"Perjalanan Panji Inu Kertapati (Klana Jayangsari) yang semula ingin mencari kematian karena diilhami oleh kisah raja Anglingdarma ternyata merupakan kisah peperangan dan pertempuran untuk menaklukkan musuh-musuhnya," terang Karsono.
Dia melanjutkan bahwa Candrakirana dalam kisah ini adalah simbol yang mewakili objek Brahman dalam tujuan akhir pengembaraan Panji Inu Kertapati. Dia maupun Angreni juga gambaran kebahagiaan abadi. Maka, usaha pengembaraan Panji adalah upaya dewa menyatukan keduanya.
Berhubung Panji sebagai tokoh dalam kesusastraan 'asli' rakyat Jawa, Karsono menganggap bahwa sosok ini adalah citra ideal bagi kebudayaan yang membangunnya.
Baca Juga: Kelana Budaya Panji yang Melintasi Bentuk, Tempat, dan Waktu
"Bahwa pengembaraan Panji Inu Kertpati sebagai respresentasi laku tentulah harus dirunut secara tekstual pula," tulis Karsono dalam makalahnya.
"Panji dan para kadean beralih rupa dan berganti nama: Panji Inu Kertapati berganti nama menjadi Klana Jayengsari," ungkapnya. "Tindakan Brajanata, suruhan raja Jenggala (ayah Panji), membunuh Angreni" menjadikan Panji Inu Kertapati sadar atas perjalanan kehidupannya.
Lewat laku, Panji Inu Kertapati mencari dan menggapai kebahagiaan abadi. Dia harus melakukan berbagai nilai kebudayaan Jawa seperti: sesirih, nenepi, dan tarak brata yang secara simbolik dipaparkan dalam kisah itu.
Sesirih sebagai perilaku nilai adalah penerapan bagaimana Panji Inu Kertapati mengendalikan diri untuk tidak melakukan hubungan badan oleh perempuan-perempuan yang sebetulnya sudah diyakini sebagai Angreni.
Sedangkan nenepi (mengasingkan diri untuk merenung) dan tarak brata (bersemedi atau bertapa) adalah perilaku yang terang-terangan tertulis dalam kisah yang harus dicontoh orang Jawa yang ideal.
Baca Juga: Jejak Kelana Hikayat Romansa Panji Menantang Zaman Hingga ke Eropa
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Source | : | perpusnas.go.id |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR