Nationalgeographic.co.id—Melacak jejak binatang liar tidak lekang dari menelusuri hutan dengan menggunakan clipboard dan teropong serta berharap melihat sekilas hewan atau setidaknya tumpukkan dari kotoran hewan untuk mengetahui keberadaannya.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, teknologi telah membuat sebuah kemudahan untuk melacak pergerakkan hewan-hewan dari jauh dan juga lebih detail. Mulai dari elang yang sedang beroutar-putar di atas Antartika, kura-kura tempayan bermigrasi melintasi Atlantik, atau gajah Afrika yang sedang mencoba untuk memetakan lanskap karena semakin terganggu oleh pemukiman manusia.
Seorang ahli geografi James Cheshire dan desainer Oliver Uberti telah mencipatkan sebuah data dari 50 peta yang indah dan menarik yang juga mengungkapkan pengembaraan hewan yang tertangkap oleh satelit, kamera trap, drone dan alat-alat lainnya.Hasil dari buku terbaru milik mereka, Where the Animals Go.
Inilah salah satu peta data paling awal yang dimiliki para ilmuwan tentang distribusi dan migrasi paus. Pemburu paus abad ke-18 dan ke-19 menjelajahi lautan untuk mencari binatang buas besar, yang dihargai karena daging dan lemaknya, lalu mencatat setiap perburuan di buku catatan kapal.
Pada 1930-an, ahli zoologi Amerika Charles Townsend menyadari pentingnya catatan ini. Dia menyusun lokasi dalam serangkaian grafik yang memberikan gambaran besar pertama tentang makhluk-makhluk yang dikepung ini.
Peta perburuan paus hanyalah salah satu dari 50 ilustrasi detail indah yang menghiasi halaman-halaman buku ini. Setiap peta membantu pembaca untuk berjalan, berenang, atau terbang di jalur hewan liar—berbagai rute mereka di seluruh dunia tercermin dalam coretan dan kusut di seluruh halaman.
Baca Juga: Lewat Bakteri Ini, Ilmuwan Ungkap Sejarah Migrasi Manusia ke Amerika
Sebagian besar peta berfokus pada penelitian terbaru dan metode pelacakan mutakhir—tag GPS yang ditempelkan pada cangkang penyu; kunci seperti kode batang ditempelkan di punggung semut; "perekam dalam penerbangan" untuk mengukur lokasi, tekanan, kecepatan dan percepatan burung nasar; bahkan nanopartikel fluoresen digunakan untuk melacak pergerakan plankton.
Buku ini juga menampilkan beberapa peta sejarah, termasuk peta yang menggunakan data paus yang digunakan ulang oleh Townsend. Informasi masa silam ini digunakan kembali untuk menunjukkan seberapa banyak teknologi telah mengubah pelacakan hewan dan akan terus memengaruhi cara kita berpikir tentang perlindungan satwa—dari semut, burung hantu, hingga gajah.
Para penulis membicarakan kepada sejumlah ilmuwan. Meskipun beberapa peneliti tidak bersedia untuk berbagi data yang mereka kumpulkan selama bertahun-tahun hingga puluhan tahun, masih banyak pula yang senang untuk membantu. Beberapa dari ilmuwan tersebut telah mem-posting penemuan mereka secara terbuka di situs Movebank atau zoaTrack.
Buku ini penuh dengan catatan perjalanan yang menakjubkan, seperti catatan dari dutch terns atau sejenis burung laut bergenus Sterna. Burung itu terbang sejauh 90.000 kilometer dari Belanda, menyusuri pantai barat Afrika, Ke Tasmania, dan kembali ke sarangnya setelah tinggal di Antartika. Selain itu, pergerakkan dari lebah asal Jeman yang berpindah dari Prancis serta perpindahan buaya di Australia.
Sebagai alat pelacak yang lebih kecil, cepat dan dilengkapi dengan sensor serta mampu menyimpan data lebih banyak data dari sebelumnya, para ilmuwan sangat dimudahkan untuk mendapatkan informasi bagimana perilaku hewan di alam liar.
Baca Juga: Penelitian Ini Lacak Pola Migrasi Paus Biru Kerdil untuk Konservasi
“Beberapa waktu yang lalu, para ilmuwan mendapatkan satu atau dua informasi tambahan tiap harinya, untuk mendapatkan lokasi keberadaan hewan. Namun, saat ini mereka bisa mendapatkan informasi tersebut hanya dalam beberapa detik,” kata Cheshire.
Di Mplala Research Centre, Kenya seorang antropolog Margaret Crofoot mendapatk keuntungan dari tingkat pengambilan sampel yang lebih banyak untuk mempelajari perilaku, pengambilan keputusan pada babon yang dilengkapi dengan kerah ber-GPS.
Baca Juga: Pengamatan Terbaru: Masih Ada Burung Terancam Punah di Teluk Jakarta
Salah satu seri dari peta dalam buku ini menunjukkan apa yang terjadi suatu hari pada dua ekor babon yang menggunakan perangkat tersebut untuk memimpin kawanannya. Sangat mengejutkan bagi para peneliti, beberapa ekor babon kemudian mengikuti mereka dalam beberapa menit dan segera seluruh pasukan dari 46 ekor babon itu bergerak bersama.
Teknologi pelacakan semakin banyak digunakan untuk melindungi hewan serta untuk mempelajarinya. Di Tsavo National Park, kelompok konservasi Save the Elephants telah menggunakan kerah GPS untuk menyelidiki gajah. Mereka juga telah bekerja sama dengan perusahaan teknologi untuk melacak gajah secara real time dan menggunakan data dari accelerometer (mirip dengan perangkat pada gawai cerdas kita yang dapat menghitung berapa banyak langkah kita). Alat ini dipasangkan di leher hewan untuk mengirim sebuah pesan teks jika melambat atau berhenti bergerak karena adanya indikasi kemungkinan hewan tersebut telah tertembak oleh pemburu.
"Dalam batas tertentu, alat ini dapat memberitahu para penegak hukum dan mengirim seseorang untuk memeriksa keadaan hewan tersebut," kata Uberti.
Baca Juga: Asal-Usul Monyet Amerika Selatan: Migrasi Menyeberang dari Afrika
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR