Kawasan Gunung Halimun-Salak berpotensi digarap jadi objek wisata alam. Lokasi yang bisa ditempuh empat hingga lima jam dengan mobil dari Jakarta ini bisa menjadi alternatif selain kawasan Puncak, Bogor.
Apalagi, melalui rencana tata ruang wilayah Bogor, hutan lindung puncak bakal hilang akibat alih fungsi lahan. Dibutuhkan pengelolaan berkelanjutan agar ekowisata di Halimun Salak menguntungkan warga dan minim gangguan ekosistem.
Saat mengikuti survei udara yang dilakukan Sustanaible Management Group (SMG) dari Bandara Halim Perdanakusuma menuju Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), Rabu (25/7), hamparan pepohonan yang rapat mendominasi pemandangan. Kabut kerap menutupi puncak dan lereng pegunungan.
"Woaw, this is amazing," kata Hitesh Maketa, pakar perencanaan lanskap asal AS. Penerbangan juga diikuti Nigel Tucker, ahli biodiversitas flora asal Australia.
Tampak pula hamparan perkebunan teh serta sawah yang berimpitan dengan kawasan hutan konservasi. Menjelang mendarat di lapangan Desa Lebak Sangka, Lebak, Banten, tampak ratusan tenda sepanjang aliran sungai yang dihuni para petambang emas.
SMG bersama Kementerian Kehutanan melibatkan Aneka Tambang (perusahaan tambang emas di TNGHS) serta warga setempat menggarap Pusat Konservasi Keanekaragaman Hayati (PKKH).
Chairman SMG David Makes yang juga Ketua Asosiasi Pariwisata Alam Indonesia menjelaskan, PKKH membuat TNGHS menjadi pusat pendidikan, penelitian, wisata, dan jasa lingkungan. Warga diberdayakan agar mampu mengintensifkan pemakaian lahan.
Kepala TNGHS Agus Priambudi yang ditemui di Kampung Sukagalih, Kecamatam Kabandungan, Sukabumi, mengatakan sangat mendukung penyusunan rencana induk PKKH.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR