 1.600 tahun sebelum Saka," lanjutnya.
Naskah itu juga membuat peradaban kerajaan Nusantara lebih awal daripada yang diperkirakan para ahli sebelumnya. Dalam naskah itu menyebutkan beberapa tokoh sebelum Kutai dan Tarumanagara, dan menyebut adanya kerajaan Salakanagara di abad pertama masehi.
Baca Juga: Teka-Teki Salakanagara, Kerajaan Nusantara Tertua Versi Wangsakerta
Source | : | perpusnas.go.id |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR