Nationalgeographic.co.id – Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki keragaman biota laut yang melimpah. Hal itu menjadikan laut sebagai sumber kekayaan yang potensial bagi Indonesia.
Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat, pada Maret 2019 nilai potensi kekayaan laut Indonesia mencapai Rp 1,772 triliun. Salah satu sumber potensi terbesar berasal dari sektor perikanan.
Sebagai informasi, Indonesia memiliki sektor perikanan terbesar kedua di dunia. Kontribusinya mencapai sekitar Rp 390 triliun terhadap produk domestik bruto (PDB).
Selain itu, laut menyumbang kontribusi besar terhadap sektor pariwisata Indonesia, khususnya pariwisata bahari, dengan nilai sekitar Rp 300 triliun terhadap PDB.
Baca Juga: Tantangan Indonesia Mengatasi Masalah Sanitasi Dasar
Sektor perikanan dan pariwisata bahari Indonesia dapat menjadi sumber ekonomi yang berpotensi besar. Salah satu wilayah yang memberi sumbangan besar dalam dua sektor tersebut adalah Rajaampat.
Destinasi ekowisata yang terletak di ujung barat Pulau Papua tersebut dikenal akan pemandangan laut yang eksotis dan tersohor hingga mancanegara. Rajaampat bahkan disebut sebagai surga bawah laut.
Di samping wisata bahari, Rajaampat juga menyimpan kekayaan terumbu karang yang terbentang di sepanjang perairan. Seperti diketahui, terumbu karang merupakan habitat bagi ikan.
Menurut Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan (KKJI) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), perairan Rajaampat memiliki sekitar 540 jenis karang keras. Jumlah tersebut menjadikan 75 persen spesies karang di dunia berada di Rajaampat.
Baca Juga: Menjajal Sisi Lain Raja Ampat, Kepingan Surga di Timur Indonesia
Selain itu, terdapat keragaman biota laut lainnya yang dapat ditemukan di Rajaampat, di antaranya adalah lebih dari 1.000 jenis ikan karang dan 700 jenis moluska.
Selama bertahun-tahun, sektor pariwisata dan perikanan telah menjadi sumber penghidupan utama bagi 93.000 penduduk lokal Rajaampat.
Namun sayang, manajemen ekosistem laut di Indonesia mulai memantik kewaspadaan.
Pada 2017, KKP menemukan fakta bahwa 38 persen ikan di perairan Indonesia ditangkap melebihi batas kemampuan ekosistemnya (overfishing). Sementara itu, ditemukan lebih dari 600.000 armada kapal yang tidak terdaftar dan terpantau melakukan praktik illegal fishing.
Baca Juga: Hotel Pertemuan Rahasia Perang Dunia II yang Membentuk Bank Dunia
Di Rajaampat, risiko overfishing datang dari penggunaan alat tangkap oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Jika dibiarkan, banyak spesies laut yang berharga akan hilang. Hal itu tidak hanya berdampak pada keseimbangan ekosistem laut, tetapi juga sektor ekonomi dan pariwisata di wilayah tersebut.
Data LIPI pada 2020 juga menunjukkan, sepertiga dari terumbu karang Indonesia, termasuk di Rajaampat, berada dalam kondisi yang kurang baik. Padahal, terumbu karang merupakan rumah bagi spesies-spesies biota laut yang beragam.
Sampah laut (ocean debris) juga menjadi perhatian. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, produksi sampah nasional di Indonesia mencapai hingga 67,8 juta ton pada 2020. Sementara, sebanyak 30 persen sampah tidak terkelola dan berakhir mencemari lingkungan, termasuk laut.
Persoalan-persoalan tersebut perlu segera diatasi. Dibutuhkan kerja sama antara pemerintah, masyarakat lokal, dan seluruh masyarakat di Indonesia untuk menjaga kelestarian laut Rajaampat.
Baca Juga: Di Antara Perairan Surgawi Papua, Leluhur Nusantara Membuat Coretan Unik Tentang Perjalanan Manusia
Tradisi Sasi dan konsep berkelanjutan
Untuk mengelola ekosistem laut, inspirasi dapat dipetik dari masyarakat lokal di Rajaampat. Masyarakat setempat punya sebuah tradisi yang selaras dengan gerakan menjaga kelestarian laut, yakni Sasi Laut.
Melansir laman Indonesian Ocean Pride, Kamis (11/4/2019), kata sasi berasal dari bahasa lokal penduduk Rajaampat yang berarti sumpah. Tradisi Sasi Laut dianggap sebagai cara menghargai dan meminta izin untuk mengambil sumber daya laut dari Sang Pencipta.
Tradisi Sasi sendiri memiliki beberapa peraturan dalam menimba hasil laut. Misalnya saja, pada penangkapan lobster. Masyarakat hanya diperbolehkan menangkap lobster dengan ukuran dan usia tertentu.
Lobster yang sedang bertelur pun tidak boleh ditangkap. Hal itu dilakukan agar benih lobster tidak mengalami kepunahan dan bisa dipanen di musim berikutnya. Dengan demikian, ekosistem lobster di Rajaampat tetap melimpah.
Baca Juga: Benih Bening Lobster Tak Diekspor Lagi di Indonesia, Apakah Berhasil?
Tradisi Sasi Laut dapat menjadi langkah untuk menjaga kelestarian laut Rajaampat. Namun di samping itu, diperlukan juga sistem yang dapat memberikan kontribusi yang lebih luas terhadap keberlangsungan ekosistem Rajaampat.
Untuk mencegah overfishing, Indonesia sendiri telah mengembangkan kerangka kerja untuk pengelolaan perikanan. Namun, agar dapat beroperasi secara maksimal, sistem ini membutuhkan anggaran dan sumber daya manusia, serta rencana pengelolaan dengan batas panen yang jelas.
Menurut publikasi Bank Dunia berjudul Oceans for Prosperity: Reforms for a Blue Economy in Indonesia, Indonesia juga dapat mendorong prinsip pengelolaan perikanan berbasis hak, yakni pemberian hak panen kepada masyarakat di dalam wilayah dekat pantai mereka, atau kepada perusahaan, dalam jumlah tangkapan tertentu.
Dengan demikian, nelayan dapat bertanggung jawab penuh atas pengelolaan perikanan mereka dan mendorong tata kelola yang baik. Prinsip pengelolaan perikanan berbasis hak juga telah terbukti berhasil di berbagai negara dengan sektor perikanan yang kuat.
Baca Juga: Bakal Dapat Pinjaman Rp 1,4 Triliun, Mampukah Citarum Lepaskan Sebutan Sungai Terkotor?
Lebih lanjut, sistem ekonomi kelautan yang berkelanjutan (sustainable economy) dapat menjadi solusi untuk mengembangkan ekosistem laut Indonesia, termasuk Rajaampat. Salah satu cara menuju ekonomi laut yang berkelanjutan adalah dengan memperluas dan meningkatkan efektivitas Kawasan Konservasi Perairan.
Untuk diketahui, Indonesia sendiri tengah memperluas dan memperkuat Kawasan Konservasi Perairan. Kawasan tersebut telah mencakup 23 juta hektare atau 7,18 persen dari luas perairan Indonesia.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 9.894 hektare kawasan sudah beroperasi dan memberikan manfaat berkelanjutan terhadap lingkungan di sekitar kawasan konservasi, termasuk Rajaampat.
Bank Dunia mendukung gerakan tersebut melalui Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang atau COREMAP-CTI, salah satunya di Rajaampat.
Baca Juga: Hiu Berjalan dan Puluhan Spesies Baru Lainnya Ditemukan di Laut Papua
Economist Bank Dunia David Kaczan mengatakan, program tersebut merupakan sebuah investasi dalam pengelolaan terumbu karang sebagai salah satu biota laut yang berharga di Rajaampat.
“Program tersebut juga merupakan sebuah investasi dalam (penyediaan) kapasitas penelitian yang membangun laboratorium, melatih para ilmuwan, dan memantau (ekosistem) karang,” papar David melalui wawancara tertulis dengan Tim National Geographic Indonesia, Kamis (22/7/2021).
Dibutuhkan partisipasi masyarakat
Upaya penerapan sistem ekonomi berkelanjutan di Rajaampat juga perlu didukung oleh seluruh lapisan masyarakat agar dapat terlaksana dengan baik.
Ada banyak kontribusi yang dapat dilakukan oleh masyarakat. Salah satunya, mempertahankan prinsip pengelolaan perikanan berbasis hak seperti dalam tradisi Sasi Laut.
Baca Juga: Bersepakat untuk Berantas Pencurian Ikan dan Perikanan Merusak, Daerah Ini Pantas Jadi Contoh
David mengatakan, contoh konkret penerapan prinsip serupa dapat dilihat di Peru, Amerika Selatan. Bank Dunia mendukung pemerintah Peru mengurangi kelebihan kapasitas armada penangkapan ikan demi menjaga ekosistem laut.
Para nelayan juga diberikan pemahaman tentang pengelolaan perikanan berbasis ilmiah. Hasilnya, nelayan mendapatkan produk ikan yang berkualitas dengan nilai penjualan 200 persen lebih tinggi.
“Bagi kelompok nelayan, prinsip-prinsip pengelolaan perikanan berbasis hak akan membantu masyarakat berkontribusi pada pemanfaatan dan perlindungan berkelanjutan atas sumber daya lokal mereka,” imbuh David.
Di sektor pariwisata, untuk menjaga keseimbangan antara pemasukan dari sektor pariwisata dan kelestarian lingkungan, diperlukan langkah-langkah untuk membatasi atau mengelola arus pengunjung dengan lebih baik.
Salah satunya dengan menerapkan biaya tiket masuk yang lebih tinggi pada daerah yang berpotensi padat pengunjung (overcrowd) atau yang sudah menunjukkan tanda-tanda kerusakan lingkungan.
Sebagian dari pemasukan tersebut dapat digunakan untuk mendukung kawasan konservasi dan mendorong kinerja lokasi pariwisata. Namun, dalam sistem seperti itu, diperlukan tunjangan untuk memastikan akses yang adil bagi masyarakat dan pengunjung lokal.
Hal itu yang dilakukan oleh Kawasan Konservasi Annapurna di Nepal. Dengan menetapkan harga berjenjang dengan biaya masuk yang lebih tinggi untuk daerah yang lebih rentan, kawasan konservasi dapat terjaga sembari tetap memberi pemasukan di sektor pariwisata.
Selain itu, masyarakat Rajaampat juga dapat terlibat dalam pengelolaan sumber daya alam, menentukan potensi pariwisata yang sesuai dengan lokasi tertentu, dan mendorong kegiatan konservasi dan restorasi pesisir laut sehingga tercipta destinasi ekowisata yang terjaga lingkungannya.
Penulis | : | Yussy Maulia |
Editor | : | Sheila Respati |
KOMENTAR