Sebuah studi yang dipimpin oleh peneliti asal University of Melbourne terhadap cuaca di kawasan Australasia menggunakan 27 rekaman data iklim alami dilakukan untuk pertama kalinya. Adapun data yang digunakan adalah data untuk merekonstruksi temperatur di kawasan tersebut selama 1.000 tahun terakhir.
Sejumlah indikator alami digunakan. Beberapa di antaranya adalah cincin pada batang pepohonan, coral, dan inti bongkahan es. Semuanya bertujuan untuk mempelajari temperatur kawasan Australia dan Asia selama millenium terakhir dan membandingkannya dengan simulasi pemodelan iklim.
Menurut Joelle Gergis, ketua tim penelitian tersebut, hasil yang didapat dan telah dipublikasikan di Journal of Climate, menunjukkan bahwa tidak ada periode hangat lain dalam 1.000 tahun terakhir seperti pemanasan yang dialami benua Australasia sejak tahun 1950.
“Studi kami mengungkapkan bahwa pemanasan yang terjadi baru-baru ini dibandingkan dengan kondisi yang terjadi selama 1.000 tahun terakhir sangatlah tidak lazim dan tidak bisa dijelaskan hanya lewat faktor-faktor alami,” kata Gergis. “Ini mengindikasikan bahwa adanya pengaruh kuat terhadap perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia, di kawasan Australasia,” ucapnya.
Gergis menyebutkan, rekaman alami, atau yang dikenal juga dengan palaeoclimate seperti lingkaran kulit batang pohon, koral, dan inti bongkahan es merupakan data penting untuk mengevaluasi perubahan iklim regional maupun global selama berabad-abad. Sebelum perubahan temperatur mulai dicatat manusia pada tahun 1910.
Adapun catatan alami yang dikumpulkan oleh Gergis dan 30 rekan-rekannya diambil dari kawasan Australia, Selandia Baru, dan berbagai tempat lain di seluruh dunia. Rekonstruksi menggunakan 27 rekaman iklim alami tersebut dikalkulasikan dalam 3.000 cara yang berbeda untuk memastikan hasilnya sangat bisa dipercaya. “Rekonstruksi temperatur regional tidak hanya menyediakan gambaran iklim di masa lalu, tetapi juga merupakan platform signifikan untuk mengurangi ketidakpastian terkait perubahan,” ucap Gergis.
Studi yang dilakukan ini, kata Gergis, merupakan bagian dari kolaborasi global yang berupaya untuk merekonstruksi perubahan iklim selama 2.000 tahun terakhir di setiap kawasan di dunia. Tujuannya untuk membuat proyeksi perubahan iklim di masa depan.
Penulis | : | |
Editor | : | Deliusno |
KOMENTAR